“Jadi, apa kamu akan bergabung? Mereka tidak akan mengulang lelang yang sudah ditetapkan untuk lukisan-lukisan indah itu.” Indri memberikan bisikan-bisikan tentang pelelangan yang akan diadakan di salah satu taman budaya.
Indri tahu, Lylia tidak akan melewatkan kegiatan tersebut. Apalagi ada lukisan yang begitu diinginkannya berada dalam daftar lelang.
Ya, setelah kemarin Lylia kembali membuka dirinya untuk menerima Ravendra. Sekarang, setelah menceritakan kisahnya pada Indri, Lylia seperti seorang wanita yang haus akan rasa ingin memiliki. Bukan ketertarikan pada lawan jenis, melainkan karena sebuah lukisan abstrak yang menurutnya sangat memiliki arti besar.
“Kak Indri tahu sendiri, aku pasti ikut lelang itu. Jessica salah satu pelukis yang selama ini ingin kukejar tekniknya. Bisa memiliki karyanya dari lelang itu bisa membuatku semakin bersemangat. Kalau begitu, kapan acaranya dimulai, Kak?” Pada akhirnya, Lylia mendesak Indri agar memberikan jadwal pasti dari lelang tersebut.
“Aku akan menghubungimu, setelah mendapatkan jadwal pastinya,” jawab Indri.
“Semoga saat hari itu tiba, waktuku benar-benar sedang kosong.”
Indri mengusap lengan Lylia. “Aku akan usahakan yang terbaik untukmu, Lylia. Kamu tidak perlu terlalu khawatir.”
Setelah pertemuan dengan mentor–sekaligus teman Lylia–di galeri, perasaan bahagianya malah kembali tersandung, saat melihat ada api yang membakar seluruh koleksi pribadinya di samping rumah. Tidak ada siapa pun di sana, hanya ada beberapa lukisan dan alat kesayangannya yang kini terbakar setengah tak tersisa.
Lylia meluruh, hingga terduduk di tanah. Air matanya menetes tanpa henti saat melihat api semakin melahap habis koleksi-koleksinya. Tidak ada kalimat yang bisa diucapkan saat ini, hingga tangisan memilukan terdengar.
Begitu sakit, begitu sesak. Sampai-sampai, dadanya terasa sangat nyeri walau hanya untuk sekadar menarik napas.
Tanpa Lylia tahu, Mira dan ibunya menahan untuk tidak tertawa lebar. Mereka sudah merencanakan ini sebelumnya.
“Dia tidak akan kembali ke rumah ini setelah menikah. Untuk apa benda-benda tidak berguna itu berada di kamarnya? Bukankah kamar itu akan menjadi gudang setelah pernikahannya?” Mira berkata seakan-akan tak peduli pada perasaan Lylia.
“Sudahlah, biarkan dia seperti itu dulu. Kita beruntung karena ayahnya sedang lembur,” sahut sang ibu dari samping Mira.
Setelah berhasil menyelamatkan beberapa alatnya yang belum sempat terlalap api, Lylia kembali ke kamar dan melihat seisi ruangan kosong tanpa pajangan dan barang miliknya. Lagi-lagi, Lylia dibuat kesal dan memutuskan untuk mencari Mira beserta ibunya.
“Ibu, Mira. Kalian di mana?” panggil Lylia yang kini menyusuri ruang tamu dan dapur.
Tidak mendapat jawaban, Lylia meraih ponsel hendak menghubungi ayahnya.
“Halo, Ayah? Siapa yang mengosongkan kamarku? Bukankah aku belum menikah? Lalu, kenapa semua barangku menghilang dari kamar?” Lylia begitu tidak sabar dengan aduannya dan berharap sang ayah memberikan bantuan.
“Ayah sangat sibuk, Lylia. Sebaiknya kamu tanyakan pada ibu dan Mira. Bukankah kalian berada di rumah? Kenapa bertanya pada Ayah yang sedang bekerja? Sudah cukup, Lylia. Ayah sibuk!” Lagi-lagi Jerry tidak peduli dengan anaknya.
“Tapi, Yah … barang-barang peninggalan ibu pun ikut menghilang. Aku–“
“Ayah benar-benar sibuk saat ini! Jadi, tolong, mengertilah!”
Usai mengatakan hal itu, panggilan pun berakhir begitu saja tanpa sempat Lylia membalas. Pikirannya benar-benar kalut, sampai-sampai kebiasaannya menggigiti kuku-kuku jari kembali dilakukan, hanya demi menenangkan diri.
Semua benar-benar sudah berubah. Bahkan, Lylia pun kini tak mengenal pribadi sang ayah yang dulunya begitu bersahaja. Semua menghilang bagai debu, termasuk kehangatan rumah dari seorang cinta pertama anak perempuan.
“Bu … bisakah Lyli ikut dengan ibu? Lyli benar-benar sangat lelah meneruskan hidup ini sendirian.”
***
Sudah hampir tengah malam, dan Lylia yang sedang merebahkan tubuhnya di atas tenpat tidur tiba-tiba mendapat pesan dari Indri tentang waktu lelang yang akan diadakan di Taman Budaya. Dia begitu tidak sabar untuk bisa menghadirinya, dan berharap mendapatkan lukisan milik Jessica sebagai gantinya koleksi-koleksi yang sudah menjadi abu di halaman rumah.
“Ternyata lelangnya diadain besok. Aku harus bisa dapetin lukisan milik Jessica, bagaimana pun caranya.” Dalam semangatnya yang menggebu, tiba-tiba ponsel Lylia berdering pelan.
Rupanya, panggilan itu datang dari Ravendra, yang entah kenapa menghubunginya selarut ini. Lylia pun segera menerimanya, tanpa berpikir apa-apa lagi. “Ada apa?”
“Apa yang sedang kamu lakukan?” tanya pria dari seberang telepon sana.
Sembari memilin ujung selimut, Lylia menjawab, “hanya sedang berbaring. Kenapa? Tidak biasanya kamu menghubungiku tengah malam begini.”
“Aku masih belum bisa tidur, karena terlalu memikirkan pekerjaanku. Jadi, aku menghubungimu untuk mencari teman mengobrol. Apa itu mengganggu jam istirahatmu?” tanyanya lagi.
Tanpa sadar Lylia menggeleng. “Selama aku belum tertidur, itu tidak terlalu mengganggu.”
“Ah, syukurlah. Aku cukup khawatir akan mengganggumu, jika menghubungi tengah malam begini.”
“Tidak masalah. Aku pun masih terjaga.”
“Apa terjadi sesuatu hal yang buruk?” tebak Ravendra.
Lylia menghela napas dalam-dalam. “Hanya sedikit. Lagipula, bukankah hidupku tidak pernah jauh dari hal-hal yang buruk? Entah itu saat berada di rumah bersama keluargaku, ataupun di luaran sana.”
“Oh, ya, besok, akan ada pelelangan lukisan. Apa kamu akan pergi ke sana?” tanya Ravendra, mengalihkan topik pembicaraan.
“Ya, dari mana kamu tahu? Aku bahkan tidak menceritakannya kepada siapapun, kecuali Kak Indri.” Lylia merasa Ravendra benar-benar sedikit aneh.
“Acara itu tersebar di berbagai media, Lylia. Sudah pasti semua orang mengetahuinya.”
“Ah, ya … kamu benar.”
“Aku hanya ingin memberi pesan, jika kamu ikut lelang itu, jangan menyesal kamu gagal. Semua orang di sana memiliki kekuasaan. Biasanya—“
Lylia tahu, aksinya memutus sambungan telepon sangatlah tidak sopan. Tetapi, perasaannya begitu kesal setelah mendengar kalimat yang dikatakan Ravendra.
“Ha! Bisa-bisanya dia ngomong kaya gitu? Astaga! Lama-lama aku beneran gila kalau semua orang di sekitar aku kaya gini kelakuannya,” gerutu Lylia.
“Apa? Memiliki kekuasaan? Heh, Tuan Yang Selalu Ingin Terlihat Sempurna! Kamu pikir aku gak tahu apa soal itu? Iya, aku tahu, aku miskin. Bahkan, mustahil juga bisa dapetin apa yang aku mau! Tapi, sedikit support aja, emang gak bisa, ya? Dasar rubah jantan! Bikin kesel aja tiap harinya.” Lanjut Lylia menggerutu panjang lebar dengan cara bicara santai yang hampir saja ia lupakan, jika saja bukan karena salah seorang sahabatnya. Wanita itu meletakkan ponsel di nakas dan menyelimuti tubuhnya untuk bisa terlelap malam ini.
***
Tanpa terasa, pagi hari pun akhirnya tiba. Lylia yang rupanya sudah bersiap sejak pagi, terlihat begitu rapi dengan setelan casual dan tas selempang kecil berisi barang penting di dalamnya. Dia telah siap untuk pergi ke acara lelang lukisan. Namun, tanpa Lylia tahu, di ruang tamu seseorang bahkan sudah menunggunya.
Langkah Lylia terhenti saat matanya melihat keberadaan Ravendra di sana. Pria itu seperti tidak ingin melepaskan Lylia, meski untuk sekadar melihat lelang.
“A-apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Lylia kebingungan.
“Lylia, kenapa kamu tidak sopan?! Duduk dan temani Tuan Ravendra! Ibu harus membuatkan minum. Dia sudah menunggu sejak satu jam lalu, jangan mempermalukan keluarga ini lagi karena sikapmu.”
Tak memberi kesempatan sedikitpun untuk Lylia menjawab, ibu tirinya segera beranjak dan berjalan menuju dapur. Sementara Lylia duduk di sofa berseberangan dengan Ravendra. Pandangan matanya tertuju pada satu arah.
“Apa yang kamu inginkan sekarang? Merendahkanku lagi seperti semalam?” tanya Lylia sekali lagi.
“Tidak ada, kebetulan aku ikut lelang itu. Jadi, aku menjemputmu untuk pergi bersama.”
"Bukannya kamu sendiri yang bilang, bahwa di lelang itu hanya ada orang-orang berkuasa? Lantas, untuk apa kamu mengikuti lelang tersebut?"
"Hanya sedikit tertarik."
“Aku sudah memiliki janji dengan teman-temanku. Kamu bisa pergi sendiri ke sana.”
“Tidak baik jika pasangan yang sebentar lagi menikah terlihat berjauhan,” sahut Jerry yang muncul dari pintu masuk.
“A-ayah, tapi—“
“Lylia, ayah tidak pernah mengajarkan sikap seperti ini padamu. Sebaiknya kamu pergi bersama Tuan Ravendra, atau kamu lebih suka berada di kamarmu?”
Ancaman Jerry berhasil membuat Lylia bergeming. Tanpa perlawanan, Lylia mengangguk dan mereka pun akhirnya pergi bersama, tanpa menunggu minuman tersaji sekalipun.
Sepanjang perjalanan, Lylia begitu sibuk menghubungi Indri, dan mengabarinya untuk tidak menunggu. Dia benar-benar merasa tidak enak pada temannya itu, terlebih informasi yang sudah diberikan oleh Indri mengenai acara hari ini.
Sampai di Taman Budaya, keduanya segera ke luar dari mobil dan berjalan menuju area diadakannya lelang tersebut.
“Jadi, lukisan mana yang kamu inginkan?” tanya Ravendra, membuka pembicaraan di antara mereka.
“Jessica. Hanya lukisannya yang kuinginkan.”
Tidak ada jawaban dari Ravendra. Pria itu justru berjalan tanpa menghiraukan ucapan Lylia.
“Dia mengabaikan jawaban aku, setelah bertanya secara tiba-tiba kaya barusan? Whoa … sialan banget kamu, ya, cunguk batu!” Lylia kembali dibuat kesal oleh sikap pria itu.
Namun beruntungnya, kekesalan itu tak berlangsung lama karena kejauhan Lylia bisa melihat sosok Jessica yang kini berbicara dengan panitia lelang. Ia begitu tidak sabar mendapatkan lukisan dari Jessica, sampai-sampai rela menggunakan uang tabungan yang dimiliki.
“Acaranya akan dimulai. Ayo kita masuk!” ajak Ravendra.
Tanpa banyak bertanya apa-apa lagi, Lylia bergegas pergi mengikuti Ravendra dan duduk di samping pria itu dengan memegang benda untuk menaikkan bit. Matanya mengedar memperhatikan orang-orang di sekitar, yang terlihat begitu elegan dengan pakaian-pakaian mahal pada tubuh mereka.
‘Aku gak punya banyak uang kaya orang-orang ini. Tapi aku berharap, mereka gak mainin harga terlalu tinggi saat lukisan Jessica ditawarkan. Please, please, please!’ Lylia membatin dengan penuh harapan.
Saat pemegang palu berdiri dan memanggil pemegang barang lelang. Saat itulah suasana menegangkan begitu terasa di sekitar Lylia.
Sejak dimulainya acara, Lylia tidak sekalipun mendengar angka kecil untuk mendapatkan lukisan di depan sana. Berulang kali ia berkecil hati. Sampai akhirnya, lukisan yang diinginkan dikeluarkan. Membuat mata Lylia membulat dan mulai menyiapkan diri untuk memasang harga.
“Baiklah, kali ini lukisan dari Nona Jessica. Dia mengeluarkan dua lukisan terbaiknya. Keduanya pernah memenangkan ajang bergengsi dunia. Kita akan mulai dari angka satu juta. Apa ada yang bersedia menaikkan angka tersebut?”
Lylia tidak menyiakan kesempatan dan menaikkan tangannya. “Satu juta.”
“Baiklah, Nona di ujung sana memiliki angka awal.”
“Dua juta,” sahut pria di sudut lain.
“Apa? Astaga!” Lylia terkejut dan kembali menaikkan tangan. “Tiga juta!”
Suasana semakin menegangkan, sementara beberapa orang kembali menyebutkan nilai yang fantastis untuk sebuah lukisan.
Sampai akhirnya, suara seorang wanita menghentikan seluruh tawaran.
“Dua puluh juta!”
Lylia berdiri dan mencari asal suara itu. Kedua matanya membulat sempurna saat tahu siapa yang berhasil mendapatkan lukisan Jessica. “K-Kak Indri?”
***