H-1 Menuju Pernikahan

1007 Kata
Andy : (Foto) Andy : Lo di mana? Kok calon bini lo jalan sama cowok lain? Bukannya kalian mau nikah besok? Andy : Hati-hati dibohongi lagi kaum hawa! Jangan terlalu percaya wajah polos mereka. Itu cuma cangkangnya doang. Lo harus sadar itu. Hanya melihat melalui balon notifikasi, tanpa berniat membuka pesan tersebut, dan melihat foto yang dikirimkan, Ravendra–yang sedang duduk di kursi kerja–segera menghubungi Lylia untuk yang kesekian kalinya. Berniat meminta penjelasan secara langsung dari wanita itu, atas foto yang dikirimkan oleh temannya beberapa saat lalu. Namun sayang, lagi dan lagi, panggilan tersebut hanya ditanggapi oleh operator panggilan, tanpa adanya balasan apapun dari sang empunya nomor. Ya, sejak dia berkunjung ke rumah Lylia, tidak ada panggilan telepon atau pesannya yang dibalas wanita itu. Bahkan, pembicaraan mengenai pernikahan mereka pun seakan diabaikan olehnya. Hanya panggilan pagi tadi saja yang diterima Lylia. Selebihnya, dibaca pun sepertinya tidak. Sampai pada akhirnya, Ravendra memutuskan untuk mengacuhkan sikap Lylia tersebut dan berpikir bahwa itu juga sebagian dari kesalahan sebelumnya. ‘Lo yang nyari perkara duluan, Raven! Lo harusnya tahu itu.’ Di tempat lain, Mira terlihat berlarian kecil memasuki rumah. Dalam kondisi napas terengah-engah sembari mengedar tatapan, ia pun menaruh plastik bawaannya di atas meja, dan berjalan menghampiri kedua orang tuanya di ruang tengah. “Mama sama Ayah pasti kaget sama apa yang aku lihat di depan minimarket tadi” ujar Mira sembari duduk di sofa kecil. Shanti yang sedang duduk bersantai menonton televisi, menoleh sejenak, menatap putrinya. “Ada apa?” Mira membuka galeri ponsel, menyentuh salah satu gambar yang berhasil dia abadikan beberapa waktu lalu, dan memperlihatkannya kepada Shanti. “Lylia turun dari mobil, dan diantar pulang sama lelaki lain! Jelas banget, kan, kalau itu bukan Ravendra. Mobilnya aja lebih bagus ini dari pada dia.” Tak begitu saja percaya pada perkataan putrinya, Shanti pun memperbesar gambar pada layar, untuk memastikan kebenaran. Setelah yakin ... Seakan menjadi kesempatan bagus untuk mengadukan anak tirinya itu kepada sang suami, Shanti segera merebut ponsel Mira, dan memperlihatkan foto tersebut kepada Jerry. “Lihat putrimu! Wanita macam apa yang berani pulang malam dengan pria lain, padahal besok adalah hari pernikahannya? Benar-benar bikin malu!” “Apa kamu yakin itu Lylia?” tanya Jerry, masih sedikit denial dengan berita tersebut. Sang istri membantu memperjelas foto dengan memperbesar gambar. “Mana mungkin Mas tidak mengenal postur tubuh putri Mas sendiri. Jelas sekali ini Lylia. Bahkan, pakaian yang dikenakan wanita dalam foto pun berwarna sama dengan pakaian yang dikenakan Lylia pagi tadi. Apa Mas masih ingin menolak percaya dengan bukti kuat ini?” Tepat setelah Shanti mengatakan hal itu, pintu rumah dibuka oleh Lylia yang baru saja tiba di rumah dan melepaskan sepatu sandal. Terlihat seulas senyum tipis tertampil dari kedua sudut bibir, tanpa ia tahu, apa yang akan terjadi setelah ini. “Aku pulang!” ucapnya, sembari menatap pada sang ayah yang terlihat berjalan menghampiri. “Kapan Ayah pulang? Apa pekerjaan Ayah–“ Plak! Lagi-lagi, satu tamparan kembali mendarat di pipi kiri Lylia dari sang ayah. Bahkan, wanita itu tidak diberi kesempatan untuk melanjutkan kalimatnya, atau bertanya, apa yang sedang terjadi. “A-Ayah ... Kenapa–“ “Kenapa katamu? Setelah apa yang kamu lakukan, kamu masih berani bertanya kenapa? Dasar perempuan murahan! Mau ditaruh dimana muka Ayah saat bertemu Ravendra nanti? Di sini, harga diri Ayah benar-benar dipertaruhkan!” Lylia membulatkan mata mendengar kata makian yang terlontar dari mulut sang ayah untuk kesekian kalinya. “A-Ayah ....” “Jika sampai pernikahanmu dengan Ravendra batal, atau bahkan sampai calon suamimu itu membatalkan secara sepihak pernikahan kalian ... Ayah tidak akan segan-segan mengusirmu dari rumah ini! Ingat itu!” ancam Jerry dengan tegas. Merasa tidak adil karena Jerry tidak mau mendengarkan penjelasannya, Lylia pun segera berlari masuk ke kamar, dan menangis sejadi-jadinya di ruangan gelap itu. Menyembunyikan wajah di atas bantalan, demi meredam suara isak tangis yang menyayat hati. Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa Ayah tiba-tiba menampar wajahku dan mencaci seperti itu? Setelah puas melepas rasa sakit dan kecewa dalam diri, Lylia pun mulai beranjak untuk melihat ponselnya yang sejak tadi siang tak tersentuh sama sekali. Dan ternyata, di luar dari dugaannya, sederet notifikasi pesan masuk dan panggilan tak terjawab dari Ravendra malah memenuhi layar. [Tuan Perfectionist] Tuan Perfectionist : Lylia, kamu di rumah? Tuan Perfectionist : Aku ingin bertemu. (8 Panggilan Tak Terjawab) Tuan Perfectionist : Astaga, sulit sekali menghubungimu. Apa kamu sedang sibuk? Tuan Perfectionist : Lylia. Tuan Perfectionist : Kita bisa bicara sebentar? Aku sudah di rumahmu. Tuan Perfectionist : Rupanya, kamu sedang tidak di rumah. Ibumu yang memberitahuku. Tuan Perfectionist : Apa terjadi sesuatu? Jika kamu membutuhkan bantuan, segera hubungi aku! Tuan Perfectionist : Lylia. (9 Panggilan Tak Terjawab) Anda : Aku akan jelaskan. Bisa kita bicara sebentar? Setelah membalas pesan tersebut, rupanya Ravendra tidak langsung merespon. Lylia benar-benar berharap, pria itu membalas dan mau mendengarkannya. Namun, diluar dugaan, Ravendra memang benar membalas pesannya, akan tetapi dengan jawaban yang tidak terduga sama sekali. Tuan Perfectionist : Sudah malam. Sebaiknya kamu gunakan waktumu untuk beristirahat. Bukankah besok kita akan resmi menikah? Aku bahkan sudah memerintahkan orang untuk menjemputmu dan keluargamu, besok pagi. Atau jangan-jangan, kamu lupa, kapan kita akan melangsungkan pernikahan? Membaca pesan tersebut, Lylia seketika melihat kalender untuk memastikan kembali. Dan benar saja apa yang dikatakan Ravendra, bahwa besok adalah hari pernikahan mereka yang sudah ditentukan oleh pria itu, termasuk segala persiapan pesta atau lainnya. ‘Apa Raven benar-benar seorang karyawan swasta? Dia bahkan mempersiapkan segalanya dari hal terkecil sekalipun, dan kami tahu terima beres kaya gini. Benar-benar bikin gak nyaman.’ Lylia membatin. Merasa semakin kebingungan dengan berbagai spekulasinya, Lylia segera mengetik pesan balasan untuk Ravendra, lalu mengirimkannya. Anda : Kenapa kamu tidak mau aku ikut membantu? Bukankah ini pernikahan kita? Kenapa kamu harus melakukannya seorang diri? Hanya berselang beberapa menit, bunyi notifikasi pesan masuk terdengar, hingga membuat Lylia bergegas membuka aplikasi berkirim pesan pada ponselnya. Tuan Perfectionist : (foto) Tuan Perfectionist : Aku yakin kamu terlalu sibuk dan tidak mau diganggu. Jadi, kamu tenang saja, aku bisa mempersiapkan semuanya untuk pernikahan kita, sendirian. ‘Raven ....’ ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN