Liena duduk di tepi ranjangnya. Jauh menatap lurus ke arah bintang yang bersinar di malam hari. Cahaya bulan sabit yang meneranginya mampu membuat perasaannya sedikit membaik. Liena tidak tahu mengapa ia menangis saat Kalandra memutuskan untuk pergi ke luar rumah dan tidak kembali sampai detik ini.
Liena tidak pernah berpikir kalau pria itu akan menyakitinya. Kalandra takut akan dirinya sendiri. Takut jika keluarga atau wanita berambut merah itu akan menyentuhnya. Mereka tidak punya hak untuk menyentuhnya. Tidak sama sekali.
Melangkah turun dari kamar, Liena menemukan Kalandra duduk di depan perapian dengan mug kopi. Tatapannya kosong saat menatap api perapian yang berkobar membakar kayu. Liena menunduk, menyembunyikan wajahnya.
"Aku sudah mengunci pintunya."
Liena menghela napasnya. Melepaskan genggamannya pada kunci yang tergantung di pintu, ia melangkah pergi ke dapur untuk mengambil segelas air minum.
Kalandra masih duduk di sana. Dengan kedua kaki terlipat dan mantel yang menutupi tubuhnya. Liena melihat pria itu sedang berjuang melawan gejolak di dalam hatinya.
Liena melangkah mendekati perapian. Ikut duduk di samping pria itu dengan secangkir air putih di tangannya. Kalandra hanya meliriknya. Pria itu tidak berbicara apa pun padanya.
"Bagaimana dengan keluargamu? Kau sudah melihat keluargaku yang kacau," Kalandra menoleh dan mendapati wajah Liena seketika memerah dengan kedua matanya yang mulai basah. Kalandra menaruh mugnya di atas lantai kayu.
"Mereka membuangku," napas Liena memberat. Genggamannya pada gelas mengerat. "Usiaku delapan tahun saat aku melihat adikku tewas karena sebuah kecelakaan mobil. Buatku itu mimpi buruk. Masa kanak-kanakku tidak berakhir baik karena melihat kecelakaan itu dari dekat. Seakan aku ada di sana dan semua terjadi begitu saja. Aku tidak bisa lakukan apa pun saat itu."
Wajah Kalandra berubah seketika. Liena melihat pria itu berempati padanya. Liena memberikannya sebuah senyum untuk menenangkannya.
"Mereka berpikir aku yang membunuhnya. Aku yang merencanakannya. Padahal tidak. Aku tidak pernah berpikir sedikit pun untuk menyakiti adikku," Liena menoleh ke depan. Memandang lurus pada api yang membakar kayu di perapian. "Aku menyayangi Sara melebihi apa pun. Melebihi diriku sendiri. Dia adikku, adik perempuan. Tidak ada yang mau melihatku, atau pun bermain denganku. Satu-satunya hanya Sara, hanya dia. Tidak ada yang lain."
Mug yang berisikan separuh kopinya tidak lagi Kalandra pedulikan. Yang ia pedulikan adalah bagaimana Liena bisa berwajah setenang itu saat menceritakan kisah kelap hidupnya. Kalandra hampir yakin Liena akan menangis saat mendapati kedua matanya yang basah.
"Aku sedang bermain dengannya di suatu pagi. Ayah bekerja dan Ibu memutuskan untuk tetap tinggal karena ia akan membuat kue cokelat kesukaan kami," Liena menarik napas panjang. "Sara mengajakku bermain di taman dekat rumah kami."
"Berapa usianya?"
Liena menjawab tanpa menoleh. "Empat tahun. Usia kami hanya berbeda empat tahun."
Liena mengusap pipinya. Matanya jauh lurus ke depan. "Saat Sara berlari mengejar bola karet milik kami, ia tidak sadar kalau ia berlari sampai ke tengah jalan dan hari itu hari libur. Jalan sangat ramai. Ibu sudah memberitahuku untuk menjaga Sara. Untuk tidak membiarkan mataku lepas darinya. Sara masih anak-anak, dan mungkin ibu melupakanku yang juga seorang anak-anak saat itu."
Liena memainkan jemarinya di atas pangkuannya. "Aku berlari mengejar Sara yang berteriak senang karena bolanya sudah berhasil ditangkap. Aku tidak menyadari adanya mobil berkecepatan tinggi menabraknya. Pengemudi itu langsung melarikan diri setelah menabraknya hingga Sara terlempar jauh membentur tiang dan tewas di tempat. Aku melihat segalanya. Darah, rasa sakit, dan semuanya. Sara tidak lagi bernapas. Dia benar-benar pergi."
Kalandra terdiam. Sungguh, ia tidak bisa mengatakan apa pun untuk menghibur hati wanita itu.
"Aku melihatnya. Aku melihatnya tepat di depan mataku," wajah Liena menunduk. "Tidak ada yang membantu kami saat itu karena mereka sibuk dengan urusan masing-masing. Aku berteriak meminta tolong. Panik karena banyak darah yang keluar dari kepala kecilnya. Aku tidak tahu kalau Sara tewas saat itu juga. Aku tidak tahu," Liena menggeleng dengan terisak. Kalandra mengulurkan tangannya untuk mengusap bahunya dan respon yang Liena tunjukkan di luar dugaannya. Wanita itu memeluknya.
"Mereka membenciku. Mereka bilang aku dalang dibalik kematiannya. Sara lahir prematur itu. Ia memiliki jantung yang lemah dan orang tuaku memfokuskan perhatian mereka padanya. Mereka menganggap aku iri dengan adikku. Aku tidak pernah berpikir sejauh itu."
Liena memeluknya sangat erat. Kalandra hampir menahan napasnya saat tetesan demi tetesan air mata membasahi mantelnya.
"Mereka bilang aku sengaja mendorong Sara ke tengah jalan saat sedang ramai. Ayahku bilang padaku kalau aku sengaja melempar bola karet itu ke tengah jalan agar Sara mengejarnya," kepala Liena menggeleng putus asa. "Aku tidak pernah berpikir menyakiti siapapun. Aku masih kecil. Aku belum mengerti apa pun."
Liena menutup wajahnya dengan kedua matanya. Liena melepas pelukan mereka dan menangis memeluk dirinya sendiri. Kalandra yang melihatnya hanya bisa diam. Diam mendengarkan luka wanita itu.
"Semenjak saat itu, mereka berubah. Mereka sering berteriak padaku. Sering memarahiku hanya karena hal kecil. Sampai suatu hari Nenek pernah mendapatiku menangis dengan Ayah yang membawa sabuk pinggangnya untuk memukulku. Nenek marah, dia membawaku pergi ke rumahnya dan dia merawatku."
Liena menumpu dagunya dengan lutut yang terlipat. Kedua tangannya melingkar di sekitarnya. "Hubungan mereka renggang setelah itu. Nenek memilih untuk membeli rumah lamanya di sekitar rumah kami. Aku tinggal bersamanya sampai usiaku lima belas dan dia meninggal karena serangan jantung."
Liena menoleh. Ia tersenyum pada Kalandra yang menatapnya sedih. "Kau tahu selanjutnya? Aku pergi mencari orang tuaku. Menangis di depan mereka dan mereka mengabaikanku. Sampai akhirnya aku pergi ke sebuah panti dan mereka mau menerimaku di sana."
Liena mengusap wajahnya yang memerah. "Jangan menatapku seperti itu, Kalandra," dia tertawa kecil. "Aku tidak apa. Aku baik-baik saja. Kejadian itu sudah lama berlalu."
"Bagaimana kau bertemu dengan Aksa?" tanya Kalandra tiba-tiba.
Liena sempat terkejut dengan pertanyaan Kalandra yang spontan. Tapi wanita itu tersenyum dan membuka suaranya. "Kami bertemu di tempat yang sama. Aksa datang satu tahun setelahnya. Diantar oleh seorang asisten rumah tangga yang menemukannya. Dia sama sepertiku. Kami sama. Terbuang dan tersakiti."
Liena memainkan gelas minumnya. "Ayahnya seorang bandar n*****a. Ibunya tewas saat melahirkannya. Suatu malam saat dirinya berusia delapan tahun, Ayahnya tewas bunuh diri di dalam sel. Aksa sendirian semenjak saat itu."
Liena kembali mendongak. Menatap jauh ke dalam mata gelap itu. "Orang tuamu menginginkan kau kembali. Kenapa kau menolaknya?"
Kalandra mendengus keras. "Mereka menjualku. Aku pernah mengalaminya sebelumnya. Olin wanita yang licik. Aku tidak akan pernah mau bersamanya."
Liena terdiam sesaat. "Kau bisa memberikan mereka penawaran yang lain, bukan?"
Kalandra menggeleng dengan tatapan kosong.
Liena menyentuh punggung tangan itu dan mengusapnya dengan lembut. "Waktu akan merubah segalanya. Percayalah. Tuhan akan menggantikan yang lebih indah saat kau kehilangan sesuatu yang sangat berharga di dalam hidupmu."
Kalandra tersenyum tipis. Ia membuka tangannya dan mengusap lembut punggung tangan Liena. "Aku tahu itu."
Liena tersenyum beberapa saat. Ia melepas genggaman tangan mereka. Mengambil gelas dari lantai dan berjalan pergi ke dapur. Sebelum Liena sempat pergi ke kamar, ia menoleh. "Kau bisa memakai mobil besok. Aku akan naik bus."
Kalandra menoleh dengan gelengan kepala. Ia mengeluarkan beberapa lembar uang di dalam saku celananya dan mengangkatnya sejajar dengan wajahnya. "Tidak, Liena. Aku yang akan naik bus."
Liena mendesah. Matanya sempat terpejam memikirkan ide lain. "Lebih baik kau memakai mobil itu dan kau mengantarku ke rumah sakit. Bagaimana?"
Dahi Kalandra berkerut dan alisnya menyatu. Liena menunggu dengan waspada di dekat tangga kayu putar menuju kamarnya.
"Baiklah. Aku juga akan menjemputmu kalau begitu."
"Sepakat!" Liena mengangguk dengan senyum lebar dan pergi ke kamar setelah berteriak mengucapkan selamat malam.
Kalandra hanya tersenyum. Sampai sosok itu menghilang di balik tangga. Matanya kembali fokus menatap api perapian yang perlahan-lahan mengecil karena sisa kayu yang sedikit. Matanya jauh menatap ke api itu. Otaknya berpikir keras bagaimana caranya membayar kebaikan wanita itu dan melindunginya dari segala kemungkinan yang terjadi. Kalandra takut. Takut jika sesuatu melukainya. Liena tidak pantas mendapatkan luka lebih dari ini lagi.
.
.
"Kau ingin sarapan di luar?"
Liena menggantung tasnya di bahunya dan berjalan bersisian dengan Kalandra yang membawa kunci mobilnya. Kalandra mengangguk, membuka pintu mobil untuk Liena dan membiarkan wanita itu masuk lebih dulu. Berputar melewati bagian depan mobil, Kalandra membuka pintu kemudi untuknya sendiri.
"Aku punya beberapa daftar kedai roti terenak di sini," Liena fokus menatap layar ponselnya saat Kalandra tengah memutar kemudinya untuk keluar dari jalan kecil rumah Liena.
"Bagaimana?"
Kalandra memutar kemudinya ke arah kanan jalan. Melaju di jalanan bebas yang terlihat padat karena jam kerja akan dimulai satu jam lagi.
"Terserah padamu," jawab Kalandra singkat. Liena mengangguk setelah mendapat respon dari pria yang fokus mengemudi di sampingnya. Ia memilih sebuah kedai yang dekat dengan rumah sakit agar memotong perjalanan mereka dan memudahkan Kalandra untuk pergi bekerja di hari pertamanya.
Liena menyalakan musik di mobilnya. Memilih kaset terbaik yang ia punya. Meskipun ia yakin, genre musik kesukaannya dengan Kalandra berbeda jauh pastinya.
"Aku suka itu. Putarlah." Kalandra menekan tombol hitam besar yang berguna untuk memutar kaset dan kaset itu berputar. Memainkan musik lembut yang terdengar hingga seluruh sudut mobil. Liena memutar volume agar tidak terlalu kencang.
"Lewat sana, lalu belok kanan." Liena menunjuk simpangan yang terlihat padat dengan kendaraan pribadi roda dua maupun roda empat. Kalandra mengikuti arahannya dan berbelok ke kanan. Memacu mobilnya dengan kecepatan rendah, Liena menyuruh untuk berhenti dan mereka berhenti di depan restaurant kecil yang terlihat sepi.
"Percayalah, makanan di sini sangat enak," Liena membuka pintu mobilnya. Menutupnya agak keras diikuti dengan Kalandra yang berjalan di belakangnya. Bunyi lonceng restaurant memecahkan konsentrasi pelayan yang sedang menulis. Dengan segera, pelayan wanita itu mengantarkan Liena ke tempat duduk yang masih kosong dan mengambil memo kecil di saku dan memberikan buku menu untuk mereka berdua.
"Satu ramen spesial dengan ocha hangat." Liena menutup buku menunya dan memberikannya pada pelayan yang berdiri menunggunya. Kalandra terdiam sesaat membaca buku menu. Tidak lama, ia menutup bukunya dan mengatakan pesanan yang sama dengan Liena pada pelayan itu.
"Kau tidak ingin mencoba yang lain?"
Kalandra menggeleng dengan senyum samar. "Makanan yang kau pesan selalu enak. Aku percaya padamu soal yang satu ini."
Liena mengangguk dengan wajah geli. Hanya sekitar sepuluh menit menunggu, pesanan mereka sudah datang. Mungkin karena restaurant yang sepi, pelayanan di dapur jadi sangat cepat. Biasanya mereka bisa menyajikan menu masakan sekitar lima belas menit atau dua puluh menit.
"Bagaimana?" Liena bertanya antusias saat ia menyadari mangkuk ramennya tertinggal jauh dengan Kalandra yang tersisa sedikit.
Kalandra mengangguk. Tanpa menjawab ia memberikan satu jempolnya pada Liena dan wanita itu hanya tertawa geli.
Kalandra meminum ochanya dalam tegukan terakhir. Mengusap mulutnya dengan tisu yang ada, ia memperhatikan Liena yang tengah menyumpit ramennya dan memasukkannya ke dalam mulutnya. Lama terdiam sampai ia menyadari kalau Liena kini menatapnya bingung dengan wajah memerah.
"Jangan menatapku seperti itu. Aku punya kesulitan di sini," menunjuk ramen dengan sumpitnya. Kalandra hanya terkekeh.
"Ramen ini masih sangat panas dan kau mampu menghabiskannya hanya dalam hitungan menit," Liena menggelengkan kepalanya saat ia mengibaskan tangannya di depan mulutnya. Ramen terakhir sudah ia habiskan. Menaruh sumpitnya, tangannya bergerak mengambil gelas ocha. "Aku bisa mengajakmu lain kali kemari kalau kau mau."
Kalandra mengangguk cepat tanpa Liena duga sebelumnya. Kedua mata hijau itu melebar terkejut saat Kalandra tersenyum padanya.
"Tentu saja."
Liena menghabiskan ochanya dan bangun dari kursinya untuk pergi ke kasir. Baru saja ia maju satu langkah, Kalandra menahannya dengan memegang tangannya.
"Hm?" Alis Liena terangkat.
"Aku yang akan membayarnya, ingat?"
Liena menggeleng dengan senyum. Ia melepas tangan Kalandra dari tangannya dan pergi ke kasir. Kalandra bangun dari kursinya mengejar Liena yang lebih dulu mengeluarkan beberapa lembar uang dari dompet mungilnya dan membayar sarapan mereka.
Saat petugas kasir itu memberikan bil pada mereka, Kalandra bersandar di dekat pintu menunggu Liena yang santainya berjalan di depannya seolah menganggapnya tidak ada. Wanita itu tersenyum saat ia berjalan mendekati mobil diikuti Kalandra.
"Liena, kenapa kau yang membayarnya?"
Liena menoleh dengan senyum. Gerakan tangannya terhenti saat ia membuka pintu mobil. "Tidak apa, Kalandra. Aku yang akan membayarnya."
"Sudah berapa banyak kau menghabiskan uang tabunganmu untuk ini?"
Liena memandang Kalandra dengan pandangan terkejut dan kaget. Ia tidak tahu kalau ternyata pria itu mengetahui buku rekening yang ia taruh di atas meja makan beberapa hari yang lalu.
"Jangan khawatirkan tentang hal itu," Liena mengembalikan wajahnya. Menjadi lebih tenang. "Aku akan mendapatkannya kembali. Kau tidak perlu khawatir."
"Aku yang akan mengganti segalanya." Kalandra menjawab singkat. Membuka pintu mobil dan masuk ke dalam.
Liena mengikutinya. Kali ini lebih canggung dari sebelumnya. Liena tidak tahu harus berbuat apa dan Kalandra juga lakukan hal yang sama. Pria itu menjadi lebih pendiam.
Hanya sepuluh menit perjalanan, Liena sudah sampai di rumah sakit. Kalandra berhenti di depan gerbang. Menunggu Liena untuk turun.
"Terima kasih."
Kalandra menurunkan kaca mobil dengan tombol di kemudinya. "Aku akan menjemputmu nanti."
Liena tersenyum. "Jam delapan."
Kalandra mengangguk. Kaca buram mobil itu kembali naik ke atas. Liena masih berdiri di sisi mobil menunggu mobil hitam itu pergi.
Setelah Kalandra pergi, Liena masuk ke dalam. Hari pertamanya masuk bekerja di mulai.