Hampir seharian ini Lylia berada di kamar, tidak ada yang bisa membuatnya keluar dari sana. Meski ibu dan Mira memanggilnya untuk makan bersama, Lylia menolak dan sebatas berkata ingin menyelesaikan pekerjaan.
Selain hobi melukis untuk ketenangan, diam-diam Lylia memiliki situs online yang menawarkan jasa untuk sebuah lukisan. Di sana, Lylia bisa melihat minat orang-orang terhadap hasil karyanya.
Namun, bukan itu yang kini dilakukan Lylia. Justru, dia merasa kesal dan kecewa dengan lelang kemarin. Tidak satupun lukisan Jessica yang jatuh ke tangannya. Bahkan, Ravendra seakan tak ingin membantunya walau hanya sekadar menawar saja. Pria itu mendapatkan satu lukisan dari pelukis lain, dengan alasan untuk diberikan pada ibunya. Ravendra berhasil masuk dalam daftar orang yang membuat Lylia kesal hari itu.
“Argh! Kalian memang menyebalkan! Bagaimana bisa kalian begitu tega padaku!” gumam Lylia yang kini duduk di tepi jendela kamar.
Pandangan matanya tertuju pada langit yang terlihat begitu cerah. Beberapa burung pun asyik beterbangan di sekitar pohon yang tak jauh dari rumah Lylia. Meski terlihat indah dan menenangkan, tetapi pikiran Lylia masih bergelut dengan lukisan karya Jessica. Tak terima jika usahanya begitu sia-sia.
Di tengah lamunan, seseorang kembali mengetuk pintu kamar. Kali ini bukan ibu atau Mira, sang ayah menyerukan namanya dan membuat Lylia beranjak.
“Ayah? Ada apa?” tanya Lylia dengan wajah murung.
“Ada apa denganmu? Kenapa kamu tidak makan sejak pagi? Apa terjadi sesuatu?” Jerry menghujani putrinya dengan pertanyaan-pertanyaan.
“Gak ada apa-apa, Yah. Cuma lagi sibuk ngurusin sebuah lukisan, pesanan salah satu teman,” jawabnya.
Lylia sudah menyiapkan semua di kamarnya, sehingga Jerry pun percaya usai mengintip ke belakang tubuh sang putri.
“Ini, sebaiknya kamu makan. Ayah tidak ingin melihatmu sakit saat pernikahan berlangsung, nantu.”
Kalimat yang dilontarkan Jerry seakan menyadarkan Lylia, bahwa pernikahannya semakin dekat dan tinggal beberapa hari saja.
Lylia mengangguk dan berterima kasih setelah menerima makanan yang diantar Jerry, diikuti seulas senyum tipis dari kedua sudut bibir, dan kembali menutup pintu kamarnya.
“Ngelamun pun butuh asupan, bukan? Ya, benar, rasa lapar bisa berakibat fatal bagi kesehatan mental. Mendingan aku isi tenaga dulu supaya bisa kembali melanjutkan lamunan.” Lylia meletakkan makanan itu di meja dan mulai menyantap satu per satu makanan yang ada di sana.
Di tempat lain, Ravendra rupanya mendapat pesta kejutan dari teman-teman terdekat. Termasuk teman kantor dan sahabat-sahabatnya. Mereka membuatkan sebuah pesta kecil untuk pelepasan masa lajang Ravendra yang sebentar lagi akan menikah.
Berbanding terbalik dengan Lylia yang kini hanya mengurung diri di kamar. Ravendra justru bersenang-senang bersama teman dan sahabatnya.
“Whoa, gak nyangka, ya, pria dingin ini yang sold out duluan di antara kita. Bahkan, gue kira, lo bakal jadi bujang tua yang gak akan pernah menikah. Apa yang ada di benak lo saat memutuskan untuk menikah?” tanya seorang pria dengan kemeja hitam dan sedang menyingsingkan lengannya.
“Yang jelas, bukan hanya karena perempuannya cantik?” salah satu pria lainnya, namun lebih terdengar seperti pertanyaan untuk Ravendra.
“Bisa jadi, karena ceweknya udah hamil?” tanya pria lain lagi.
“Heh! Mana mungkin Raven melakukan hal-hal seperti itu! Dia bukan Andy yang bisa celup sana sini tanpa berpikir panjang,” sanggah satunya lagi.
“Udah, ah. Kita di sini untuk berpesta, kita hindari pertanyaan sensitif seperti itu,” sahut pria yang kini duduk di samping Ravendra.
Mereka ada di sebuah ruangan khusus, tempat yang terjaga privasinya dari orang luar tak diundang. Setidaknya, ada lima orang di dalam ruangan itu termasuk Ravendra. Mereka tidak hanya memesan makanan, tetapi juga minuman beraneka jenis, termasuk minuman beralkohol yang disediakan khusus untuk beberapa teman lainnya.
Ravendra tersenyum tipis mendengar perdebatan teman-temannya. Seakan tidak peduli dengan ucapan mereka.
“Ayo kita bersulang!” seru pria kurus dengan kacamata bulat yang membuat penampilannya paling culun dari empat lainnya.
“Tunggu! Pesta ini gak akan menarik tanpa para wanita. Gue sengaja menyewa mereka untuk meramaikan pesta ini. Gak masalah, bukan, Rav?”
Pria itu mendapat tatapan tajam dari Ravendra, seakan ada yang tidak disukainya dari ucapan tersebut. Tetapi, Ravendra tidak mengungkapkan perasaan tersebut dan hanya mengangguk untuk menanggapi.
“Lo memang yang terbaik, Raven. Gue bakal suruh mereka masuk sekarang.”
“Mereka?” tanya Ravendra dengan dahi berkerut.
Pria itu mengangguk. “Iya, mereka. Gue sengaja manggil tiga perempuan supaya gak hambar. Bukankah pesta seperti ini sudah sepatutnya membutuhkan kehadiran beberapa wanita. Benar, bukan?”
“Hei, Dy, Jangan seenaknya gitu, lah! Bukankah kita sudah sepakat hanya para pria saja yang ada di sini?” Seorang dari mereka pun mengajukan protes.
“Udah-udah! Raven juga gak keberatan, kan? Biarin aja Andy melakukan keinginannya. Kita cukul melihat, apa dia mampu menghadapi serangan ketiga wanita panggilannya?!”
Semua orang tertawa mendengar ucapan pria berkacamata—Yono. Seakan tidak peduli, Ravendra hanya meminum minumannya tanpa tahu sudah berapa gelas yang masuk ke tubuh.
Saat ketiga wanita itu hadir di antara mereka, Andy dengan semangat menggoda bahkan menyentuh salah satu dari wanita panggilan tersebut. Sementara dua wanita lainnya terlihat melayani tiga pria lainnya yang duduk.
Ya, para wanita menuangkan minuman ke gelas pria-pria di sana. Tetapi tidak untuk Ravendra yang memilih menuangkannya sendiri. Bahkan, beberapa kali Ravendra menolak untuk dilayani salah satu dari wanita itu.
“Tuan, izinkan aku menuangkan minuman untukmu.”
“Tidak perlu. Layani saja mereka. Aku tidak membutuhkanmu.” Ucapan Ravendra sungguh dingin dan tegas, seakan dia bukan sembarangan yang bisa digoda.
Kesal dengan Ravendra, wanita itu mengadu pada Andy. Dengan keadaan setengah sadar, Andy menatap tajam ke arah temannya dan berjalan dengan sedikit sempoyongan.
“Heh, Rav! Dia cuma menjalankan tugasnya. Kenapa lo gak biarin dia nuangin minuman, sih? Cuma nuangin doang, loh! Ayolah, pesta ini, kan, dibuat untuk lo, Rav! Masa bintang acaranya diem-diem doang. Kan gak asyik!”
“Gue gak butuh cewek itu, dan gue gak perlu dilayani oleh siapapun. Lagi pula, perihal pesta ini … bukankah kalian sendiri yang buat? Gue hanya sebatas memenuhi undangan kalian.”
Ravendra berdiri dari tempatnya, dia melangkah menuju pintu. Baru saja pintu terbuka, Yono menghalanginya dan bertanya, “mau ke mana, Ren?”
“Gue mau ke toilet. Gak boleh juga?” jawab Ravendra, sedikit ketus.
“Bukan gak boleh. Tapi, gue juga mau ikut. Kebetulan, gue juga mau ngeluarin sesuatu,” jawab Yono di sela kekehannya.
Mereka pun berjalan bersama ke toilet. Ravendra merasa kepalanya berdenyut, sepertinya dia sudah mabuk hanya dengan menghabiskan dua botol minuman seorang diri.
“Sialan, sakit banget kepala gue,” gumamnya sembari menahan berat tubuhnya dengan bersandar.
Yono yang melihatnya segera membantu Ravendra untuk kembali ke ruangan mereka.
“Loh, kalian kenapa? Mabuk? Hey, ayolah! Ini baru beberapa botol! Masa udah mabuk lagi!” tanya Kenzi–salah satu teman Ravendra.
“Bukannya kita bakalan di sini sampai pagi?!” seru Andy yang tak terkendali karena pengaruh alkohol.
“Lihat! Padahal dia udah mabuk, tapi, masih aja mau minuman itu lagi,” sahut pria yang sejak awal terlihat tak bersuara, bahkan sikapnya hampir sama dengan Ravendra. Hanya saja, pria itu menikmati pelayanan yang diberikan wanita panggilan di sana.
“Rav, terima minuman itu! Hargai mereka untuk pekerjaannya,” ujar Kenzi.
Ravendra yang sudah kembali duduk di kursinya seketika mengerutkna dahi. “Maksudnya?”
“Gue gak nyuruh lo buat menanggapi mereka dengan serius, kok. Cukup terima pelayanan aja,” terang Kenzi.
“Kenzi benar, Rav. Terima aja dulu,” timpal Yono.
Ravendra hanya bisa menghela napas dalam. “Baiklah.”
Dan pada akhirnya, Ravendra pun menerima penawaran tersebut, hingga kesadarannya benar-benar tidak bisa dikendalikan. Pria itu pun tergeletak di sofa dengan kondisi setengah sadar. Sementara Andy terlihat mendekati temannya dan meraih ponsel Ravendra di atas meja.
“Lo mau ngapain?” tanya Yono.
“Gue mau hubungi calon istri Raven,” jawabnya.
“Untuk apa?” tanya Yono lagi.
“Gue cuma pingin tahu, apa dia bakalan datang kalau kita beritahu kondisi Raven di sini?” Andy mulai mengambil video dan foto Ravendra, lalu dikirimkan ke nomor Lylia yang diberi nama istriku oleh Ravendra sendiri.
Beberapa detik kemudian, sebuah telepon masuk dan nama kontak Lylia benar-benar muncul di sana.
“Raven? Kamu kenapa? Apa ada sesuatu hal yang buruk terjadi? Di mana kamu sekarang? Tolong katakan!" cecar wanita itu dari seberang telepon sana. Suaranya terdengar sedikit panik dan khawatir.
“Gue Andy, teman Ravendra. Kayanya, dia udah gak sadar. Tolong jemput dia di kelab Three Floor ruang VVIP dengan reservasi atas nama Red Code. Bilang aja lo mau ketemu Revan. Nanti, Milo bakalan antar sampai ruangan kami."
“Baiklah, aku akan segera ke sana.”
***