Mencari Masalah.

1554 Kata
Sebuah galeri lukis, menjadi tempat Lylia untuk bisa menenangkan pikiran, usai melewati hari yang sulit seperti hari tadi. Dimana adu mulut dengan ayah dan ibu tirinya di rumah, malah membuat Lylia memiliki perasaan yang begitu sensitif untuk tidak menangis. Jemarinya bergerak dengan baik, mengikuti arah benda yang kini tengah dilukis, memadupadankan warna-warna gelap dan terang secara bergantian, hingga menjadi satu kesatuan warna yang redup. Selain kamar, tempat ini pun menjadi rumah kedua baginya, saat ia berhasil menemukan suasana menenangkan di sana. “Sepertinya, kamu semakin lihai dalam membuat detail pada bagian bayangan. Itu sudah sangat bagus, Lylia.” “Ah, terima kasih atas pujiannya, Kak Indri.” “Jadi … apa yang membuatmu datang kemari? Tidak biasanya kamu datang di hari biasa.” Seorang wanita cantik dengan rambut diikat ke belakang bertanya kembali. Dia adalah Indri, pemilik galeri—tempat Lylia berada—saat ini. Mereka sudah saling mengenal dengan baik. Lylia bahkan menganggap Indri sebagai sahabat yang selalu menjadi tempatnya mencurahkan isi hati. Namun, tidak sekalipun Lylia mengisahkan hidupnya yang tertekan kepada wanita itu. Sekalipun mereka sudah sangat dekat. “Hanya kesalahpahaman kecil. Ayahku sepertinya salah menangkap maksud dari perkataan ibu tiriku.” Lylia benar-benar ingin menutupi apa yang terjadi semalam di rumahnya. “Baiklah, aku akan meninggalkanmu hingga lukisan itu kamu rampungkan. Aku ada di depan saat kamu selesai.” Tak ingin bertanya lebih jauh lagi, Indri pun berjalan menuju pintu keluar dan meninggalkan Lylia seorang diri. Wanita itu meletakkan plate lukisnya di atas paha, bersamaan dengan ingatan yang kembali memutar hinaan-hinaan dari keluarganya selama ini. Wajah cantik itu mulai tertunduk, hingga tanpa sadar air mata menetes dan bercampur dengan warna yang ada di plate lukis. Begitu jelas teringat setiap kata yang terlontar untuknya. Bahkan, satu tindakan yang tidak pernah didapatkan sebelumnya begitu membekas dalam ingatan. Plak! Satu tamparan menyambut kedatangannya malam itu, Jerry terlihat murka dengan aduan yang diungkapkan istrinya. Ditambah, Mira turut membakar situasi dengan keahliannya berakting. “A-ayah, apa salah aku?” tanya Lylia dengan tangan mengusap perlahan pipinya yang memerah. “Lylia, Ayah tidak pernah mengajarkan sikap tidak sopan padamu. Selama ini, Ayah mengatur semuanya, bahkan perjodohan itu, bukan ide dari ibumu. Semua keinginan Ayah untuk bisa melihatmu bahagia. Seharusnya kamu berterima kasih pada mereka berdua, selama ini mereka membantu Ayah untuk menjaga dan membesarkanmu!” Ucapan Jerry benar-benar tidak bisa Lylia mengerti. ‘Kesalahan apa yang kubuat? Sampai ayah menamparku seperti ini? Selama ini, ayah gak pernah mencubitku meski gemas sekalipun. Apa ini? Kenapa ayah berubah, dan gak bisa bicara santai seperti biasanya?’ Lylia membatin tentang sikap yang Jerry tunjukkan. “Ayah, dimana letak kesalahan aku? Kenapa gak dijelaskan dulu? Aku—“ “Diam! Aku tidak membutuhkan penjelasanmu! Sekarang, minta maaf pada ibu dan saudarimu!” Jerry berkata dengan tegas. ‘Gak. Aku gak mau minta maaf sama mereka! Toh, aku gak ngerasa melakakun kesalahan apapun!’ Lylia hanya bisa membatin dengan jawaban itu. Faktanya, dia mengucapkan permintaan maaf kepada ibu dan saudari tirinya. “Maafkan aku, ibu, Maafkan aku, Mira. Tidak seharusnya aku bersikap seperti yang kalian katakan.” “Tidak masalah, Lylia. Ibu tahu, kamu pasti masih terkejut karena perjodohan itu, bukan? Ibu hanya memikirkan masa depanmu, kami tidak ingin kamu salah memilih atau melangkah. Jadi, ibu menyarankan pada ayahmu untuk membuat kencan buta itu.” Wanita itu benar-benar pandai bermain lidah. Dalam hatinya, Lylia ingin meludahi wajah waniga itu, bahkan hingga merasa mual dan ingin memuntahkan isi perutnya saat itu juga. Betapa ibu dan saudarinya berbakat bermain peran, sampai-sampai, sang ayah percaya begitu saja pada keduanya. “Ayah, apa aku bisa pergi sekarang? Aku sudah meminta maaf.” Lylia berusaha pergi dan menjauh dari keluarganya. “Baiklah. Kamu bisa masuk kamar. Ayah akan membicarakan tentang pernikahanmu bersama ibu dan Mira.” Mendengar kalimat itu, Lylia membulatkan mata dan bertanya, “Apa dia mengatakan tentang pernikahan?” “Dia? Maksudmu Ravendra? Kenapa kamu memanggilnya dengan sebutan dia? Sangat tidak sopan!” sahut Jerry dengan tegas. “Maafkan aku, Ayah. Maksudku, Ravendra. Apa dia memberitahukan tentang kapan pernikahan itu dilaksanakan?” Lylia ingin tahu tentang pernikahan itu, pasalnya Ravendra berkata akan melaksanakannya dalam waktu satu minggu lagi. “Ya, tentu saja. Pria itu sangat sopan dan memberitahu kami tentang pernikahan kalian. Ibu sangat senang mendengarnya. Tidak lama lagi kamu akan mendapatkan seorang pria yang bisa menjaga dan memberikan semua yang kamu inginkan. Bukan begitu, Sayang?” Ibu tiri Lylia begitu bahagia saat mereka membahas pernikahan. “Yang aku inginkan?” “Ya. Dia cukup mapan sebagai pegawai di suatu perusahaan, bahkan mempunyai mobil sebagai kendaraan pribadi. Bukankah itu artinya dia mampu memenuhi segala keinginanmu?” Mengingat apa yang terjadi di rumahnya semalam, Lylia berusaha untuk kembali fokus pada lukisan di hadapannya saat ini. Dia mengatur napas agar bisa kembali tenang. Namun, tiba-tiba semua berubah ketika ponsel Lylia berdering dan menampilkan nama Ravendra pada layar. Lylia segera menerima panggilan itu dan mendengar suara tegas Ravendra, “aku ada di depan galeri. Cepat keluar! Temani aku makan siang.” “Kamu bahkan tahu dimana aku sekarang?” tanya Lylia, cukup terkejut dengan kedatangan Ravendra di tempat itu. “Ayahmu yang memberitahukannya padaku. Jadi, tidak perlu mempertanyakan hal kecil seperti ini.” “Aku perlu membersihkan tangan terlebih dulu. Tunggu sebentar!” “Ya, cepatlah.” Sambungan telepon pun berakhir. Dari pintu, Indri masuk dan bertanya pada Lylia tentang siapa yang sedang berada di luar galerinya. “Apa dia … pria yang—“ Lylia langsung mengangguk. “Aku harus pergi, biarkan saja dulu lukisan ini. Aku akan kembali melanjutkannya,” ucap Lylia sebelum beranjak. “Ya, tentu saja. Kamu bisa pergi.” “Terima kasih, Kak Indri.” Wanita cantik itu tersenyum hangat. “Selamat bersenang-senang, Lylia.” *** Setibanya di sebuah restaurant, keduanya pun memilih duduk saling berhadapan dengan hidangan yang sudah tersedia di meja. Namun kali ini, Lylia tak bersikap seperti pada pertemuan mereka sebelumnya. Wanita itu malah tak kunjung menyentuh makanannya, membuat pria di hadapannya cukup merasa kebingungan. “Kenapa kamu tidak memakan makananmu? Apa tidak sesuai selera?” tanya Ravendra, masih dengan cara berbicara yang begitu formal terhadap Lylia. “Aku ingin kita akhiri saja perjodohan ini. Aku merasa tidak cocok denganmu.” Lylia seperti melempar bom ke wajah Ravendra secara tiba-tiba. Pria itu meletakkan alat makannya, dan bersikap serius. “Apa maksudmu?” tanyanya. “Kejadian—“ “Aku minta maaf untuk kemarin, sepertinya kamu benar-benar kesal. Mungkin, untuk selanjutnya aku akan menunggumu hingga selesai. Kemarin, aku memiliki pertemuan mendadak. Pekerjaanku begitu mendesak hingga aku tidak bisa menunggu lebih lama.” Penjelasan Ravendra membuat Lylia kesal. Seakan-akan tahu, akan ada keburukan lainnya jika hubungan mereka berlanjut. “Karena itu, mari kita akhiri saja. Aku tidak tertarik untuk menikah denganmu.” Pengakuan Lylia membuat wajah pria itu bertanya-tanya. “Bukankah kita sudah cocok? Aku melihatnya, kamu tertarik padaku. Aku pun sebaliknya. Jadi, kenapa kamu ingin mengakhirinya? Kita bahkan belum memulai sama sekali.” “Bukankah alasanku cukup kuat? Sikapmu kemarin, sudah menunjukkan bahwa kamu bisa saja meninggalkan aku sewaktu-waktu hanya demi pekerjaan. Bagaimana jika saat itu nyawaku dalam bahaya? Apa kamu akan tetap mementingkan pekerjaan itu? Atau … kamu akan kembali dan menyelamatkan aku?” “Pertanyaan bodoh apa itu? Kenapa kamu bertanya hal yang tidak mungkin terjadi?” Lylia mendengkus. “Tidak mungkin terjadi? Hey, Tuan yang selalu Ayah dan Ibu tiriku agung-agungkan! Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini jika semuanya sudah tertulis sebagai takdir! Jadi, sepertinya kata-katamu barusan sangat tidak pantas untuk dikatakan.” “Lylia, kenapa kamu–“ “Kenapa? Apa kamu tidak bisa menjawabnya? Itu hanya pertanyaan mudah, tetapi—“ “Tentu saja aku akan kembali dan menyelamatkanmu. Aku hanya terheran-heran dengan pertanyaan itu. Kenapa kalimat seperti itu bisa keluar dari mulutmu?” “Itu semua karena ulahmu! Apa Tuan Sempurna ini masih belum mengerti juga?” Lylia malah semakin menjadi-jadi, bahkan memberikan beberapa panggilan mengejek kepada pria di hadapannya itu. “Aku sudah meminta maaf. Apa itu masih belum cukup?” tanyanya. “Kata maaf saja bahkan tidak cukup untuk itu!” Ravendra menatap penuh selidik, memperhatikan tarikan napas Lylia yang begitu cepat, juga sorot mata tajam wanita itu. Terlihat menggebu-gebu, penuh amarah, kekecewaan, dan luka yang begitu dalam. “Apa kamu sedang meluapkan kekesalahanmu kepadaku?” “Apa kamu menuduhku?” Perdebatan itu berlangsung cukup lama, bahkan beberapa pasang mata tertuju pada mereka. Keduanya seakan tak peduli pada hal itu. “Lylia, stop! Sudah cukup berdebatnya! Aku minta maaf untuk persoalan kemarin, juga hari ucapanku hari ini yang sekiranya menyinggung perasaanmu. Sekarang, makanlah! Kita sudah melewatkan jam makan siang. Aku tidak ingin kamu sakit sebelum pernikahan dilakukan. Kamu harus menjaga kesehatanmu,” ujar Ravendra, dan berhasil membuat Lylia kembali tenang. Perlahan, wanita itu mulai menyendok makanannya, memasukkan ke dalam mulut, dan kembali fokus pada hidangan makan siang yang tersaji. “Jadi, kita tetap menikah, bukan?” tanya Ravendra memastikan kembali. “Kenapa kamu harus mempertanyakan hal itu lagi, Tuan Formal?” Bukannya menjawab, Lylia malah balik mengajukan pertanyaan. Ravendra mengulurkan tangan. “Kemarikan tanganmu! Aku sudah menyiapkan ini untuk sebuah kejutan, tapi kamu malah membuat suasana menjadi tegang beberapa saat lalu,” ujar pria itu, sembari menyematkan cincin ke jari manis Lylia. Lylia berusaha mengulas senyumnya agar suasana kembali hangat. Walau sebenarnya, masih banyak hal yang mengganjal dalam hati, namun ia urungkan untuk dipertanyakan. “Maafkan atas sikapku beberapa saat lalu.” ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN