Chapter 16

1316 Kata
Saat Albert sedang serius mengerjakan laporan pemberian sekretarisnya, pintu ruangannya terbuka dan menampakkan laki-laki berumur yang masih tampan seperti dirinya. “Hai, Nak, apakah Papa menganggu kegiatanmu?” Bastian bertanya sambil berjalan menuju sofa. “Hai juga, Pa,” Albert membalas sapaan ayahnya. “Tidak. Aku hanya sedang memeriksa laporan perusahaan kita, Pa,” sambungnya sambil menghampiri sang ayah yang telah duduk di sofa. “Ada apa, Pa? Tidak biasanya Papa datang ke ruanganku? Apakah ada hal penting?” Albert mencecar Bastian dengan pertanyaan. “Tidak, Al. Papa ke sini hanya ingin memberitahumu bahwa besok Papa berencana mengadakan acara kumpul keluarga di mansion. Sudah lama Papa tidak berkumpul dengan anak-anak Papa, jadi besok datang dan ajaklah menantu Papa. Kalian juga harus menginap,” Bastian menjelaskan tujuan kedatangannya. “Ngomong-ngomong, bagaimana keadaan menantu dan cucu Papa, Al?” tanyanya lagi. “Mereka semua sehat, Pa,” Albert menjawabnya singkat. “Al, bolehkah Papa bicara?” tanya Bastian hati-hati. “Silakan, Pa.” Meski diliputi rasa penasaran, tapi Albert tetap bersikap setenang mungkin saat mempersilakan Bastian. “Al, Papa tahu pernikahan kalian terjadi atas dasar keterpaksaan dan tanpa dilandasi cinta. Papa hanya berharap kamu bisa berpikir dewasa menyikapi hal ini, perlakukanlah Cella sebagaimana seorang istri pada umumnya. Papa tahu sampai sekarang keluarganya masih belum bisa menerima kenyataan ini dan terkesan mengabaikannya, tapi tidak seharusnya kamu juga ikut memperlakukannya seperti orang tuanya dan Mamamu,” Bastian mengutarakan yang ada di pikirannya selama ini. “Kalian datanglah besok,” Bastian menambahkan saat berdiri dan menepuk bahu Albert. Bastian tidak ingin mendengar balasan Albert atas perkataannya baru saja. “Mengenai Mamamu dan sikapnya, kamu tidak perlu mencemaskannya. Nanti biar Papa yang memberinya pengertian. Papa jamin tidak akan ada keributan lagi.” Bastian seolah-olah bisa membaca yang sedang dipikirkan oleh anaknya. Albert hanya mengangguk gamang, sebab dia masih mencerna yang baru saja diutarakan sang ayah. Saat berada di dekat pintu keluar, Bastian kembali bersuara dengan tegas, “Papa harap kamu menjaga kesucian tali pernikahanmu dan Cella.” Setelah mengatakan itu, Bastian pun segera berlalu. Hati Albert tercubit mendengar ucapan tegas Papanya. Mengingat perilakunya selama ini kembali menjalin hubungan dengan Audrey di saat dirinya sudah dan masih terikat tali pernikahan yang resmi bersama Cella. Albert tahu bahwa di dalam keluarganya tidak ada istilah perceraian, hanya kematian yang menjadi alasan perpisahan di keluarga mereka. Dia yakin jika sampai Papanya mengetahui kesepakatannya dengan Cella, lebih tepatnya karena idenya sendiri, pasti laki-laki yang sangat dirinya segani tersebut marah besar. Memang benar Mamanya juga tidak menyukai Cella sebagai istrinya, tapi masih diragukan jika wanita yang sangat dia hargai itu akan menyetujui keinginannya untuk bercerai saat anak-anaknya terlahir. Perkataan Bastian yang sederhana membuat kepalanya tiba-tiba pusing. Saat hendak bangun untuk melanjutkan kegiatannya memeriksa dokumen perusahaan, ketukan pintu menghentikan langkahnya. “Masuk!” perintah Albert pada seseorang di balik pintu ruangannya. “Maaf, Sir, lima belas menit lagi Anda ada rapat dengan Mr. Christopher,” beri tahu Frecia kepada atasannya. “Siapkan dokumen yang diperlukan,” titah Albert tegas. “Baik, Sir, saya permisi.” Frecia kembali menutup pintu dan menyiapkan yang diperintahkan oleh atasannya. Albert kembali mengembuskan napas, dia kadang masih merasa canggung ketika harus bertatap muka dengan Mr. Christopher yang tidak lain adalah ayah mertuanya sendiri. Namun, dia berusaha bersikap seprofersional mungkin agar urusan bisnisnya tidak terpengaruh oleh masalah keluarga. *** Albert menuju ruang pertemuan didampingi asisten dan sekretarisnya. Dia memang ingin lebih awal berada di ruang rapat. Akan menjadi sangat tidak sopan jika membiarkan seseorang menunggu, terlebih itu tamu penting. Tidak lama setelah Frecia menyiapkan dokumen di atas mejanya, pintu ruangan dibuka oleh asistennya dan menampilkan laki-laki paruh baya yang mempunyai warna rambut serta bola mata seperti milik istrinya. Dia pun berdiri dan memberi salam, kemudian keduanya saling berjabat tangan. “Bagaimana kabar Anda, Sir?” tanya Albert formal dan sedikit berbasa-basi. “Baik, Anda sendiri?” Adrian membalas dengan tidak kalah formalnya sambil membenarkan letak kaca matanya. “Baik juga,” Albert menjawab sambil tersenyum tipis. “Bisa kita mulai sekarang, Sir?” Albert kembali bertanya setelah dirasa semuanya siap. “Silakan,” Adrian menanggapi sambil mengangguk. *** Agenda yang dibahas dalam pertemuan tersebut menghabiskan waktu kurang lebih satu setengah jam, selama itu keduanya sangat bersikap profesional. Meskipun kadang-kadang Albert dihinggapi rasa canggung, tapi hal tersebut cepat ditepisnya. Kerjasama mengenai proyek yang akan mereka kerjakan pun akhirnya menemui titik kesepakatan. Albert mengakui bahwa laki-laki paruh baya di hadapannya memang memiliki kharisma kuat dan bertangan dingin di bidang usaha yang digelutinya. Makanya dia tidak heran jika Adrian Christopher menjadi pengusaha yang sangat sukses dan berpengaruh sekaligus memiliki banyak perusahaan di berbagai bidang. Sahabat sekaligus kakak iparnya–George, juga sudah menuruni sifat Adrian. Bahkan, sejak mereka masih mengenyam bangku high school. “Selamat atas kerjasama ini, Sir.” Albert menjabat tangan Adrian. “Sama-sama, semoga ke depannya kerjasama ini bisa berjalan lancar.” Adrian menerima jabat tangan Albert. “Bagaimana kabar orang tuamu?” tanyanya ramah setelah mereka ditinggal sekretaris dan asisten masing-masing. “Baik, Sir,” jawab Albert formal. “Daddy,” koreksi Adrian tanpa ragu. Albert mengangguk. “Baik, Dad,” Albert mengulang jawabannya dengan sedikit kaku. “Mommy sehat?” tanyanya balik. “Sehat, tapi menjadi sedikit pendiam dari biasanya,” jawab Adrian sedikit muram. Adrian sebenarnya ingin menanyakan kabar putri semata wayangnya, tapi karena gengsinya teramat besar, jadi dia lebih memilih memendam pertanyaan itu untuk dirinya sendiri. Adrian sangat tahu penyebab istrinya sedikit berbeda semenjak putrinya menikah, tapi dia juga masih kecewa dan marah dengan Cella. “Dad, jika kalian mengizinkan, aku akan berkunjung ke sana bersama Cella,” ucap Albert berhati-hati setelah memerhatikan raut wajah ayah mertuanya yang berbeda. Albert ingin membantu Cella memperbaiki hubungannya dengan orang tuanya, apalagi sejak menikah mereka belum pernah berkunjung ke mansion Christopher. Dia menunggu reaksi ayah mertuanya dengan cemas. “Baiklah, tapi hubungi kami terlebih dahulu,” jawab Adrian lalu berdiri dari duduknya. “Terima kasih, Dad. Nanti kami akan memberi kabar selanjutnya.” Albert ikut berdiri dan menghela Adrian menuju pintu. Setelah mengantar Adrian sampai di depan lift, Albert menyuruh Frecia menyiapkan dokumen yang perlu dia periksa dan tanda tangani di atas meja kerjanya, sebab hari ini dirinya akan pulang lebih awal. *** Di dalam ruangan sebuah gedung perkantoran yang menjulang tinggi, terdapat dua orang laki-laki sebaya sedang berbincang-bincang. Mereka menyempatkan diri mengobrol setelah selesai melakukan pertemuan dan membahas pekerjaan. Sebagai seorang yang sama-sama sudah mempunyai tanggung jawab terhadap keluarga dan pekerjaan masing-masing, dua sahabat ini sangat jarang mempunyai waktu berdua hanya untuk mengobrol seperti dulu–sewaktu mereka masih single. “Steve, aku ingin meminta pendapatmu.” George mengempaskan bokongnya pada sofa empuk di ruangan Steve. “Pendapat tentang apa?” tanya Steve sambil menyerahkan soft drink kepada sahabatnya. “Ini tentang Cella, Albert, dan Audrey,” jawab George sambil mengembuskan napas dan hal itu langsung menarik perhatian Steve. “Kenapa dengan mereka bertiga?” tanya Steve sambil mengernyit. “Aku tahu ini bukan hakku untuk ikut campur terhadap hubungan pribadi mereka. Namun, sebagai seorang kakak, aku tidak mau adikku tersakiti,” jawab George sendu. “Maksudmu?” tanya Steve belum mengerti arah pembicaraan sahabatnya. “Sewaktu menginap di mansion orang tuaku, aku melihat mobil Albert berada beberapa meter dari pintu gerbang. Ternyata dia sedang mengantar Audrey pulang. Saat itu aku tengah berada di balkon dan tidak sengaja melihat mereka bermesraan, layaknya seperti waktu masih menjadi pasangan kekasih.” George mengusap wajahnya menahan kesal. “Jujur, aku sangat geram menyaksikan hal tersebut. Di satu sisi aku menyadari jika mereka masih saling mencintai, tapi di sisi lain Albert sudah menjadi suami Cella. Bahkan, sudah menjadi ayah dari anak yang sedang dikandung adikku,” George melanjutkan meski dilema terhadap kejadian yang menimpa adiknya. “Kemarin istriku menceritakan tentang kecurigaannya terhadap Audrey, makanya kami kembali tinggal di mansion orang tuaku,” George pun menceritakan semua yang disampaikan oleh Cathy kepada Steve.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN