5

1156 Kata
"Laura, tenanglah," Liena mengusap bahu sahabatnya yang bergetar. Laura hampir saja mengacaukan pengobatannya tadi jika Liena tidak segera bertindak. Pandangan Laura mulai memburam. Liena melihatnya dengan jelas. Manik cerah itu mulai basah perlahan-lahan dan itu membuat hatinya ikut terluka. Laura adalah sahabat baiknya, saudara terbaik yang ia miliki. "Dia Achazia Kalandra. Dia pelaku kematian Aksa, kekasihmu. Kenapa kau harus membantunya, Liena? Kenapa?" lirih Laura. Liena menarik tangan Laura untuk duduk di kursi tunggu yang ada di depan ruangannya. Laura mengikutinya dengan wajah memerah karena menahan tangis. Liena tahu benar, Laura tidak bisa dipisahkan dari masa lalunya. Sama seperti dirinya. "Ini bukan seperti apa yang kaupikirkan," Liena bersuara sembari menenangkan sahabatnya. "Dia sedang terluka, Laura. Ini lebih dari apa yang kau bayangkan. Awalnya aku juga sama seperti dirimu, aku terkejut. Jika bisa, aku akan mengajukan pernyataanku pada atasan karena tidak mau membantunya. Tapi Laura, dia benar-benar sedang terluka." Laura terdiam. Pandangannya tidak lagi menatap wajah Liena yang berusaha menenangkannya. "Dia butuh seseorang untuk mengerti dukanya, Laura. Apa kaupikir aku tega melakukan ini padanya? Tidak. Jika kau ada di posisi yang sama sepertiku, kau juga akan lakukan hal yang sama," lanjut Liena. Laura menoleh dengan pandangan lirih. "Kau ingat tiga tahun lalu? Saat Aksa sedang berjuang untuk hidup di tengah-tengah luka berat di tubuhnya. Kau ingat? Kau ingat siapa pelaku yang membuatnya kehilangan nyawanya, Liena? Kau ingat?" Liena menunduk dengan pandangan memburam. Kedua tangannya mengepal di sisi tubuhnya. Laura menutup mulutnya guna meredam isakannya. Bahu Liena yang bergetar membuat Laura tersadar, ia terlalu jauh menggali masa lalu sahabatnya. Liena berusaha untuk tidak lagi merasa hancur ketika mengingatnya. Namun, kali ini Laura mengacaukannya. "Liena, Achazia Kalandra sedang menerima balasannya. Tuhan membalasnya untukmu. Biarkan dia menderita sama seperti dirimu. Aksa yang tidak berdosa menjadi korban kebodohannya. Seharusnya, kau paham betul itu. Tidak ada manfaatnya membantu orang macam dirinya," papar Laura lembut. Liena menghela napas panjangnya. Ia menatap manik biru itu dengan pandangan lirih. "Ini rumit. Kau harus tahu itu. Aku sudah bersumpah untuk membantu pasienku siapa pun itu, termasuk dirinya. Dia datang padaku, meminta tolong padaku. Aku tidak mungkin setega itu padanya." Laura terdiam. Ia mengusap kedua pipinya yang basah kasar. Pandangannya menatap lurus ke depan, memandang pintu ruangan kerja sahabatnya. "Dengarkan aku, Liena. Jika kau terluka lagi karena dirinya, aku yang akan turun tangan untuk menampar wajahnya. Kau harus ingat itu," Liena sempat terkejut dengan kata-kata sahabatnya, tetapi kemudian dia tertawa kecil. "Ya, baiklah. Akan kuingat selalu." Laura mau tak mau ikut tersenyum, ia membuka tangannya untuk memeluk Liena yang kini mendekat untuk memeluknya. "Aku hanya tidak mau kau terluka lagi, Liena. Hanya itu." "Aku tahu, Laura. Aku tahu." . . Pintu ruangan terbuka. Tanpa Kalandra menoleh, dia tahu siapa yang masuk ke dalam kali ini. "Maaf. Laura terkejut ketika melihatmu. Dia lepas kendali," Liena membuka suaranya lebih dulu ketika mendapati tidak ada respon yang berarti dari Kalandra yang masih duduk menatap jauh ke luar jendela. "Tadi dia datang untuk mengajakku makan siang dan saat melihatku sedang bersamamu, dia terkejut." Kalandra menunduk, menatap sepatu hitamnya yang mulai terlihat usang. Lalu, mendongak, menatap wajah cantik sang dokter. "Jika, aku jadi wanita itu, aku juga akan lakukan hal yang sama untuk membela sahabatku. Jangan katakan apa pun lagi." Liena terdiam. Dia tidak tahu kenapa, pria ini selalu membuatnya berpikir dengan tingkah lakunya. "Apa kau tidak punya teman? Atau sahabat?" tanya Liena. Mulai memasuki tahap pengobatan kembali. Kalandra mendesah berat. "Tidak. Aku tidak perlu mereka dan aku tidak membutuhkannya." "Kenapa?" "Apa itu penting?" tanya Kalandra balik. Liena memutar matanya. Terlihat bosan. "Tentu saja. Kalau kau punya satu teman saja dan dia mengerti dirimu, kau tidak akan seperti ini. Dia akan membantumu kapan saja kau membutuhkannya. Saat kau jatuh, kau terluka, kau sendirian. Dia akan datang untuk menolongmu," jelas Liena yang diberi respon negatif dari Kalandra berupa dengusan. "Dan selama ini yang membantu menyembuhkan lukamu adalah wanita itu?" tanya Kalandra. Liena mengangguk. "Ya. Laura berperan besar dalam hidupku selama ini. Dia adalah teman terbaik yang kupunya selama hidupku." "Kau beruntung," Kalandra mendongak untuk menatap langit-langit ruangan. "Kau memiliki seseorang yang mengerti dirimu." "Jangan begitu," Liena bergerak mendekati jendela untuk bersandar. "Aku bisa menjadi temanmu kapan pun kau membutuhkannya." Dan Liena berani bertaruh, kalau dia berkata seperti itu tanpa pernah terlintas dipikirannya. Dia hanya mengeluarkan pendapatnya secara spontan. Menutupi rasa terkejutnya karena berkata demikian, Liena ikut memandang ke luar jendela bersamaan dengan Kalandra yang terdiam karena ucapannya. . . Hari ini hujan disertai angin kencang cukup membuat Arkana Liena terjebak dalam ruangannya. Dia seharusnya sudah bisa bersantai di rumah sejak satu jam yang lalu. Tapi, karena kondisi cuaca yang tidak memungkinkan, dan dia tidak mungkin mengemudi dalam keadaan seperti ini, dia memilih untuk tetap tinggal dan menunggu. Achazia Kalandra sudah kembali satu jam yang lalu. Tanpa pamit, tanpa mengucapkan satu kata pun padanya setelah satu hari penuh ini mereka bersama. Dan Liena masih harus mencari kesimpulan di balik semuanya. Pandangannya melirik pada sebuah pigura yang berdiri dengan memasang wajah dirinya dan sang kekasih yang saling tersenyum lebar. Liena memejamkan matanya, kembali mengingat kata-kata Achazia Kalandra yang berputar di dalam kepalanya. "Aku mencintai seseorang." "Kakak iparku." "Sebenarnya, apa yang terjadi?" gumam Liena. Iris hijaunya bergulir untuk menatap jendela yang basah karena air hujan yang masih mengguyur Tokyo pada malam hari. Kedua tangannya terkepal di atas meja. Mengingat kepingan demi kepingan memori yang tertinggal di dalam kepalanya. Membuatnya harus menunduk, menyembunyikan wajahnya di dalam lipatan tangannya dan menangis dalam diam di sana. . . Tubuhnya basah kuyup. Rasa dingin yang mulai terasa menusuk kulitnya seakan membayar segalanya. Achazia Kalandra berdiri dengan wajah datar yang pucat. Tanpa ekspresi seakan sudah tahu kalau semuanya akan terjadi suatu saat nanti. Dan saat itu telah tiba. Saat dimana orang tua yang ia cintai berubah menjadi malaikat kematian kapan pun yang mereka inginkan untuk membuatnya mati. Mati dalam arti segalanya. Saat ia membuka pagar rumahnya, ia menemukan satu mobil hitam mewah yang terparkir di depan rumahnya. Dua orang pria sedang menunggunya di teras sembari duduk memandangi hujan. Kalandra tidak tahu siapa dua pria itu. Ia tidak pernah mengenalnya. Sampai dimana salah satu dari mereka memperkenalkan diri untuk membeli rumahnya sebagai salah satu rumah kawasan huni mereka yang baru. Kalandra terkejut. Rumah itu satu-satunya yang orang tuanya tinggalkan untuknya, satu-satunya harta yang Kalandra punya. Satu-satunya tempat yang sekiranya bisa melindunginya dari hujan dan angin di luar sana. Mereka menjelaskan kalau rumah itu sudah dilelang dengan sertifikat tanah dan bangunan dengan harga tertinggi. Beserta beberapa mobil yang diparkir di dalam rumah sebagai bonus dari harga itu sendiri. Kalandra tidak bisa berpikir jernih. Yang bisa ia lakukan hanya diam dan pasrah ketika orang-orang itu secara paksa menariknya keluar rumah karena dianggap tidak lagi memiliki hak atas rumah ini. Setelah tabungannya yang diblokir oleh sang Ayah, kini rumah dan segala aset yang terlihat juga menjadi sasaran barunya. Kalandra tidak mengerti, sebegitu bencinya sang Ayah padanya. Dan Ibunya, yang selama ini selalu menjadi kebanggaannya, bertindak seolah tidak terjadi apa-apa. Dia tahu ini salahnya, tapi apakah mereka setega ini padanya? Kalandra memandang rumah besarnya dengan datar. Wajahnya yang pucat bertambah pucat seiring air hujan yang semakin deras membasahi tanah di bawahnya. Kedua tangannya terkepal di dalam saku celanannya. Tanpa mantel, tanpa jaket, Kalandra merasa tubuhnya akan mati rasa dalam beberapa jam kedepan. "Seharusnya, kalian juga membunuhku," lirih Kalandra.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN