6

2039 Kata
Liena menghela napas panjang. Sudah jam sembilan malam dan ia terjebak selama tiga jam di sini. Tapi, tidak apa. Asalkan ia bisa sampai rumah dengan selamat. Liena membereskan barang-barangnya di atas meja. Merapikannya dan memasukkan beberapa dari mereka ke dalam laci meja. Dan ada beberapa yang ia bawa pulang. Liena menatap hujan yang beralih menjadi rintik-rintik dan tidak sederas tadi. Ia menggosokan telapak tangannya agar tubuhnya yang kecil tidak terasa kedinginan karena udara di dalam ruangan mulai menyakitinya perlahan-lahan. Dengan segera, Liena mengambil mantel cokelat tebalnya yang tergantung pada tiang khusus untuk jaket dan mantel yang ada di sudut ruangan. Ia memakainya pada tubuh kecilnya dan pergi keluar untuk mengunci ruangan kerjanya. Liena melangkah melalui koridor rumah sakit yang mulai sepi karena beberapa pegawai sudah pulang sejak siang tadi. Hanya beberapa petugas kebersihan dan beberapa dokter yang mendapat jam jaga malam dari atasan. Setelah berpamitan, Liena segera melangkahkan kakinya menuju parkiran mobilnya. Sebelum ia benar-benar sampai ke area parkir, ia melihat sosok pria yang duduk di sebuah kursi dekat parkir tamu dengan pandangan kosong dan datarnya menatap lurus ke depan. Dan dia mengenal pria itu. Achazia Kalandra. Sedang duduk dengan tubuhnya yang menggigil karena air hujan membasahi kemeja putih polosnya. Kemeja itu basah kuyup. Sama seperti rambutnya yang masih basah dan menetes karena air hujan. Liena terdiam. Haruskah ia mendekat? Tidak berpikir panjang, Liena mendekat. Membuat iris kelam itu memutar untuk melihatnya. "Kenapa kau disini?" tanya Liena. Ia memperhatikan sekelilingnya dan tampak sepi. Tidak ada satu orang pun yang berani melewati tempat ini jika sudah malam hari. Jarang sekali. Kalandra diam. Wajahnya yang pucat dan tubuhnya yang bergetar seakan menjawab pertanyaan Liena. Achazia Kalandra kehujanan, jelas saja. Tapi, kenapa? "Bisakah aku tidur di ruanganmu malam ini?" tanya Kalandra yang diberi kerutan dahi oleh Liena karena pertanyaannya. Lalu, bibir pucat itu kembali membuka. "Hanya untuk malam ini. Aku janji, untuk hari seterusnya aku akan mencari tempat lain untuk tidur." "Apa maksudmu? Kenapa kau harus tidur di dalam? Dimana rumahmu? Aku akan mengantarmu pulang kalau begitu," seru Liena yang diberi gelengan kecil oleh Kalandra. "Aku tidak bisa tidur di rumahku malam ini. Aku tidak bisa pergi ke sana untuk seterusnya," jawabnya dengan tubuh yang semakin bergetar. Liena memandangnya dengan pandangan lirih bercampur bingung. Ia tidak tahu apa yang dialami pria ini beberapa jam yang lalu. Tapi, yang jelas, Kalandra baru saja mengalami peristiwa yang cukup berat. Liena terdiam. Meneliti wajah pucat itu beberapa lama untuk berpikir. Tubuh besarnya yang semakin bergetar karena rasa dingin dan kemejanya yang basah membuat hati kecilnya tersentuh untuk segera menolongnya. "Jangan tidur di sana, kau bisa mati kedinginan nanti," jawab Liena singkat. Lalu, iris hijau itu memutar untuk menatap mobil hitamnya. "Kau bisa ikut aku. Aku punya tempat yang sekiranya cukup hangat untukmu tidur di sana." Kalandra menarik sudut bibirnya, tersenyum samar. "Kenapa kau tidak ingin aku mati? Itu berita bagus untukmu, kau tidak akan menemukan pasien yang menyebalkan seperti aku lagi." Liena mendengus. Dia merapatkan mantelnya di tubuh kecilnya. "Jangan bercanda. Aku sedang tidak ingin mendengar lelucon murahanmu saat ini," desisnya. Lalu, seketika Kalandra mendongak ketika ia merasa ada benda tebal yang membungkus tubuh basahnya dari belakang. "Pakai itu. Kau lebih membutuhkannya daripada aku," Liena bersuara untuk menjawab rasa bingung Kalandra ketika mereka saling berpandangan. "Aku akan menyalakan pemanas di mobilku. Kau akan merasa lebih baik nanti." Liena pergi lebih dulu menuju mobilnya. Kalandra memandang punggung wanita itu dari belakang. Punggung itu terlihat rapuh di matanya, tetapi Liena menyembunyikannya dengan baik seolah-olah punggung itu adalah baja keras yang tidak bisa ditembus apa pun. Dan Kalandra melihatnya. Hujan masih rintik-rintik, Kalandra mendapati rambut Liena yang basah karena terpaan air hujan. Tetapi, wanita itu bertingkah seolah-olah dia kebal dengan air hujan itu sendiri yang bisa membuatnya jatuh sakit nanti. Mobil hitam itu berhenti tepat di depannya. Liena keluar dari dalam dengan kepulan asap putih di setiap hembusan napasnya. Kalandra tahu, wanita itu sedang berjuang untuk melawan rasa dingin di tubuhnya. "Cepat masuk, kalau tidak kita berdua akan mati kedinginan nanti," titah Liena yang langsung membuat Kalandra bergerak untuk membuka pintu mobil penumpang. Liena masuk ke dalam untuk menyalakan pemanas. "Jangan khawatir, aku bisa menyetir," canda Liena ketika ia mendapati tatapan mata pria itu terlihat ragu ketika ia memegang kemudi mobil. Kalandra hanya mendengus, ia kembali mengarahkan pandangannya ke luar jendela dan membiarkan Liena mengemudi. Mobil hitam itu melesat ke luar halaman rumah sakit. Kalandra memandangi jalan yang ia lewati dalam diam. Pemanas di dalam mobil sedikit demi sedikit mulai mengurangi rasa dingin yang bersarang di dalam tubuhnya. Ia melirik Liena yang mengemudi dalam diam. Pandangannya lurus ke depan dan Kalandra tidak mengerti ekspresi wajah apa yang sedang ditampilkan wanita itu. Jutaan wajah bisa saja Liena tampilkan untuknya. Dan ia tidak tahu salah satu di antara mereka yang asli. Semua yang wanita itu tampilkan mungkin palsu atau mungkin asli. Kalandra belum bisa menebaknya. Liena punya kemampuan luar biasa dalam menyembunyikan perasaannya. Tapi, tidak dalam pertemuan pertama mereka. Wanita itu tidak menyembunyikan ekspresi terlukanya ketika ia datang untuk bertemu dengannya. Menampar wajahnya untuk pertama kalinya. Untuk pertama kalinya Achazia Kalandra ditampar oleh wanita yang tidak ia kenal. Lampu merah menyala, Kalandra merasa mobil yang sedang ia tumpangi berhenti. Ia menoleh ke arah Liena yang sedang menutup hidungnya hendak bersin. Wajah wanita itu memerah sempurna, terlihat dari sisi wajahnya. Kalandra menaikkan volume pemanas mobil agar Liena juga ikut merasa hangat. Liena menoleh, mendapati Kalandra yang menatapnya dengan pandangan datar. "Kau juga butuh mantel ini," Kalandra membuka mantel tebal milik wanita itu yang terlihat basah karena tubuhnya. "Dan maaf juga untuk mobilnya." Liena mendengus. Kedua tangannya membentuk silang untuk menolak mantel yang Kalandra berikan padanya. "Aku baik-baik saja. Pakai saja mantel itu," lampu hijau menyala. Liena kembali memutar kemudinya untuk berbelok arah. Hanya butuh waktu dua puluh menit lebih, mereka sampai ke tempat tujuan. Kalandra memperhatikan rumah di sekelilingnya. Terlihat berbeda dari yang pertama ia datangi. Kalandra tidak tahu Liena mengajaknya kemana, yang jelas, ini tempat asing untuknya. Liena turun dari mobil. Ia mematikan mesin mobil dan menunggu Kalandra keluar dari dalam mobil. "Ini rumahku," jelas Liena ketika ia melihat raut wajah kebingungan pria itu. "Kau bisa tidur di rumah belakang. Rumah itu juga sama besarnya dengan rumah utama." Kalandra mengikuti Liena yang membuka pagar rumahnya dan meninggalkan mobilnya di luar rumah dalam keadaan terkunci. Rumah itu cukup besar, berbanding jauh memang dengan rumah miliknya. Tetapi rumah ini bersih. Kalandra melihatnya dengan jelas kalau tidak ada sampah yang berserakan di halaman rumah yang besar. "Sejak kapan kau tinggal di sini?" Kalandra membuka suaranya untuk bertanya. Liena membuka pintu utama dengan kunci yang diambilnya dari dalam tas. "Dua tahun lalu. Masih belum lama," jawabnya setelah ia berhasil membuka pintu. "Masuklah. Ada pemanas otomatis di ruang tengah. Kau bisa duduk di sana menghangatkan tubuhmu," Liena masuk lalu diikuti Kalandra yang berdiri canggung di dekat pintu. Liena menutup pintunya, melirik Kalandra yang berdiri diam masih di tempatnya. "Tidak apa-apa, aku tinggal sendiri di sini," sela Liena sebelum Kalandra berbicara yang tidak-tidak tentang dirinya. Kalandra mengangguk singkat, ia melangkah canggung menuju ruang tengah dan menemukan ada pemanas besar di tengahnya. Ia melangkahkan kakinya ke sana, duduk di karpet tebal dan mulai membuka mantelnya. Liena terdiam di ujung ruangan. Ia melihat pria itu terluka membuat hati kecilnya ikut tergores. Melupakan apa yang pernah ia lakukan, ia sepenuhnya ingin membantunya. Itu sudah sumpahnya, ia tidak peduli dengan uang atau apa pun, selama pria itu bisa melanjutkan hidupnya, itu cukup untuk menjadi bayaran terbesar untuknya. Kemeja yang Kalandra kenakan masih basah. Liena teringat sesuatu kalau dia tidak memiliki pakaian laki-laki di rumahnya. Pakaian Aksa sekali pun, Liena tidak akan pernah memberikannya. Dia hanya menyimpan dua kemeja yang menjadi favorit kekasihnya, dan Liena tidak akan memberikannya. Tidak untuk Achazia Kalandra. Liena pergi ke dapur setelah melepas sepatu kerjanya dan menggantinya dengan sandal rumah. Ketika ia menoleh, ia mendapati Kalandra menatapnya dengan alis terangkat. Liena teringat, Kalandra masih memakai sepatunya yang basah ke dalam rumahnya. "Sebaiknya, kau lepas sepatumu dan jemur di atas sana. Besok sepatumu akan kering. Diluar masih hujan, sepatumu tidak akan kering kalau kau jemur di luar sana." Kalandra mengangguk. Ia melepas sepatu miliknya dan menuruti kata-kata Liena. Wanita beriris hijau itu menghela napas panjang, ia pergi ke dapur untuk membuatkan minuman hangat. . . Kalandra memeluk kakinya dan duduk diam di depan pemanas. Tatapan matanya terasa panas seiring api yang semakin besar membakar kayu di sana. Liena datang membawakan dua gelas teh hangat. Wanita itu tidak berkata apa-apa selain tersenyum kecil dan mendorong salah satu gelas berukuran sedang ke arahnya. "Ini berguna untuk membuat tubuhmu tetap terasa hangat," kata Liena yang diberi respon diam Kalandra. Pria itu melirik teh di dalam nampan dan kembali menatap pemanas. "Di dapur ada pintu, kau bisa lewat pintu itu untuk pergi ke rumah belakang. Jangan khawatir, aku juga membeli pemanas di sana. Ada televisi, ada dapur kecil, ada kamar mandi dan semuanya yang kau butuhkan ada di sana," jelas Liena ketika dia hendak pergi menaiki tangga kecil. Sebelum wanita itu benar-benar pergi, dia berbalik untuk memberitahu Kalandra sesuatu. "Kalau kau butuh sesuatu, ketuk saja pintu kamarku." Kalandra mengangguk singkat dan membiarkan Liena pergi. Ia meneliti seisi ruangan dan menemukan adanya pigura berukuran besar dimana foto pria berambut merah bersama foto wanita itu tengah bersama. Kalandra memandangi foto itu lekat-lekat. Wajah wanita itu tampak bahagia. Tidak seperti yang dilihatnya untuk pertama kalinya setelah kejadian itu berlalu. Dan Kalandra juga yakin, ekspresi wajah dan senyum yang wanita itu berikan adalah palsu untuknya. Semata-mata hanya untuk membuatnya tetap tenang. Menghela napas, Kalandra mengambil sepatunya dan pergi menuju rumah belakang. Tidak terlalu jauh dari pintu belakang. Rumah mungil itu cukup besar untuk dirinya yang hanya tinggal seorang diri di sana. Rumah itu memiliki satu kamar tidur yang berukuran sedang, satu kamar mandi, dapur kecil di belakang rumah, satu televisi, lemari pakaian yang hanya terisi satu handuk dan memiliki pemanas yang cukup hangat untuk seisi ruangan. Kalandra menaruh sepatunya, dan bersiap untuk membersihkan tubuhnya akibat terpaan air hujan. Hanya satu malam dia akan tidur di sini, dan dia berjanji akan mengganti kebaikan wanita itu lain hari. . . Liena melirik jam di kamarnya. Pukul sebelas malam. Rasa pusing di kepalanya serta flu yang menyerangnya berhasil membuatnya tidak bisa tidur. Liena mengusap matanya yang memerah karena kantuk. Rasa lelah di pundaknya belum sepenuhnya hilang. Ia bangun dari ranjang besarnya, mendekati jendelanya yang masih terbuka. Rumah belakang yang biasanya terlihat gelap kini berubah. Beberapa lampu tampak menyala dan itu menandakan kalau Achazia Kalandra sudah ada di sana. Liena pergi ke dapur untuk mencari kotak obatnya. Dia harus menemukan obat pereda pusing dan flunya. Kalau tidak, dia tidak akan bisa pergi bekerja besok dan harus beristirahat di tempat tidurnya. . . Kalandra baru saja hendak membuka pintu dapur rumah utama sampai dimana pergerakan tangannya terhenti ketika mendengar langkah kaki di dalam rumah. "Sial, kemana obat itu?" gumam Liena dengan wajah yang beberapa kali meringis karena rasa sakit di kepalanya semakin menjadi-jadi. Kalandra mendengarkan gumaman lirih wanita itu dari celah pintu yang sedikit terbuka tanpa Liena ketahui. Kepalanya jauh melihat ke depan dengan matanya terbuka waspada. Wanita itu duduk dengan kedua tangannya memegang kepalanya yang terasa sakit. Beberapa kali bersin disertai batuk juga terdengar sampai ke telinga Kalandra. Pria itu kembali menutup pintu utama dan bergerak mundur beberapa langkah lalu pergi. . . Lima belas menit berlalu, Liena menghabiskan waktunya sia-sia untuk mencari obat itu namun tidak berhasil ia temukan. Yang ia lakukan hanyalah duduk, menghirup uap teh hangat yang baru saja ia buat untuknya dirinya sendiri. Hidungnya terlihat memerah karena flu yang sudah pasti menyerang sistem kekebalan tubuhnya yang sedang lemah. Liena meminum sedikit dari teh itu, kembali menaruhnya di atas meja dan bergegas pergi menuju kamarnya. Sebelum ia sempat mematikan lampu ruang dapurnya, ia mendengar suara pintu terbuka dan menampilkan Achazia Kalandra dengan rambut basahnya yang terkena air hujan di luar rumah. "Apa kau butuh sesuatu?" tanya Liena serak. Kalandra mendekat, salah satu tangannya tersembunyi di balik punggungnya yang membuat Liena menaikkan salah satu alisnya. "Apa itu?" "Aku melihatmu tidak sengaja sedang mencari obat dan kau tidak menemukannya. Aku belikan ini. Apotik di depan sana belum tutup," jawabnya. Liena melebarkan matanya ketika salah satu tangan pria itu terulur untuk memberikan obat berbungkus plastik itu padanya. Wajah pria itu tampak datar. "Aku menemukan beberapa lembar uang di dalam saku celanaku. Kupikir itu cukup untuk membelikanmu obat ini," lanjutnya. Kalandra lalu memutar tubuhnya untuk berbalik pergi. Meninggalkan Liena yang berdiri membisu memandangi punggungnya yang tampak basah. Masih sama. Pria itu masih memakai kemejanya yang basah dan celananya yang basah. Pintu dapur tertutup sempurna. Liena menunduk memandangi bungkus obat di tangannya. Dan dia tidak tahu, kenapa hati kecilnya selalu berteriak keras kalau Achazia Kalandra bukanlah pelaku utama atas kematian kekasihnya tiga tahun lalu. Dan dia masih belum bisa mempercayainya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN