Bab 3. Wanita yang Diabaikan

1379 Kata
"Tenang saja, Pak. Biar semuanya saya yang atur. Soal itu, saya akan pastikan semuanya berjalan dengan lancar," kata Sanders pada pria di seberang telepon. Sanders bangkit dan meminta Diana untuk beranjak dari pangkuannya. Sanders kemudian melanjutkan acara meneleponnya dan beralih ke depan jendela. Saat itu, Diana membuang napasnya dengan gusar. Selalu seperti itu akhirnya. Sanders hanya akan peduli dengan rekan bisnisnya dan uang. Sementara Diana yang masih memiliki gairah yang menggelora terabaikan. Wanita itu tanpa pamit pergi dari ruangan kerja sang suami. Dengan rasa kecewa yang menumpuk, Diana yakin jika Sanders tidak akan menyusulnya ke kamar. Ya, itu sudah biasa dan malam-malam kelabu akan tetap Diana jalani seorang diri. Wanita itu lantas masuk ke kamar. Sengaja Diana tak menyalakan lampu dan memilih menikmati kesepiannya dalam kegelapan. Namun, tak lama ia melihat bayangan seseorang yang berdiri di depan pintu. Diana tersenyum. Apakah itu Sanders? Tanpa permisi, wanita itu memeluk seseorang yang ada di ambang pintu. Lalu, menenggelamkan wajahnya di d**a bidang yang ada di depannya. "Aku enggak nyangka kamu akan ninggalin kerjaan kamu," kata wanita itu. "Emh ... maaf, Nona. Saya ... cuma–" "Evan." Diana langsung melepas dekapannya. Ia menyalakan lampu demi melihat siapa yang saat ini ada di depannya. Ketika melihat wajah sang sopir, Diana jadi teringat dengan kejadian saat Evan membantunya. Beberapa hari sejak itu, Diana sengaja tak keluar kamar. Ia juga tak ke mana-mana demi menghindari bertemu dengan sang sopir. Namun malam ini, saat ia butuh sekali belaian dari Sanders, Evan muncul lagi di hadapannya. Di kamarnya yang hangat. Apakah ia sudah gila? "A–apa yang kamu lakukan di sini, Van?" tanya Diana terbata-bata. "Maaf, Nona. Saya hanya ingin mengantar ini. Tadi, orang dari kantor Tuan Sanders yang mengantar ini. Saya pikir Tuan Sanders ada di sini. Jadi–" "Dia di ruang kerjanya. Antar saja ke sana!" sahut Diana kemudian. Napas wanita itu memburu. Seolah-olah sedang ketakutan. Ya, Evan tahu apa sebabnya. Namun, pria itu tak lagi mau kurang ajar. Harusnya ia bisa mengambil kesempatan ini tadi untuk mencari tahu sesuatu mengenai Sanders dan bisnisnya. Sesuai dengan misi yang ia emban. Sayangnya, karena Diana ada di kamar ini, ia tak lagi bisa melakukan itu. "Baik, Nona," jawab Evan kemudian. Pria itu hendak beranjak ketika kemudian Diana memanggilnya. Evan kembali memutar tubuhnya. Saat ia menoleh, Diana tengah menatapnya dengan nanar. "Iya, Nona." "Kamu masih menyimpan rahasia kita, kan?" tanya Diana. "Iya, Nona." "Bagus. Aku tidak mau–" "Tidak akan pernah ada yang tau. Nona tidak perlu cemas. Saya akan menyimpan rahasia ini sampai kapan pun," sahut Evan kemudian. Mereka bersirobok. Mata bening Evan benar-benar membuai Diana yang saat ini sangat butuh kasih sayang. Pria itu begitu tulus. Namun, apakah benar setulus itu? Diana menampik apa yang ia lihat saat itu. "Saya akan transfer uang untuk kamu. Sebagai tanda jasa atas bantuan kamu kemarin," kata Diana seraya membuang pandangannya ke arah lain. "Tidak perlu, Nona. Maaf sebelumnya. Sejujurnya ... saya senang melakukan itu. Tolong jangan berpikir terlalu jauh! Saya hanya membantu saja. Walaupun akhirnya, saya telah lancang karena terangsang melihat tubuh Nona," kata Evan kemudian. Diana benar-benar tidak tahu apakah pria di hadapannya benar-benar tulus. Nyatanya, ungkapan senang yang dilontarkan Evan mampu membuat Diana jadi tersipu. Apalagi pria itu juga mengaku telah terpengaruh dengan mengatakan bahwa ia juga terangs*ng. Sudut bibir Diana berdenyut pelan. Ia menunduk sebentar, lalu mendongak. "Terima kasih, Van." "Iya, sama-sama, Nona. Kalau begitu, saya permisi," kata pria itu hendak berlalu pergi. “Emh … tunggu dulu, Van!” Diana tiba-tiba menahan sang sopir. Entah kenapa, rasanya ia mau berlama-lama dengan Evan atau setidaknya, pria itu bisa meredakan sakit kepalanya seperti saat malam itu. “Ada apa, Nona?” tanya Evan. Pria itu menatap sang nona dengan nanar. Mulut Diana terbuka, tapi tidak sepatah kata pun keluar dari bibirnya. Sampai akhirnya, wanita itu menarik lengan Evan untuk mendekat. Dengan tatapan memohon, wanita itu berharap sang sopir paham apa yang ia inginkan. “Nona, ada Tuan Sanders di ruangan sebelah. Saya tidak mungkin–” “Sebentar saja, Van. Aku mohon.” Diana sekarang lebih berani. Wanita itu dengan gusar menarik lengan Evan menuju ke ranjangnya yang empuk. Sialnya, pria itu sama sekali tidak bisa menolak. Pesona istri bosnya tidak bisa ia tampik begitu saja. Sama seperti saat malam itu, Evan pun manut dan menunggu apa yang akan Diana lakukan selanjutnya. Wanita itu tak mau membuang waktu lagi. Ia bergegas naik ke ranjang dan menarik Evan. Dengan tangan kanannya, ia menurunkan tali di bahunya untuk lebih menggoda pria itu. Tentu saja, d**a Evan bergemuruh hebat. Ini kali kedua ia melihat sang nona penuh dengan gairah. Namun, kali ini terlalu penuh dengan risiko karena dilakukan saat Sanders ada di rumah. Apakah ia harus mengikuti keinginan sang nona saat ini? Diana menarik tubuh sang sopir untuk lebih mendekat. Jarak mereka kini sangat rapat hingga Evan lagi-lagi dapat mencium aroma tubuh sang majikan seperti malam itu saat pria itu membantu Diana menuntaskan hasratnya. “Nona, bagaimana kalau Tuan Sanders masuk ke kamar?” “Jangan khawatir, dia sedang sibuk. Jadi, dia tidak mungkin datang karena dia memang tidak peduli denganku.” Namun, apa yang Diana katakan jauh berbeda dari kenyataan aslinya. Di luar kamar, seorang pria yang tak lain adalah Sanders tampak melangkah semakin mendekat. Tiba-Tiba suara langkah itu terdengar di telinga Evan. Pria itu pun dengan cepat menjauhkan tubuh Diana hingga mengejutkannya. “Ada apa, Van?” tanya Diana penasaran. Evan tak menjawab. Menunjuk satu jari sebagai kode agar sang nona tidak bersuara. Tentu saja, ia tidak mau ketahuan karena hampir menodai istri bosnya sendiri. Mengetahui kedatangan Sanders yang kian dekat, Diana pun mulai kebingungan hingga tidak tahu harus berbuat apa. “Terus bagaimana, Van?” “Nona, tenang saja! Bersikap seperti biasa saja di depan Tuan nanti.” Setelah mengatakan itu, Evan pun keluar dari kamar melalui balkon. Tepat lewat tiang yang ada di bawah ruangan itu, ia keluar dengan cepat agar tidak ketahuan Sanders. Di saat Diana masih melihat ke arah balkon demi memastikan Evan pergi, Sanders masuk dan melihat sang istri yang sudah berantakan di ranjang. Ia terkejut, tapi tidak berpikir apa-apa. Pria itu duduk di sebelah sang istri yang terlihat tegang, lalu mengusap lembut pipi wanita itu. “Kamu masih belum tidur?” “Kita belum selesai, Sanders,” kata Diana sedikit manja demi menutupi rasa gugupnya. Tangan wanita itu terulur demi menarik perhatian sang suami. Sayangnya, Sanders sedang tidak bisa melanjutkan apa yang sudah Diana mulai sejak di ruang kerja tadi. Ia hanya datang untuk mengambil charger laptop dan harus kembali melanjutkan pekerjaannya. “Maaf, Sayang, tapi aku masih harus menyelesaikan pekerjaanku dulu,” kata Sanders yang kemudian bangkit setelah mengambil apa yang ia butuhkan di nakas. Pria itu kemudian hendak kembali ke ruangan kerjanya usai menyematkan kecupan di kening sang istri lembut. “Tidurlah, tak perlu menunggu aku!” katanya sebelum pergi. Diana pun tak menyahut. Wanita itu sedikit kecewa, tapi juga lega karena suaminya tak melihat Evan di kamar mereka. Walaupun pada kenyataannya, semua itu juga karena Sanders yang gila dengan pekerjaan dan terlalu sering mengabaikannya. Sementara itu, Evan yang sudah kembali ke kamarnya hanya bisa mengusap wajahnya dengan gusar. Hampir saja Sanders memergoki mereka yang sedang berbuat gila. Jika itu terjadi, semuanya pasti akan sangat berantakan. Usai menenangkan diri, Evan berjalan cepat menuju ke ruangan kerja Sanders. Setidaknya, ia harus mengantar dokumen dari kantor pria itu agar tidak ada yang curiga. Nyatanya, bayangan Diana ketika ada di dalam kungkungannya terus berputar di kepala. Evan tidak tahu, apakah sebaiknya ia memanfaatkan hal itu atau tidak. Nyatanya bagi pria itu, Diana teramat baik untuk dijadikan umpan. Dan, Evan tidak sampai hati melakukannya. Kejadian malam itu saja ia merasa sangat tidak enak, apalagi malam ini. Ia bahkan hampir saja lupa daratan karena Diana benar-benar sangat menawan. Ia memang gila karena nekat melakukan itu pada Diana. Namun, ia hanya ingin membantu, walau pada akhirnya ia jadi terlena. Asyik memikirkan istri bosnya, tiba-tiba ia sampai di depan ruangan kerja itu. Evan hendak mengetuk pintu, tapi suara Sanders yang sedang melakukan panggilan telepon menarik perhatian. "Transaksi itu akan dilakukan besok di Hotel Victoria. Jangan sampai ada pihak yang menggagalkannya. Paham!" Evan memutar arah. Ini adalah informasi yang yang ia butuhkan. Jadi, pria itu memutuskan untuk kembali ke kamarnya dan mulai menghubungi seseorang. "Hotel Victoria besok. Lakukan penyamaran karena Sanders memperketat pengawalan," lapornya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN