Bab 2. Ingatan Semalam

1079 Kata
"Van …,” ucap Diana masih belum sepenuhnya sadar dengan apa yang ia perbuat ketika Evan mengangkat tubuhnya masuk kamar. Pria itu dengan perlahan menurunkan tubuh polos sang nona di ranjang. Alih-alih melanjutkan hal yang lebih gila dari yang sudah pria itu lakukan hingga membuat Diana mencapai puncak kenikmatan berkali-kali, pria itu malah menutup tubuh polos Diana dengan selimut. Ya, meski mereka tidak bercinta. Namun, dengan segala kepiawaiannya, Evan mampu membuat Diana seperti merasakan surga dunia. Hal yang memang sudah lama tidak pernah ia dapat dari Sanders yang lebih mementingkan pekerjaan seolah dirinya tidak lebih berarti dari uang. Saat itu, Diana menatap sang sopir dengan nanar. Entah apakah ini sebuah mimpi atau bukan. Namun, yang ada di hadapannya benar-benar Evan, bukan Sanders dan pria itu begitu lembut memperlakukannya. "Nona Diana butuh istirahat," kata Evan lirih. "Tapi kamu, Van?" kata Diana menahan pria itu beranjak dari tepi ranjang. Tangan wanita itu mengusap lengan Evan yang saat ini sudah sedikit tenang, walau tetap saja sang nona masih sangat menggoda. "Saya tidak apa-apa, Nona. Saya harus kembali ke kamar," bisik pria itu. Diana akhirnya melepas pria itu beranjak dari kamarnya. Sebelum itu, Evan mematikan ponsel milik sang nona dan mengembalikan benda itu di nakas. Ia juga merapikan pakaian Diana yang dilempar sembarangan ke lantai dan menutup pintu balkon dari luar. Kemudian pria itu, berlalu pergi melalui tiang yang tadi ia naiki. Dengan langkah gontai, Evan masuk ke kamarnya yang berada di paviliun khusus pelayan. Usai menutup pintu kamar dari dalam, Evan memejamkan mata dan menyandarkan tubuhnya di sana. Bayangan sang nona yang menggeliat indah masih mempengaruhi alam bawah sadarnya. Pria itu masih merasa menyentuh dan menjamah setiap inci tubuh Diana hingga membuat napasnya ikut memburu. Andai saja ia sudah gila tadi, pasti tubuh Diana sudah ia nikmati berkali-kali. Namun, Evan masih waras. Walaupun kepalanya jadi pusing karena tak mendapatkan pelampiasan, tapi ia begitu menikmati pemandangan indah dari sang nona yang cantik jelita. *** Pagi harinya, Diana yang tidur sangat lelap terbangun. Matahari sudah tinggi dan cahayanya masuk ke kamar wanita itu dengan terang. Ia lantas menyipitkan mata. Mencoba mencari kewarasannya yang hilang gara-gara alkohol semalam. Namun, yang tertangkap lobus frontalnya adalah sosok sang sopir. Buru-buru Diana membuka selimut yang ternyata benar, ia masih dalam keadaan telanjang. "Astaga, apakah aku sudah gila semalam?" ucap Diana seraya mengacak-acak rambutnya. Wanita itu ingat, bagaimana dengan gila ia membuka satu per satu pakaiannya di depan Evan. "Argh ... aku benar-benar sudah gila," pekik wanita itu lagi. Mengabaikan kepalanya yang terasa nyeri, Diana bangkit dan menyahut pakaiannya yang tergeletak di lantai. Buru-buru ia berpakaian dan menutupnya dengan piyama. Dengan wajah yang masih sangat kuyu, Diana berlari ke paviliun demi menemui sang sopir. Setibanya di depan kamar Evan, Diana coba mengatur napasnya. Apakah ia harus bicara sekarang, bertanya, atau apa yang harus ia lakukan? Tak hanya gugup, Diana benar-benar merasa canggung. Di saat wanita itu belum sempat melakukan apa-apa, tiba-tiba pintu kamar Evan terbuka. Diana terkesiap, lalu menunduk dalam. Begitu juga dengan Evan. Ingatan pria itu langsung kembali ke waktu di mana semalam ia telah menjamah tubuh sang nona dengan leluasa dan membiarkannya mendesah kenikmatan. "Nona." "Emh ... Van, aku ... aku ke sini untuk ... soal semalam. Aku harap kamu–" "Iya, Nona. Saya tidak akan mengatakan apa-apa pada siapa pun. Nona Diana tenang saja," sahut pria itu. Diana mendongak. Ia coba mencari jejak-jejak kebohongan di wajah pria itu. Namun, nihil. Evan sangat tulus. Pria itu bahkan tidak terlihat ragu sama sekali. Diana jadi teringat kejadian semalam. Apakah Evan pria yang normal atau ia benar-benar pandai menahan diri? "Oke, aku hanya ingin memastikan hal itu saja," kata Diana kemudian berlalu pergi setelah Evan kembali berjanji tidak akan mengatakan apa pun soal semalam. Setidaknya, ia harus coba percaya pada sang sopir. Diana kembali ke kamar dan membuka pintu balkon di mana semalam ia mabuk. Di kursi santai itu, Diana mulai tak tahu malu karena melihat film dewasa di depan Evan. Diana masih ingat, bagaimana dengan lembut pria itu menyentuh tubuhnya. Sangat lembut hingga wanita itu tak tahan. Ia juga ingat bagaimana setelah itu Evan mengangkat tubuhnya yang polos ke ranjang, tapi malah menyelimutinya. Aah ... Evan begitu paham apa yang ia mau. Jadi, apakah mungkin semuanya akan terulang lagi? Diana lantas menggeleng kasar. "Astaga, kenapa aku jadi gila begini? Ini semua gara-gara Sanders," ucap Diana seraya mengusap wajahnya dengan gusar. *** Selang beberapa hari kemudian setelah kejadian itu. Kini, Diana tampak kecewa saat melihat sang suami masih saja sibuk di ruang kerja meski sudah pulang sejak sore. "Selalu saja sibuk sendiri," kata Diana masih bermonolog kesal dalam hati. Berdiri di ambang pintu ruang kerja suaminya dengan sorot mata kesal. Matanya yang bulat asyik mengawasi Sanders yang sejak tadi terus berkutat dengan laptopnya. Pria itu tak menyadari kehadiran sang istri di sana. Sebab, data-data dalam laptopnya lebih menarik dari apa pun juga. Diana membuang napasnya dengan kasar, lalu mengikis jarak dengan Sanders yang kini menyandarkan punggungnya di kursi kerja. Mendengar suara langkah kaki, pria beralis tebal itu mendongak. Senyumnya terbit demi menyambut wanita kesayangannya yang malam ini begitu menggoda dengan baju tidur berwarna merah maroon. Begitu kontras dengan kulitnya yang putih bak pualam. "Kamu belum tidur?" tanya Sanders. Diana menggeleng lemah. Wanita itu kemudian berjalan mendekati meja kerja sang suami dan mengempaskan bokongnya di paha Sanders perlahan. "Aku nunggu kamu," kata Diana manja. Sanders tersenyum, lalu mengusap pipi Diana dengan lembut. Wanita di depannya terlihat begitu manja ketika berkata demikian. Iya, Sanders akui. Beberapa waktu ke belakang ini ia begitu sibuk dengan pekerjaan. Jadi, tidak punya banyak waktu untuk Diana. Wanita yang berusia jauh lebih muda darinya itu pasti juga butuh kasih sayang. Sanders mendaratkan ciuman di bahu Diana yang terbuka. Pria itu menghirup aroma tubuh sang istri dengan lembut seraya menyelipkan tangannya di pinggang Diana perlahan. Wanita itu bergetar. Refleks ia menoleh dan melingkarkan lengannya di leher sang suami. Berharap malam ini pria itu akan memberinya kehangatan. Sanders memanfaatkan keadaan itu dengan baik. Bibirnya mengatup erat pada bibir sang istri yang telah siap. Permainan itu dimulai. Keduanya saling memberikan sentuhan hingga Diana makin kepayang. Tepat ketika wanita itu menginginkan lebih, ponsel Sanders berdering. Sontak tautan bibir mereka terlepas. Sanders tidak mempedulikan Diana yang sedikit kecewa dan segera mengangkat panggilan telepon itu. “Kenapa sih di saat seperti ini harus ada pengganggu?” batin Diana merasa kesal. Hasratnya yang mulai naik seolah padam. Meninggalkan rasa pusing di kepalanya yang berdenyut. Ingin rasanya ia protes. Namun, wanita itu hanya bisa pasrah karena ternyata suaminya lebih mementingkan panggilan telepon itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN