Percik-Percik Cemburu

1115 Kata
Assad menatap tajam laki-laki dengan rambut hitam yang ditata rapi itu. Laki-laki yang menatap pemilik rumah megah dengan tenang itu tersenyum simpul. “Gimana aku tahu?” ucap Nazar mengartikan keterperangahan Assad. Assad menutup mulutnya yang baru disadari telah terbuka sejak mendengar tebakan Nazar. “Aku memperhatikan gerakan dan penyelidikan Alfa,” jelas Nazar kemudian tersenyum. “Ah ... rupanya tak ada yang luput dari perhatianmu,” balas Assad sambil mengambil gelas keramik putih berisi kopi dengan krim yang dibentuk dengan cantik itu. “Jadi, itu gadis yang kamu cari?” ucap Nazar seraya menatap penuh selidik, tak se-inchi raut wajah Assad yang terlewat dari pengamatannya. Assad menyesap isi cangkir keramik itu, kemudian menggeleng, tangannya meletakkan cangkir itu ke tatakannya, lalu kembali menyandarkan punggung dan menatap garis batas langit di atas danau yang mulai bersinar keemasan. “Aku masih harus memastikannya, em ... gadis itu seolah orang yang berbeda walaupun memiliki kemiripan yang sama dengan saksi penembakan itu. Ah ... laki-laki pincang yang menyertainya itu juga tak sedikit pun dapat terlacak,” keluh Assad kesal. “Kalau gitu, gadis itu lebih berbahaya lagi bagi kita.” Nazar terlihat menegakkan punggung. “Bukannya kita dengan mudah melenyapkan gadis itu? Dari yang kulihat, gadis itu bukan seseorang yang sulit untuk dihilangkan,” cetus Nazar penuh penekanan. Assad mengambil napas dalam kemudian mengembuskannya dengan berat. “Aku juga sepemikiran denganmu. Tapi, seperti yang sudah kubilang pada Ronald, kita sekarang ada di dunia yang berbeda. Ini bukan zamannya di mana kita bisa memblokir sebuah berita. Sekarang setiap orang di negara ini adalah sumber berita. Apalagi gadis itu mengemban tugas masyarakat, pasti apa yang terjadi dengan gadis itu akan dipantau oleh semua orang di negara ini. Lihat kejadian kemarin! Percobaan pembunuhan gadis itu dalam sekian detik langsung menggegerkan seluruh pelosok negara ini. Ya, walaupun secara resmi di beritakan di berita nasional di pagi harinya oleh media mainstream. Kamu pasti sudah membaca berita yang menyangkutpautkan serangan beruntun itu dengan aktivitas korporasi kita,” papar Assad tak berdaya. Nazar terdiam, sejenak termenung kemudian menganggukkan kepala. Nazar beringsut dan mendekat ke arah Assad. “Kalau memang tak ada cara lain, aku setuju dengan keputusanmu. Tapi, beneran, gadis itu harus dibawa ke sini?” tegas Nazar sambil menatap tajam, mencoba menembus manik mata lawan bicaranya untuk mengungkap isi pikirannya. “Lebih baik tahu apa yang akan gadis itu lakukan daripada tidak sama sekali,” jawab Assad datar. “Em jangan sampai Nazar tahu jika ada yang berubah di hati ini berkaitan dengan gadis itu,” pikir Assad dalam hati seraya buru-buru mengalihkan pandangan. “Awasi Ronald agar jangan melakukan aksi yang dapat diendus tim penyidik itu sementara ini!” imbuh Assad cepat untuk menutupi apa yang tersirat dalam hati agar tak terbaca lawan bicara. Percakapan itu disela oleh suara sepatu berhak tinggi yang mendekat. “Di mana gadis itu?” Seorang gadis dengan tubuh ramping dan pakaian ketat berdiri di depan sofa itu. “Ah ...!” keluh Assad kesal sambil menoleh ke arah Nazar yang tersenyum seraya mengedikkan bahu. “Kenapa berita ini begitu cepat menyebar?” ucap Assad tanpa suara pada laki-laki yang duduk di sampingnya itu. Nazar tersenyum, tak menjawab dan justru mengambil cangkir yang berisi kopi dan menikmati isinya. “Assad!” teriak gadis dengan baju warna hitam itu kesal. “Melanie ...,” ucap Assad lembut. Gadis itu menatap dengan memicingkan mata, sinis. Gadis yang baru datang itu mendekat dan berdiri tepat di depan Assad. “Kamu melupakan percik-percik cemburu yang mungkin muncul dari tindakanmu membawa gadis detektif itu ke rumah ini, Assad,” ucap Nazar lirih tanpa menoleh pada Assad. “Nazar!” teriak Melanie seraya menoleh pada laki-laki yang sedang memegang cangkir itu. Laki-laki itu hanya mengedikkan bahu sambil menggeser posisi duduknya hingga menghadap ke arah Assad. “Apa ada yang mendadak gagu?” sindir Melanie dengan sinis. “Duduklah, Melanie! Mari kita nikmati langit yang indah itu,” kilah Assad lembut. “Jangan mengalihkan masalah!” seru gadis itu ketus, tapi tak urung gadis itu duduk di sofa itu. Gadis itu duduk dengan posisi miring dan bersedekap, matanya memandang Assad dengan kesal. “Sebegitu jatuh cintanyakah Kamu hingga memboyong gadis itu ke rumah ini?” seru Melanie berang. Assad terkekeh. “Cinta?” Assad malah balas bertanya, dadanya berdesar ketika apa yang ada di hatinya bisa terendus oleh gadis yang sedang memandang dengan kesal itu. “Para wanita memang cepat mengambil kesimpulan tanpa dasar,” sanggah Assad sambil mengerling. Melanie mendesah kesal, menggerakkan bola matanya ke atas sebagai isyarat lelah. “Aku yakin nggak bakal dapat jawaban jika terus bertanya ke Kamu,” keluh gadis bertubuh ramping itu sambil beranjak. Seorang pegawai laki-laki mendekat sambil membawa nampan berisi minuman untuk gadis itu. “Hei! Di mana kamar terbaik di rumah ini?” tanya melanie ketika mendekat pada pegawai itu. Pegawai laki-laki itu seketika menunjuk satu kamar yang berada di lantai dua rumah itu yang bisa dilihat dari ruangan di pinggir kolam renang itu. Tapi, sesaat kemudian ia baru sadar jika jawaban otomatisnya itu belum mendapat izin dari pemilik rumah. Pegawai laki-laki itu menoleh ke arah Assad dengan takut-takut. Dan dengan cepat meletakkan minuman di atas meja ketika melihat tatapan tajam mata Assad yang mengarah ke arahnya. Pegawai laki-laki itu langsung ngacir dari ruang itu. Melanie melirik sinis ke arah Assad. “Tatapanmu ke pegawai laki-laki itu, menunjukkan kesimpulanku yang dituduh tanpa dasar itu benar. Kamu nggak boleh lupa, wanita kadang tak memiliki bukti yang dasar yang kuat, tapi di dunia ini belum ada yang mengalahkan intuisi wanita, Assad,” seru Melanie masih dengan geram. Gadis itu bergegas berjalan ke arah yang ditunjuk pegawai laki-laki yang sudah kabur dari ruangan ini. “Melanie!” seru Assad seraya beranjak dan berusaha mencegat langkah gadis itu. “Ini tak ada urusannya dengan cinta-cinta dan yang semisalnya itu, ini karena masalah lain,” kilah Assad yang berdiri tepat di depan gadis itu. Melanie mendesah lelah, kedua tangannya bersedekap di depan d**a. “Aku tahu korporasimu sedang mengalami masalah dengan tim penyelidik yang diajukan masyarakat negara ini. Tapi membawa gadis itu pulang? Ayolah!” sanggah Melanie tanpa menyembunyikan rasa geramnya. “Dengar! Kantor detektif swasta yang menaunginya aja mengeluarkannya karena serangan beruntun yang menggegerkan kota ini kemarin malam, kenapa Kamu yang harusnya waspada pada gadis itu malah membawanya pulang?” lanjut Melanie dengan suara tinggi. “Aku sudah punya banyak saingan untuk mendapatkanmu, aku nggak mau menambah satu lagi,” imbuh Melanie kemudian berjalan hingga bahunya menabrak lengan Assad. “Ah ...!” seru Assad tak berdaya. “Hemm ... wanita mana yang bisa menahan serangan pesonamu?” seru Nazar dari sofa berbentuk huruf L itu. “Aaa ... Mel ... Melanie!” seru Assad sambil berlari mengejar gadis itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN