Liena mengangkat kepalanya lebih tinggi agar jendela dapur yang terbuka bisa terlihat olehnya dan pemandangan rumah mungil yang ada di belakang rumah utama bisa terlihat jelas. Lampu masih menyala terang, penghuni yang ada di dalamnya masih tertidur pulas. Ia menebaknya. Setidaknya, Achazia Kalandra tidak banyak komentar tentang rumah yang lama kosong itu namun selalu bersih karena dirinya tidak bisa melihat ada setitik kotoran di dalam rumah itu.
Ini masih pukul enam pagi. Masih terlalu pagi untuknya berangkat kerja saat jam kerja dimulai pukul delapan nanti. Ia sudah membuat dua roti panggang dengan tiga macam selai beraneka rasa di atas meja dan dua gelas kopi panas.
Tidak mungkin kan dia membuat satu roti dan segelas kopi untuknya seorang? Sedangkan ada tamu lain yang menumpang untuk tidur di rumahnya? Liena tidak sejahat itu.
Menumpu dagunya di atas meja, ia menatap dalam-dalam roti panggang berselai kacang di atas piring miliknya. Memorinya terlempar beberapa jam yang lalu. Saat Achazia Kalandra membelikan sebotol obat flu dan pereda nyeri untuknya. Dan obat itu berhasil membuatnya tidur nyenyak tanpa harus merasakan rasa sakit lagi.
"Ini aneh," gumamnya. Liena mendorong rotinya menjauh. Ia bangkit dari kursinya dan mengambil mantel dari dalam lemari pakaiannya. Meraih kunci mobilnya yang ia letakkan di laci, ia segera pergi dari rumah.
.
.
Kalandra mengusap matanya yang masih terasa berat setelah seharian tertidur pulas. Dia harus membayar kebaikan wanita ini lain hari. Rumah yang menjadi tempat untuknya berteduh hari ini lumayan membuat pegal yang ada di tubuhnya perlahan menghilang.
Kalandra bangun dari ranjang yang hanya bisa ditempati satu orang itu dengan wajah lebih baik dari sebelumnya. Rasa pusing yang sempat dideritanya juga menghilang setelah ia mandi semalam. Sekarang ia merasa lebih baik.
Kakinya melangkah menuju pintu dapur yang masih tertutup rapat. Ini masih pukul tujuh. Kalandra berani bertaruh kalau wanita itu sudah pergi bekerja lebih awal dari jam seharusnya.
Tetapi saat ia membuka gagang pintu, ia menemukan Liena tengah duduk dengan roti panggang di atas meja dan segelas kopi yang masih panas.
"Oh, kau membuatku terkejut," Liena berdiri dari kursinya dan memandang Kalandra yang berdiri diam di tempatnya. "Duduklah. Kau harus makan sesuatu." Dan pergi menuju lantai atas.
Kalandra masih diam. Liena menyapanya pagi ini tanpa mimik wajah yang berarti. Menghela napas, Kalandra mengikuti perintah wanita itu untuk duduk. Memandang roti panggang yang tersisa satu dan segelas kopi yang masih panas di atas meja.
"Aku memanaskannya kembali," bunyi langkah kaki yang menggema di lantai kayu membuat Kalandra menoleh. Liena kembali dengan sekantung plastik hitam berukuran cukup besar dan tersenyum kecil ke arahnya. "Tidurmu semalam nyenyak? Aku berpikir kau biasa bangun pagi dan aku buatkan sarapan yang sama untukmu."
Kalandra diam.
Liena mengalihkan pandangannya setelah mendapat respon negatif dari pria yang ia ajak bicara. Tak lama kemudian ia berdeham, mengangkat kantung plastik itu ke atas meja.
"Maaf. Aku tidak tahu berapa ukuran pakaianmu, aku hanya menebak-nebak saja," kata Liena sembari mendorong kantung plastik hitam itu ke depan Kalandra.
Kalandra mengerutkan dahinya tak mengerti. Ia menatap Liena yang tersenyum miring padanya dan berkali-kali mengarahkan pandangannya pada kantung plastik yang kini ada di hadapannya. Mengerti maksud dari wanita itu, Kalandra mengambil kantung itu dan membukanya. Dua kemeja dan satu kaus santai, ada dua celana bahan panjang dan terakhir yang Kalandra lihat adalah sebuah sweater tebal berwarna biru tua.
"Kau kedinginan semalam. Aku hanya takut kau sakit," Liena menjelaskan maksud dia membeli pakaian itu untuk Kalandra setelah pria itu menatapnya bingung dan heran.
"Mengapa?"
Liena menaikkan satu alisnya. "Dari sekian banyak kalimat, kau hanya mengatakan 'mengapa'?"
Kalandra diam. Ia memandang kantung yang berisikan pakaian untuknya dalam-dalam.
"Kau hanya punya satu kemeja dan celana yang basah. Sedangkan aku tidak punya pakaian lain untuk pria seperti dirimu," Liena meraih gelas kopinya dan mulai meminumnya perlahan. "Anggap saja itu tanda terima kasih dariku karena semalam."
Kalandra mendengus. "Itu bukan apa-apa."
Liena memutar matanya. "Obat itu terbukti ampuh. Aku merasa lebih baik dari semalam."
Kalandra mengambil salah satu kemeja dari kantung itu dan celana bahan. Ia menatap Liena yang menunggunya penuh antisipasi.
"Aku akan membayarnya nanti."
Liena duduk di kursi makannya. Manik beningnya menatap Kalandra bosan dengan sebelah tangannya ia gunakan untuk menumpu dagunya. "Tidak perlu. Aku hanya ingin membantumu."
Kalandra mengangguk singkat. Ia pergi melalui pintu dapur dan kembali ke rumah belakang. Liena memperhatikan punggung rapuh itu sebelum benar-benar menghilang dari pandangannya.
Matanya kembali memburam. Ia merasa sangat jahat. Jahat sekali karena membiarkan pria itu bertarung dengan rasa dingin di tubuhnya semalaman suntuk hanya karena keegoisannya yang tidak ingin memberikan kemeja milik Aksa yang ia simpan.
Batinnya bertarung satu sama lain. Antara harus peduli atau memilih untuk mengabaikan. Tapi sumpahnya sebagai seorang dokter dan hati kecilnya yang kental akan rasa kepeduliaan membuatnya harus mendorong jauh-jauh rasa bencinya. Dan memilih untuk peduli dibanding ia harus merasa terbebani karena mengabaikannya.
Hanya membutuhkan waktu dua puluh menit, pintu dapurnya kembali terbuka dan Achazia Kalandra masuk dengan pakaian barunya. Liena tersenyum lebar, merasa puas karena dirinya memilih pakaian yang cocok untuk pria itu.
"Kau simpan saja ini untukmu. Kau juga membutuhkan pakaian ganti nanti," Liena mengulurkan kantung plastik berisi pakaian itu dan Kalandra menerimanya dengan tangan terbuka. Tanpa ada perdebatan lagi.
"Sebenarnya, apa yang terjadi? Apa kau melarikan diri dari rumah?" tanya Liena.
Kalandra menunduk sebentar. Menyembunyikan mimik wajahnya yang terluka setelah Liena menanyakan hal itu padanya. Tapi ia sadar, mau tak mau dia harus berlaku jujur untuk membalas kebaikan hati wanita itu.
"Orang tuaku melelang rumah yang aku tempati kemarin malam. Saat aku pulang, aku menemukan rumah itu sudah terjual dengan sertifikat yang sudah ada di tangan penghuni rumah yang baru," jawab Kalandra datar.
Mata Liena melebar seketika. Dia terkejut dengan apa yang orang tua pria itu lakukan. Bukankah itu tak adil?
"Mengapa?"
Kalandra menarik sudut bibirnya, tersenyum samar. "Mungkin misi hidup mereka hanya satu sekarang. Membuat putra bungsu mereka menderita selamanya."
Liena mengambil pisau dan garpu dari rak penyimpanan alat makan dan menaruhnya di atas meja. "Jangan konyol. Tidak ada orang tua yang berpikir sejauh itu untuk anak mereka."
Kalandra menatap Liena dengan pandangan bosan. "Lalu, kau sendiri?"
"Mengapa denganku?"
Kalandra mengambil pisau itu dan menggenggamnya. "Orang tuamu. Apa kalian punya hubungan yang baik?"
Liena terdiam. Pegangan tangannya pada garpu makan terjatuh dan menimbulkan bunyi nyaring antar garpu dengan lantai kayu dapurnya. Kalandra terdiam ketika wajah wanita itu pucat seketika dan pandangan matanya kosong saat manik hijau bening itu menatap matanya.
"Maaf."
Liena menggeleng sadar saat suara berat itu membuyarkan lamunannya. Ia mengambil garpunya yang terjatuh dan membersihkannya dengan tisu. "Itu bukan salahmu."
Suasana berubah canggung seketika. Kalandra mengutuk dirinya sendiri karena berani bertanya pada wanita itu yang bukan menjadi urusannya. Dan jelas sekali tergambar kalau Liena punya masalah yang sama dengan dirinya.
Orang tua.
Wanita itu tidak bisa membohonginya. Bahkan hanya dengan tatapan matanya. Saat pertanyaan tabu itu keluar bebas, sorot matanya yang kosong dan wajahnya yang berubah pucat seakan mengatakan segalanya.
Kalandra memilih untuk memakan sarapannya dalam diam. Begitu juga yang Liena lakukan. Mereka memilih untuk sarapan dalam diam tanpa ada yang membuka suara.