“Ah ...!” seru Ronald kesal, dua tangannya dengan sengaja mengacak-acak rambut panjang sebahunya dengan frustasi.
“Apa tak ada cara lain?” celetuk Ronald sambil menatap penuh harap.
“Sembunyikan gerakan-gerakan klan kita. Biarkan saja mereka berlima dengan kertas-kertas dan angka-angka itu. Berharap saja mereka nggak mengendus aksi-aksi bawah tanah kita,” ucap Assad dengan penuh penekanan.
“Ah ..., kalau begitu, aku harus jarang-jarang datang ke gedung ini,” sahut Ronald sambil beranjak dan meninggalkan ruangan itu dengan geram.
Assad termenung sambil menyandarkan punggung, berat badannya membuat sandaran kursi itu terlihat turun, kemudian kakinya terjulur lurus setelah memutar kursi itu tiga ratus enam puluh derajat hingga membelakangi meja kerja. Mata laki-laki itu memandang langit biru yang menaungi gedung-gedung yang tinggi menjulang di luar sana.
“Kenapa harus gadis itu? Kenapa harus Harra?” guman Assad lirih seraya berusaha meredakan jantungnya yang mulai berdegup tak menentu.
“Ah! Menyebut namanya saja, jantung ini jadi tak normal,” keluh Assad dalam hati. Laki-laki yang terlihat dingin itu memejamkan mata dan membayangkan wajah Harra ketika menolak barang-barang mewah pemberiannya itu. Kemudian mendengkus pelan, menyadari gadis itu adalah gadis yang tak silau dengan barang-barang mewah.
“Ah ... kenapa harus ketemu jenis gadis seperti ini?” bisik Assad geram, tangannya mengepal dan memukul pahanya sendiri dengan pelan.
Waktu berlalu. Matahari mulai bergerak ke barat, awan-awan berarak dan membuat sinar matahari sore terhalang. Di luar langit redup.
“Ketemu lagi besok,” seru Eliz kemudian berlari menuju mobil yang telah menunggu, tim penyidik dalam mobil itu kemudian melambaikan tangan ketika melintasi Harra yang masih berdiri di depan pintu utama gedung sambil menenteng satu tas belanjaan berukuran besar. Seorang pegawai laki-laki berdiri di belakangnya.
“Sebentar lagi mobil jemputan datang, Nona Harra diharap menunggu,” ucap pegawai laki-laki yang ditugaskan menahan gadis itu agar tak meninggalkan gedung ini. Harra hanya mendesah lelah tanpa memberikan jawaban, berdiri mematung dan hanya menatap ke depan.
Beberapa saat kemudian sebuah mobil mewah warna hitam berhenti tepat di depan Harra. Pegawai laki-laki yang berdiri di depan gadis itu beranjak dan membukakan pintu mobil. Gadis itu mendengkus kesal ketika melihat Assad duduk di jok penumpang dan menatapnya dengan tajam. Harra bergeming dan hanya balas memandang laki-laki itu.
“Apa perlu kugendong ke sini?” ancam Assad, kemudian tersenyum menyeringai. Harra menggerakkan bola mata ke atas, bahunya juga terlihat turun ke bawah. Lalu, dengan enggan berjalan ke mobil itu.
“Syarat tambahan yang tak masuk akal,” cetus Harra sambil membuang pandangan mata keluar jendela.
Assad terkekeh bersamaan dengan mobil yang bergerak meninggalkan gedung menjulang itu.
“Belanja?” seru Assad ketika melihat tas belanjaan yang berada di pangkuan Harra. Tangan Assad menyibak-nyibak isi tas itu. Harra melirik laki-laki yang duduk di sampingnya seraya menarik tas belanjaannya menjauh ke sisi lain.
“Baju-baju ini lebih cocok denganku,” sahut Harra cuek. Assad meniupkan napas.
“Itu cuma alasanmu menolak pemberianku ‘kan?” balas Assad kesal.
“Itu penegasan bahwa kita berada di sisi yang berseberangan,” sanggah Harra tak mengalah. Assad memandang dengan kesal pada gadis yang memalingkan pandangan darinya itu tanpa bisa berbuat apa-apa.
Empat puluh lima menit kemudian, mobil memasuki jalan sepi yang kiri kanannya berderet pohon-pohon yang tinggi. Rindang dedaunan pohon-pohon itu menaungi jalan hingga jalan panjang ini terlihat seperti lorong panjang dengan pemandangan di kanan kiri jalan yang terlihat indah. Tak berapa lama, mobil mewah hitam itu memasuki sebuah gerbang rumah yang berdiri megah di tepi danau. Mobil itu segera berhenti di depan teras rumah megah itu.
“Harra ..., Kamu benar-benar ingin masuk rumah ini dengan digendong ala pengantin baru?” ucap Assad lirih, satu tangannya memegang pintu mobil dan tangan lain memegang atap mobil hitam itu. Dengan membungkuk memandangi wajah Harra yang hanya bengong tanpa terlihat ingin turun dari mobil. Harra menyengirkan hidung dengan tak senang. Namun, akhirnya dengan berat turun dari mobil itu, lalu mengikuti langkah pemilik rumah megah dengan fasad minimalis itu.
Lorong pendek terbentang begitu pintu utama terbuka. Di ujung lorong itu sebuah taman indoor terlihat hijau dan tertata rapi. Sebuah sekat menjadi latar belakang yang cantik untuk taman dalam ruangan itu dan di balik sekat itu ada satu set sofa besar yang menghadap ke pemandangan danau yang indah. Beberapa meter dari sofa berbentuk huruf L itu kolam renang yang luas menambah indah pemandangan bagian belakang rumah itu.
“Antar Nona Harra ke kamarnya, umumkan pada semua isi rumah ini untuk melayani dan tak mengganggunya,” perintah Assad ketika sepasang laki-laki dan perempuan dengan seragam pegawai mendekat. Kedua orang itu mengangguk hormat.
“Maksud dari ‘tak mengganggu’ itu apa?” celetuk Harra sambil menoleh pada pemilik rumah megah ini. Assad menjawab dengan senyum seringai, kemudian mendorong lembut bahu gadis itu untuk mengikuti dua pegawainya.
“Kamu nggak akan ke mana-mana, Harra,” ucap Assad dalam hati seraya memandang gadis itu yang mengikuti pegawainya ke sisi lain rumah ini.
Langkah kaki terdengar mendekat. Assad menoleh kemudian tersenyum, lalu duduk di sudut sofa.
“Hem ... entah itu calon tuan putri di rumah ini ... em ... atau umpan ... atau hasil tangkapan,” ucap laki-laki yang baru mendekat itu kemudian duduk tak jauh dari pemilik rumah. Assad tersenyum penuh arti.
“Nazar ...,” ucap Assad pelan seraya menyandarkan punggung di sandaran kursi yang empuk itu.
“Dari tiga tebakanku itu mana yang salah,” balas Nazar sambil menoleh ke arah Assad.
“Baru kali ini, Kamu membawa orang di luar klan kita ke sini. Kalau itu hanya gadis-gadis yang biasa yang ... ya ... hanya untuk senang-senang saja, aku nggak akan meributkannya. Tapi gadis itu 'kan salah satu tim penyidik dan gadis itu juga ... detektif swasta. Menurutmu, apa kita sedang tidak memasukkan harimau yang mungkin akan memangsa kita sendiri?” lanjut Nazar melancarkan protes.
Seorang pegawai yang membawa minuman dan kue-kue cantik mengurungkan jawaban yang hendak keluar dari mulut Assad.
“Aku tahu keberatanmu karena Kamu memikirkan keselamatan klan kita. Sebagai tangan kananku, pertimbanganmu selalu kudengarkan. Tapi, kita sekarang harus sadar, kita berada di dunia yang berbeda dengan dulu. Jadi, menurutku lebih baik mengawasi harimau yang mungkin akan membahayakan klan kita itu,” jawab Assad ketika pegawai pembawa minuman itu telah berlalu. Nazar mendesah lelah. Laki-laki dengan tinggi sepuluh centimeter lebih pendek dari Assad itu kini menyandarkan punggungnya dan menatap jauh ke depan.
Berbeda dengan tangan kanan Assad yang lain, Nazar terlihat lebih tenang, terkontrol dan terlihat seperti laki-laki yang sangat baik.
“Ya, aku tahu pertimbanganmu tentang izin tim penyidik utusan masyarakat yang kini mulai bercokol di gedung kita itu. Tapi membawa salah satu penyidik itu pulang? Apa ini masuk akal?” sanggah Nazar keberatan. Assad terdiam cukup lama.
“Apa gadis itu berkaitan dengan penembakan Decca di Arkton kala itu?” cetus Nazar sambil menatap lawan bicaranya dengan tajam. Assad terperangah.