Liena menyandarkan dahinya pada kaca bus yang membawanya pergi menuju rumahnya. Ia tidak seharusnya pergi ke luar seperti ini. Dan kenapa pula ia datang ke kantor itu jika membuat hatinya kembali sakit?
Suasana bus terlihat sepi. Hanya beberapa bangku yang terisi dan sisanya masih kosong. Biasanya bus rame saat sore hari, saat para pekerja sudah menyelesaikan tugasnya dan hendak kembali pulang.
Liena menatap jalan yang tampak senggang. Saat bus berhenti untuk lampu merah, kepalanya terangkat ketika ia melihat sedan hitam tengah berhenti di pinggir jalan. Kedua matanya menyipit saat ia memperhatikan plat nomor yang ada di belakang mobil itu. Ia terkejut, menemukan itu adalah mobilnya.
Liena berdiri dari kursinya dan mengeluarkan beberapa lembar uang dari saku celananya dan berlari keluar dari bus. Ia menemukan mobilnya terparkir di sana. Liena menghampiri mobilnya dan menemukannya dalam keadaan kosong.
"Dimana Kalandra?"
Ia melihat sekitarnya dan tidak menemukan pria itu dimana pun. Rasa khawatir menghampiri dirinya. Apakah pria itu baik-baik saja atau sesuatu telah terjadi padanya?
"Jangan berani lagi kemari!" Tegas seorang pria berbadan besar dengan kaus hitamnya tengah mendorong seorang pria keluar dari dalam gerbang.
Liena menoleh, ia menemukan Kalandra di sana tengah berdiri dikelilingi oleh beberapa pria besar dengan tato mengerikan di lengan mereka. Hanya beberapa yang bertato, sisanya memakai jaket dan jas.
Liena berlari menghampirinya. Ia nyaris teriak saat salah satu pria itu melayangkan tangannya ingin memukul Kalandra yang masih bersikeras masuk ke dalam gedung.
"Aku tidak ingin bersama Olin! Katakan itu pada atasan kalian!"
Kalandra berteriak. Teriakannya terdengar putus asa. Saat langkah Liena semakin mendekat, ia melihat salah satu pria dengan jas hitamnya melayangkan satu pukulan ke perutnya dan itu membuat Liena berlari lebih kencang untuk menghentikan aksi mereka.
"Hentikan!" Liena mendorong bahu Kalandra menjauh yang tak ayal membuat Kalandra terkejut saat mendapati Liena tengah berdiri di depannya. Wajahnya tampak marah dan terluka ... mengapa bisa Liena di sini?
"Liena?"
Liena diam tidak menanggapi kata-kata Kalandra. Ia memandang tajam pada beberapa pria yang kini mengelilinginya.
"Lucu sekali, kalian berani pada wanita sekarang?" Tatapannya marah. Dia menoleh pada gedung bertuliskan Achazia's Industries di sana. Pantas saja Kalandra kemari.
"Apa uang membutakan kalian semua? Kalian dibayar besar untuk memukul seorang pria? Konyol," Liena menunjuk Kalandra dengan telunjuknya. "Dia juga bos kalian! Dia putra kedua dari Achazia Matteo, dia juga atasan kalian dan kalian tidak berhak menyakitinya dengan cara kasar!"
Mereka semua terdiam. Napas Liena terengah-engah. Ia tidak biasanya meluapkan emosinya membabi buta seperti ini. Tapi hatinya berdenyut saat melihat Kalandra berusaha melawannya dan dia tidak berdaya.
"Katakan pada atasan kalian, kalau dia akan menyesal mencampakkan putranya sendiri dengan cara yang kekanakkan," Liena melirik Kalandra yang berdiri diam memandanginya. "Katakan saja kalau dia akan menyesal seumur hidup karena menyakitinya. Kalian boleh membawa namaku Arkana Liena. Katakan itu pada atasan kalian nanti."
Mereka semua terdiam. Salah satu dari pria itu bergerak untuk menyentuh Liena dan dia dengan cepat segera mundur dan menarik tangan Kalandra untuk pergi. Liena tidak tahu kalau cara yang digunakan Achazia Matteo benar-benar di luar logikanya. Lucu sekali, bukan? Orang tua macam apa yang menyuruh orang lain untuk menyakiti anaknya sendiri?
Kalandra masuk ke dalam mobil dengan diam. Liena mengambil alih kemudi saat ini. Dia duduk di kursi kemudi tanpa mengucapkan kata-kata lagi. Seolah bibirnya terkunci rapat semenjak kejadian tadi. Ia memutar kemudinya menjauh dari area gedung itu dan masuk ke dalam jalan besar.
.
.
Liena memutar tubuhnya saat mereka berdiri di depan pintu kayu rumahnya. Ia melihat Kalandra masih setia memegang perut bagian kanannya akibat pukulan tadi.
"Apa kau terluka?"
Kalandra menggeleng. Ia menurunkan salah satu tangannya dari perutnya.
Liena menghela napasnya, ia memutar kunci pada pintunya dan membukanya setelah. Ia masuk lebih dulu, melepas sepatunya dan menaruhnya di atas rak yang sudah tersusun di samping pintu.
Kalandra mengikutinya dalam diam. Rasa nyeri di perutnya masih terasa tapi itu tidak terlalu parah dengan apa yang ia rasakan di dalam hatinya.
"Aku akan membuat teh untuk kita berdua," Liena pergi ke kamarnya dan mengganti bajunya. Kalandra melepas mantelnya dan menaruh bungkus ramen di atas meja makan. Ia pergi ke kamar mandi untuk mengusap wajahnya yang lelah.
Tidak lama setelah itu, Liena turun dan berganti dengan pakaian rumah. Ia mengambil bungkus plastik itu dan menuangkan ramen ke dalam mangkuk untuk mereka berdua. Kalandra keluar kamar mandi dengan wajahnya yang masih basah. Ia mengambil handuk dan mengusapnya lembut di wajahnya.
Ia menarik kursi untuk duduk. Ia memperhatikan Liena yang sibuk dengan ramen yang dibelinya. Menaruh teko di atas meja, Liena menyiapkan dua mug kosong untuk mereka.
"Jadi, bagaimana dengan wawancaranya?"
Liena menarik kursinya untuk duduk. Ia menatap ingin tahu Kalandra yang sedang memakan ramennya. "Berjalan baik, kuharap."
Liena memasang senyumnya. "Suaramu terdengar putus asa," ia mulai menyumpit ramennya. "Tetaplah semangat. Biarkan harapan itu berkobar dalam dirimu."
Kalandra memperhatikan senyumnya. Kepalanya mengangguk dan beban yang sempat mengganggu dirinya perlahan-lahan lenyap.
"Uhm," Liena mengambil ponselnya dari saku celana santainya. Dahinya berkerut saat nomor yang tak dikenal masuk ke ponselnya. Ia melirik Kalandra yang sibuk dengan ramennya dan terlihat menikmatinya. Tetapi kemudian dia memberanikan diri untuk bertanya pada pria itu. "Kalandra, apa panggilan ini untukmu?"
Alis Kalandra menyatu, tetapi kemudian dia teringat sesuatu. Ia mengulurkan tangannya pada Liena dan Liena segera memberikan ponselnya pada Kalandra.
"Selamat siang, dengan saudara Achazia Kalandra di sana?"
Napas Kalandra terasa berat. "Ya."
"Kami ingin memberitahukan tentang wawancara yang Anda lakukan pagi tadi dengan pihak personalia. Bisakah Anda datang lagi besok pukul delapan? Ada beberapa dokumen yang harus dilengkapi dan ditandatangani."
Kedua mata Kalandra terkunci pada Liena yang menatapnya ingin tahu.
"Tentu saja. Aku akan datang ke sana."
"Di tunggu kehadirannya. Terima kasih dan selamat siang."
Sambungan telepon terputus. Kalandra menaruh ponsel Liena di atas meja dan sebuah senyum tiba-tiba timbul di wajahnya.
"Apa yang terjadi?" tanya Liena penasaran.
Senyum Kalandra melebar. "Entahlah, mereka menginginkanku datang ke kantor percetakan itu besok pagi untuk kelengkapan berkas dan tandatangan."
"Benarkah?"
Kalandra mengangguk. Dan kedua mata Liena berbinar ketika mendengar keseluruhan ceritanya.
"Kita akan membeli pakaian untukmu!" Liena menghabiskan sisa ramennya dan membawa piring bekas makannya ke pencuci piring. Kalandra mengikutinya, ia mencucinya bersama Liena meskipun wanita itu bersikeras untuk mencucikan piring bekas makannya.
Liena membasuh kedua tangannya dan mengeringkannya dengan lap kering yang tergantung di bawah laci. Liena memutar tubuhnya, tersenyum lebar pada Kalandra yang sedang duduk meminum tehnya.
"Ayo, kita harus pergi untuk membeli pakaian untukmu."
Kalandra mengangkat alisnya. "Aku sudah punya pakaian yang pantas untuk besok."
Liena menggeleng tegas. "Tidak, tidak. Itu masih kurang," Liena menyentuh bibirnya dengan telunjuk tangannya ketika Kalandra membuka mulutnya untuk menyela ucapannya. "Jangan khawatirkan tentang uangnya, aku yang akan membelikannya."
Memikirkan agar Kalandra mau menerima ajakannya, Liena kembali melanjutkan. "Kau bisa menggantinya nanti setelah kau mendapatkan pekerjaan ini."
Liena pergi ke kamarnya untuk mengganti pakaian dan Kalandra pergi ke kamar belakang juga melakukan hal yang sama.
.
.
Kalandra menepikan mobilnya ke parkir sebuah pusat perbelanjaan. Dia sengaja mengambil alih kemudi saat ini karena dia bersikeras untuk menyetir dan membiarkan Liena menjadi penumpangnya.
Liena mengajaknya untuk membeli pakaian baru dan juga beberapa setelan untuk keperluan kerjanya. Kalandra belum merasa yakin seratus persen kalau dia akan diterima bekerja besok, tapi Liena tidak berpikir yang sama. Wanita itu terlalu bersemangat seolah-olah Kalandra akan bekerja di sana.
Mereka masuk ke dalam mal yang cukup ramai dengan pengunjung yang ingin menghabiskan waktunya untuk berbelanja atau sekedar melihat-lihat saja. Liena menarik tangan Kalandra untuk naik eskalator dan pergi ke lantai dua dimana pusat segala baju ada di sana. Mereka menjual seluruh model baju dengan merek terbaik.
"Untuk pekerja kantoran, biasanya mereka membutuhkan pakaian seperti apa?" tanya Liena saat mereka berdiri di atas tangga eskalator yang membawa mereka ke lantai dua.
"Kemeja, jas, dasi, celana bahan," jawab Kalandra. Liena mengangguk. Ia melompat ketika tangga eskalator sudah membawanya sampai ke lantai kedua. Kalandra mengikutinya dari belakang, menjaga Liena agar tetap aman dari sana.
"Baiklah, pertama-tama kita harus membelikanmu kemeja," Liena masuk ke sebuah toko yang menjual macam-macam kemeja dengan warna variasi dan model yang berbeda. Kalandra mengikutinya. Kedua matanya jatuh pada sebuah kemeja yang tergantung di dinding toko berlapiskan kaca transparan yang memikat hatinya. Liena menghentikan langkahnya saat ia menoleh ke belakang dan mendapati Kalandra tidak berada di sana.
Liena meminta pegawai toko untuk membawakan kantung untuk mereka menaruh pakaian yang akan dibeli dan pegawai itu memberikannya. Liena menghampiri Kalandra yang sibuk memandangi kemeja itu.
"Tidak apa. Kalau kau suka ambillah."
Kalandra menggeleng dengan senyum samar. "Harganya terlalu mahal."
Liena melambaikan tangannya pada pegawai toko yang berjaga di dekat sana. Memintanya untuk membuka pembatas kaca itu dan mengambil kemeja itu untuk dirinya.
"Terima kasih." Liena menerima kemeja itu dan melipatnya. Memasukkannya ke dalam kantung plastik dan membiarkan Kalandra terdiam melihatnya. Liena kembali sibuk dengan pilihan kemeja berwarna netral yang membuatnya gelap mata. Semuanya terasa cocok jika Kalandra yang memakainya. Ia mengambil beberapa potong kemeja dan memasukkanya ke dalam kantungnya.
"Kau tidak memilih mana yang kau suka?" tanya Liena saat dirinya bergabung bersama Kalandra di rak kemeja yang lain. Kalandra menggeleng, ia melirik kantung yang Liena bawa dengan tangannya.
"Kau sudah membeli banyak. Itu sudah cukup."
Liena mengangkat kantung plastiknya. Ia tersenyum lebar dan segera pergi menuju kasir untuk membayar. Kalandra mengikutinya, ia merogoh saku celananya dan mendapatkan hanya beberapa lembar uang kecil di sana. Membeli satu kemeja saja dia tidak mampu.
Liena mengeluarkan kartu kredit dari dompet mungilnya, memberikan kartu itu pada pegawai kasir dan membawa kemeja yang dibelinya ke luar toko.
"Berapa totalnya?" tanya Kalandra saat mereka berjalan menjauhi toko kemeja dan akan berbelok ke toko penjual berbagai macam jas kantor.
Liena menoleh dengan senyum. "Harganya sangat terjangkau. Kau tenang saja."
Kalandra memutar matanya. "Jangan bohong padaku, Liena. Aku tahu harga kemeja itu sendiri."
"Benarkah?" Liena menghentikan langkahnya. Menatap Kalandra terkejut. "Bagaimana bisa?"
"Aku sering membelinya saat masih bekerja dulu."
Liena terdiam sesaat. Ia berdeham untuk menutupi rasa menyesalnya bertanya pada Kalandra. "Ah, maaf. Tapi percayalah, aku mendapat potongan harga untuk ini."
Kalandra hanya mendesah. Ia kembali berjalan mengikuti Liena yang melangkah di depannya dan berbelok ke toko penjual jas kantor. Mereka memasuki toko bersama, disambut hangat oleh pegawai yang berjaga dan berpencar mencari jas yang cocok untuk Kalandra.
"Kita hanya membeli dua saja," Kalandra mendekati Liena yang sibuk memilih jas berwarna abu-abu tua dengan hitam gelap. Liena hanya mengangguk dan memberikan kedua jas itu pada pegawai toko. "Aku ambil dua ini."
Pegawai itu mengangguk dan bergegas pergi untuk membungkus jas itu. Kalandra hanya bisa mendesah berat menyadari kelakuan Liena yang keras kepala dan tidak mau mendengarkan kata-katanya. Mungkin dia mudah mengatakan kalau dirinya bisa mengganti uangnya lain hari, tapi Kalandra tahu benar kalau Liena akan menolak uang yang ia berikan nanti.
"Aku juga ambil yang ini," Liena memberikan pegawai itu sebuah jas berwarna biru tua dan memintanya untuk membungkusnya bersama jas yang lain. Kalandra memegang lengannya saat Liena hendak memberikan jas lain pada pegawai itu dan berbisik di telinganya. "Cukup tiga saja, Liena. Aku tidak akan menerima itu jika kau bersikeras membelikannya."
Liena menghela napasnya, ia kembali menaruh jas itu ke dalam lemari kecil dan pergi ke kasir untuk membayar totalnya.
Kalandra menunggunya di pintu keluar toko. Liena keluar dengan tas belanjaan yang besar dan Kalandra mengambilnya, ia membawa kedua tas itu di tangannya yang lain.
Liena hanya tersenyum, ia menarik tangan Kalandra masuk ke dalam toko penjual dasi dan hanya memakan waktu sepuluh menit, mereka telah membeli beberapa buah dasi yang cocok untuk Kalandra pakai nanti.
"Hanya celana yang kurang," Liena melirik tas belanjaan yang Kalandra bawa. "Kau bebas memilihnya untuk yang satu itu."
Kalandra menarik tangan Liena untuk masuk ke toko penjual celana bahan dan kain terlengkap di pusat perbelanjaan ini. Liena mengikutinya dalam diam, ia membantu Kalandra memilihkan celana terbaik yang dirasa cocok untuk Kalandra nanti.
Lima belas menit berlalu, Liena keluar dari toko penjual celana dan berhenti di depan toko penjual ponsel baru keluaran pabrik yang masih berkualitas dan bagus. Kalandra menahan tangan Liena agar wanita itu tidak masuk ke dalam. Memberikannya tatapan keras melalui matanya dan Liena hanya tersenyum.
"Aku harus membelikanmu yang satu ini. Kau membutuhkannya," Liena masuk ke dalam toko dan tenggelam dalam puluhan model ponsel terbaru yang dijajakan. Kalandra hanya menunggu di luar toko, ia tidak akan masuk ke dalam.
Sepuluh menit lebih dua puluh detik Liena ada di dalam toko itu. Ia keluar dengan membawakan bungkus ponsel itu. Liena tersenyum ketika menghampirinya. Ia memberikan ponsel itu pada Kalandra.
"Aku akan marah padamu jika kau menolaknya," Liena membuka suaranya lebih dulu saat Kalandra membuka bibirnya untuk berbicara padanya. "Terimalah. Ini sangat penting untukku tetap memastikanmu baik-baik saja."
Kalandra menghela napas panjang. Ia mengambil ponselnya dari Liena dan tersenyum pada wanita itu. "Terima kasih banyak."
"Sama-sama."
Mereka kemudian turun dari lantai dua melalui eskalator dan memutuskan untuk pergi makan malam di sebuah restaurant tidak jauh dari rumahnya. Kalandra masuk ke dalam pintu kaca restaurant setelah Liena masuk lebih dulu untuk memesan meja.
Liena melambaikan tangannya dan Kalandra mendekat. Duduk di seberangnya, Liena mendorong buku menu pada Kalandra dan membiarkan pria itu memesan.
"Aku ingin macaroni panggang dengan saus keju," Liena tampak berpikir. "Lemon dingin saja untuk minumannya."
Pelayan itu mencatat pesanan Liena dan mengambil buku menu itu darinya. Kalandra sedang membaca buku menu dan memesan makanan yang sama dengan Liena. Hanya saja ia memilih kopi sebagai minumannya.
Mereka larut dalam keheningan. Liena menatap tas belanjaan yang ia beli dari pusat perbelanjaan. Mereka pergi sore hari, saat keluar gedung, hari sudah berganti gelap.
"Ayo, nyalakan ponsel barumu. Aku juga membelikan kartu providernya untukmu. Mereka memberikan potongan harga untuk itu," kata Liena berseri-seri. Kalandra membukanya, ia memasukkan kartu itu ke dalam ponselnya dan ponsel itu menyala.
"Tersisa dua puluh persen lagi," ucap Kalandra menunjukkan layar ponsel barunya pada Liena. Liena tersenyum samar. "Kau bisa mengisi baterainya setelah sampai nanti."
Kalandra terlihat menekan tombol di layar sentuh ponselnya. Liena mengamati dengan rasa penasaran apa yang Kalandra lakukan dengan ponsel barunya. Tidak lama, Kalandra membalik ponsel berwarna hitam gelap itu dan kedua mata Liena membulat saat melihatnya.
"Kau menghapal nomorku?" tanyanya tak percaya.
Kalandra hanya tersenyum. Ia mengangkat bahunya membalas pertanyaan Liena.
"Ah, pantas saja pihak percetakan itu menghubungiku," Liena menepuk dahinya mengingat sesuatu tentang nomor yang tak dikenal itu. Tetapi kemudian dia tertawa lembut. "Itu bagus. Kau bisa menghubungiku jika kau membutuhkanku."
Liena mengeluarkan ponselnya dan memberikannya pada Kalandra. Kalandra mengambilnya, mengerti maksud Liena, ia mengetikkan nomor di kontaknya dan mengembalikannya pada Liena.
"Terima kasih ... untuk segalanya," suara Kalandra tercekat di ujung tenggorokannya. Ia tidak yakin Liena bisa mendengarnya. Tetapi reaksi yang Liena berikan hanyalah senyum. Wanita itu mendengarnya.
Pesanan mereka datang. Pelayan itu segera pergi setelah nampan yang ia bawa telah kosong dan kembali ke belakang. Liena mengunyah makanan favoritnya dan menatap Kalandra yang juga menikmati makan malamnya.
Mereka sampai dirumah pukul sembilan malam. Liena mengunci pintu setelah Kalandra masuk ke dalam. Kalandra membawakan tas belanjaannya dan menaruhnya di atas sofa. Liena melepas jaketnya, menggantungnya di belakang pintu dan pergi ke kamarnya.
Kalandra menatap kepergian Liena dalam diam. Ia ingin mengucapkan terima kasih tak kenal lelah untuk wanita itu. Tapi lidahnya terasa kelu untuk sekedar memberikannya ucapan selamat malam padanya.
Memutuskan untuk pergi, Kalandra menuju ke rumah belakang dan menutup pintunya. Ia butuh istirahat untuk melanjutkan harinya besok.
.
.
Saat Liena bangun, ia tidak menemukan Kalandra dimana pun. Hanya tersisa satu gelas kopi yang sudah dingin dan dua roti isi bungkus yang Liena yakin, Kalandra membelinya di tukang roti keliling setiap pagi.
Liena bangun kesiangan. Ini hari terakhirnya untuk menikmati liburnya sebelum dia akan kembali bekerja. Liena melirik jam dindingnya, pukul delapan. Kalandra punya janji jam delapan dengan pihak percetakan. Liena memejamkan matanya, berdoa dalam hati untuk pria itu.