Kalandra menarik kursi untuk duduk tepat di hadapan Julian, masih pria yang sama ditemuinya kemarin. Kalandra mencetak dokumen dengan meminjam laptop milik Liena dan membawanya ke tukang cetak terdekat.
"Kenapa cepat sekali? Kupikir, kau akan berpikir selama satu atau dua minggu," Kalandra membuka suaranya.
Julian menggeleng dengan wajah serius. "Waktu kami tidak banyak. Kami harus segera mencari pengganti agar proses ini berjalan cepat. Pihak pembeli tidak ingin menunggu lama lagi."
Kalandra hanya diam. Ia memperhatikan Julian yang sibuk membaca dokumennya.
"Ada dua kandidat kuat yang melamar di kantor kami," Julian menutup mapnya dan menaruhnya di dalam laci. "Tapi kami sudah memilih yang terbaik di antara keduanya."
Kalandra memandang pria itu dengan tatapan antisipasi dan d**a yang berdebar.
.
.
Liena melirik jam digital di atas kulkas. Pukul tujuh malam. Ia mematikan perapian dan pergi untuk mengambil celemek. Ia akan memasak kari ayam untuk malam ini. Waktunya ia habiskan untuk pergi ke supermarket membeli bahan makanan yang habis di dalam kulkas.
Kalandra mengiriminya pesan singkat kalau dia akan sampai di rumah jam delapan malam. Liena tidak tahu apa yang Kalandra lakukan seharian ini, dia tidak bertanya dan dia memilih untuk memendamnya dalam hati.
Mengambil sayur dan ayam potong yang masih segar, Liena memotongnya satu per satu dengan pisau yang telah di asah. Memasukkannya ke dalam satu mangkuk besar dan mencampurkannya dengan bumbu dapur yang lain.
Suasana dapur tampak sibuk, Liena tidak sadar kalau ia menghabiskan waktu untuk memasak selama setengah jam. Jarum jam di angka enam. Menghapus sisa keringat di dahinya, Liena mencuci kedua tangannya di wastafel dan pergi ke kamar mandi untuk mandi.
Kalandra membuka pintu rumah, tidak menemukan Liena dimana pun. Melepas mantelnya, Kalandra menaruh kunci mobilnya di samping televisi layar plasma. Liena akan membutuhkannya besok untuk bekerja.
Melangkah ke dapur, tatapan Kalandra jatuh pada sebuah buku kecil berwarna biru di atas meja makan. Ia menoleh ke arah kamar mandi yang lampunya menyala. Terdengar suara nyanyian dari dalam sana. Liena ada di sana ternyata.
Kalandra mengambil buku kecil itu yang ternyata adalah buku tabungan. Ia membukanya, kedua matanya menatap terkejut dengan apa yang tertulis di sana.
"Dia menghabiskan uangnya hanya untuk keperluanku?" Kalandra menggeleng tak percaya saat melihat saldo yang ada di rekening wanita itu. Semula berkisar sepuluh juta dan hanya tersisa empat juta.
Dengan beberapa bukti tagihan kartu kredit dan keperluan memperbaiki mobil di setiap bulannya. Kalandra membacanya satu per satu dengan teliti. Ia berharap tidak melewatkan satu pun di sana.
Pintu kamar mandi terbuka. Kalandra menaruh buku itu dan melipatnya seperti semula di atas meja. Liena datang dengan wajah yang lebih segar sehabis mandi. Wanita itu tersenyum padanya, melangkah mendekatinya dan kini berdiri di depannya.
"Selamat datang! Bagaimana?"
Tatapan Kalandra jatuh pada buku tabungannya. Liena mengikuti arah pandangannya dan mengambil buku tabungannya. Menyembunyikannya di dalam saku belakang celana training usangnya. Ia masih mempertahankan senyumnya saat Kalandra menatapnya. Mengetahui apa yang dilakukannya.
Kalandra mendesah berat. Wajahnya menekuk dan terlihat ada kesedihan di sana. Liena terdiam, wajahnya ikut berubah lirih saat mereka bertemu pandang.
"Apa mereka menolakmu?"
Liena mengulurkan tangannya untuk menyentuh lengan pria itu. Kalandra menarik napas panjang kemudian bersuara hampir berbisik. "Mereka ... menerimaku."
Kedua mata Liena melebar terkejut. Pandangan matanya yang sedih berubah senang dan gembira saat ia menerjang Kalandra dengan pelukannya. Liena tidak bisa berkata apa-apa lagi selain memberikan Kalandra sebuah pelukan tanda selamat darinya.
"Ya, Tuhan. Terima kasih." Liena memeluknya. Melingkarkan kedua tangan kecilnya di lehernya dan Kalandra sempat terdiam sesaat sebelum ia juga melingkarkan kedua tangannya di pinggang kecil wanita itu.
"Ini juga karena bantuan darimu," lirih Kalandra di telinganya.
Liena menggeleng dengan wajah kesal. Ia melepas pelukannya dan menatap Kalandra dengan pandangan yang tak bisa dijelaskan. "Tidak. Ini usahamu sendiri. Kau mencoba menata hidupmu lagi dari awal. Aku hanya membantumu. Aku hanya berdiri di sampingmu untuk menyemangatimu. Kau yang melakukan ini semua. Kau menuliskan takdirmu sendiri."
Kalandra tersenyum. "Kau selalu ada di sisiku?"
Liena mengangguk. "Tentu saja. Aku akan selalu ada di sisimu, di setiap langkahmu. Jika kau terjatuh, aku yang akan membantumu bangun. Jika kau terluka ..."
Suara Liena tercekat saat ia mengucapkan kalimat terakhir yang menggantung di udara tanpa kelanjutan. Kalandra menatapnya, menunggu ucapannya dengan wajah ingin tahu.
"Jika kau terluka, aku akan ada di sini untuk mengobati lukamu."
Kalandra tersenyum. Begitu juga dengan Liena yang memberikannya sebuah senyum sembari sebelah tangannya meremas buku kecil yang terselip di sakunya dengan bergetar. Liena merasa kedua matanya mulai basah saat ia melihat oniks segelap malam itu berkilat penuh harapan besar di sana tentang janjinya untuk terus berada di sisinya. Seolah harapan yang pupus itu kembali bangun di dalam dirinya.
Suara ketukan pintu membuat Kalandra menoleh. Liena menarik kursi kayu itu untuk Kalandra duduk dan membiarkan dirinya membuka pintu. Kalandra berdiri bersandar pada meja makan dan melihat Liena yang berjalan untuk membuka pintu.
"Dimana Kalandra!?"
Belum sempat Liena membuka suaranya, wanita berambut merah terang mencolok itu dengan kacamatanya masuk menerobos ke dalam rumahnya. Menabrak tubuhnya yang hampir terjatuh ke belakang karena dorongan kuatnya. Liena menoleh, mendapati beberapa pria berbadan besar berjaga di sekitar pintu dan pagar rumahnya diikuti seorang pria paruh baya yang berdiri di depannya dengan pakaian formal dan senyum miring miliknya.
"Selamat malam. Maaf kalau kami mengganggumu. Kami hanya perlu berbicara dengan Achazia Kalandra."
Liena mengangguk setelah berkutat dengan pikirannya sendiri. Ia menutup pintu dan membiarkan pria itu masuk. Diikuti wanita berambut merah itu yang duduk di sofa dengan wajah marah.
Kalandra keluar dari dapur dengan wajah datar seolah tidak terkejut sama sekali dengan apa yang baru saja terjadi. Atau mungkin pria itu sudah tahu?
Liena menatapnya dengan pandangan khawatir dan Kalandra hanya meresponnya dengan usapan kecil di lengannya. Menyuruh Liena untuk tetap tenang. Kalandra mengambil tempat untuk duduk di hadapan pria itu dan Liena yang mengambil langkah mundur agar tidak mengganggu pembicaraan mereka.
"Kalau kau bertanya, bagaimana bisa aku menemukanmu di sini. Orangku bisa menjawabnya," jawab wanita itu sarkatis. Liena yang melihatnya hanya bisa terdiam. Wanita itu jelas sekali berkuasa. Terlihat dari cara berpakaiannya yang mewah dan berkelas.
Kalandra hanya diam tidak menanggapinya. Liena mendekat ke arah mereka dan memilih untuk berdiri bersandar di dekat perapian.
"Aku kemari karena utusan Achazia Matteo,"
Napas Liena tertahan. Ia memperhatikan wajah Kalandra dari samping. Pria itu tampak tenang. Emosinya masih terkendali.
"Mereka, termasuk Ibumu, Achazia Aluna menginginkan pernikahan antara kau dengan Beniqno Olin."
Kedua mata Liena melebar seketika. Pandangan matanya jatuh pada wanita berambut merah terang yang kini tersenyum menang saat pandangan Kalandra jatuh ke padanya.
"Aku tidak akan menerimanya," jawab Kalandra tegas.
"Kenapa tidak? Kau ini sudah jatuh miskin, Kalandra. Kau tidak punya apa-apa lagi. Jika kita menikah, kelasmu akan naik. Kau tidak akan hidup di rumah kecil seperti ini lagi." Wanita itu bersuara lantang seakan merasa tidak suka dengan jawaban yang Kalandra berikan.
Liena melipat tangannya di depan dadanya. Pandangan matanya jatuh pada ketiga sosok berbeda sifat itu di sana. Ia masih diam. Yang ia perlukan adalah tetap diam dan mendengarkan.
"Aku tidak membutuhkan itu. Lebih baik aku mati dibanding menikah denganmu."
Jawaban Kalandra membuat wanita itu marah. Napasnya terengah-engah karena menahan amarahnya.
Pria paruh baya itu membuka suaranya kembali. "Aku benar-benar tidak yakin dengan jawabanmu, Kalandra. Tapi percayalah, orang tuamu menginginkan ini yang terbaik untukmu. Seluruh pemberitaanmu di koran dan majalah akan mereka cabut dan menggantinya dengan berita besar ini. Mereka akan melupakan reputasimu dan mulai menerimamu lagi."
Kalandra tersenyum sinis. "Ini sama saja dengan menjualku. Mereka melakukan ini agar kekayaan mereka bertambah, bukan? Jangan membodohiku, Yamato. Aku tahu benar bagaimana posisi Olin di sini. Bagaimana kekuasaan Ayahnya di dalam perusahaan Achazia."
"Lebih tepatnya, menyelamatkanmu," koreksi Yamato.
Kalandra mendengus. "Jangan bercanda. Mereka terlambat untuk menyelamatkanku. Aku tidak membutuhkan omong kosong ini lagi. Aku tidak akan menikah dengan Olin. Aku akan menolaknya. Kau bisa bilang pada Tuan Matteo tentang keputusanku."
Olin menatap Kalandra dengan wajah marah. "Kau tahu, jawabanmu yang sok pintar itu membuatku terluka? Sudah berapa kali kau menolakku, Kalandra?"
Kalandra menoleh menatap Olin. Ia menyempatkan melirik Liena yang berdiri memandangi mereka dengan wajah sedihnya. "Tiga kali. Pertama, saat kita masih duduk di bangku kuliah. Kedua, saat aku mencintai Hana. Dan ketiga, hari ini."
Olin menatap Kalandra dengan pandangan marah dan kesal. Ia menoleh pada Liena yang berdiri diam di dekat perapian. Wajahnya terlihat sinis ketika mereka bertemu tatap.
Pria itu, Yamato. Kembali membuka suaranya. "Kumohon, pikirkan ini baik-baik. Mereka akan membuka pintu untukmu kembali jika kau menerima pernikahan ini. Untuk kebaikanmu. Untuk masa depanmu. Namamu akan kembali Berjaya. Keluargamu akan menerimamu lagi, Kalandra."
Kalandra menggeleng dengan tegas. Wajahnya yang keras seolah menjawab segalanya. "Aku tidak perlu melakukan ini untuk kesenangan mereka. Aku tidak akan menerimanya. Aku bukan barang yang diasuransikan siapa pun di sini," Kalandra berdiri dari sofa. Membuat perhatian Liena teralih kepadanya. "Kau tahu dimana pintu keluarnya, Yamato? Apa perlu aku mengantarmu?"
Yamato menggeleng dengan wajah frustrasi. Ia melangkah menjauhi ruang tengah dengan sedikit dipercepat. Diikuti suara pintu terbuka, Kalandra kembali menoleh pada Olin yang masih duduk di sofa. Memandangnya sinis.
"Kau pernah hampir membunuhku saat aku melukai Hana di depan matamu," Olin menoleh pada Liena yang menatapnya dengan ekspresi terkejut. "Apa kau juga akan membunuhku jika aku melakukan hal yang sama pada dirinya?"
Kalandra mengikuti arah pandang Olin yang mengarah pada Liena. Liena menegakkan tubuhnya, memandang kedua orang itu bergantian dengan tatapan bingung.
Hembusan napas Kalandra memberat. "Jangan sentuh dia," Olin menoleh pada Kalandra dengan senyum miring di wajahnya. "Atau kau akan merasakan hal yang lebih menyakitkan dari sebelumnya."
"Kau mengancamku, Kalandra?"
Kalandra menggeleng dengan wajah datar. "Tidak. Hanya memperingatkanmu saja untuk tidak mencampuri kehidupan orang lain dengan kekuasaanmu. Aku muak denganmu."
Wajah Olin memerah saat ia mendengar kalimat terakhir di setiap penekanannya terasa membelah dadanya. Liena yang memperhatikan mereka berdua hanya bisa diam. Berusaha mencerna apa yang baru saja terjadi.
Olin pergi setelahnya. Menutup pintu itu dengan keras dan terdengar seperti membantingnya. Liena terdiam di tempatnya. Ia menoleh pada Kalandra yang menunduk menyembunyikan wajahnya.
"Kalandra?" Liena mendekati pria itu. Berusaha menyentuh lengannya yang bergetar. Kalandra mendongak, mengusap wajah lelahnya. Liena sempat yakin Kalandra akan menangis, tapi dia salah. Pria itu tidak menangis. Wajahnya terlihat tenang.
"Jika mereka menyakitimu," suara Kalandra terdengar lirih. "Aku tidak akan memaafkan diriku sendiri karena ikut membawamu ke masalahku, Liena."
Liena hanya diam. Memandang jauh ke dalam oniks gelap itu. Menembus ke dalam kegelapan yang bergerumul menjadi satu mengelilinginya. Liena tidak tahu, mengapa kedua matanya terasa basah ketika melihat Kalandra berjalan mundur menjauhinya dan pergi meninggalkannya sendiri di ruangan senyap ini. Bersama dengan sebagian dirinya yang merasa kehilangan.