"Kau bisa turunkan aku di halte bis itu," Kalandra menunjuk halte yang terlihat tidak jauh dari mobil yang melaju dengan kecepatan sedang ini. Liena mengikuti arah telunjuk pria itu dan mendengus keras. Membuat Kalandra yang duduk di kursi penumpang menoleh ke arahnya.
"Kau akan tidur di halte itu untuk malam ini?"
Kalandra mengangkat bahunya. "Mungkin saja."
"Beritamu akan masuk koran keesokan paginya karena mayatmu yang membeku," sindir Liena yang membuat Kalandra harus mengangkat alisnya. Bingung.
"Aku tidak mungkin tidur di tempatmu lagi," jawabnya datar.
Liena menoleh dengan pandangan tak terbaca. Kemudian ia menepikan mobilnya pada sisi halte dan berhenti.
"Kabari aku sesuatu nanti agar aku bisa tenang," pegangan Kalandra pada gagang pintu mobil terhenti saat suara Liena yang rendah hampir terdengar seperti berbisik masuk ke dalam telinganya. Ia menolehkan kepalanya, mendapati Liena tengah memandang bangku halte yang sepi.
Liena menoleh. Mengeluarkan ponsel miliknya dari dalam mantel cokelatnya. "Beri aku nomor ponselmu. Aku bisa menghubungimu kapan pun."
Kalandra terdiam. Ia memandang bergantian antara ponsel hitam itu dengan wajah Liena yang terlihat sedikit khawatir?
Tanpa berpikir panjang, Kalandra mengambil ponsel itu dan mengetikkan sebuah nomor di atas kaca layar sentuh itu lalu memberikannya pada Liena yang menunggunya.
"Terima kasih."
Liena hanya diam. Bahkan ketika Kalandra menutup pintu mobilnya, wanita itu tetap tidak bereaksi apa pun. Hanya klakson mobil yang berbunyi sekali dan pergi begitu saja.
Kalandra memandangi kantung plastik yang dibawanya. Sebuah senyum samar tercipta di wajah dinginnya. Dia tahu, dibalik wajah tegas itu tersimpan jutaan mimik wajah yang menggambarkan perasaannya. Tidak sekali dua kali, Kalandra sering kali menangkap bagaimana mata cerah itu menatapnya terluka.
Sama seperti dirinya. Ketika matanya menatap mata wanita itu, tidak ada yang bisa ia tunjukkan selain rasa sakit dan luka yang dipendamnya. Berharap Liena mengerti akan kondisinya.
Kalandra pergi ke halte. Duduk di sana dalam diam dan memikirkan jalan keluar dari masalahnya sendiri.
.
.
"Aku menghubungimu sejak tadi! Astaga, kupikir kau masih terjebak dalam mimpimu," gerutu Laura saat Liena hendak membuka pintu ruangannya dan mendapati Laura mengejutkannya dari belakang. Wanita itu sudah ada sejak tadi di sana, dan Liena tidak melihatnya.
Liena hanya tersenyum. Ia menepuk pipi kemerahan Laura gemas. "Aku punya hari yang buruk kemarin. Flu ini benar-benar membunuhku," jawabnya.
Laura melebarkan matanya. Sebelah tangannya terulur untuk memegang dahi Liena yang pucat. "Sepertinya kau demam. Suhu tubuhmu hangat."
Liena mengendikkan bahunya. "Aku sudah meminum obat pereda flu. Nanti akan lebih baik."
Laura mengangguk. Ia mengikuti Liena masuk ke dalam ruangan dan melemparkan punggungnya pada sofa nyaman yang ada di dalam ruangan.
"Aku ingin ada di sini sampai siang nanti. Aku bosan sekali, Liena. Tidak ada hiburan yang menarik di luar sana," kata Laura setelah membuka tasnya dan mengeluarkan majalah yang baru saja ia beli. "Apa kau sudah sarapan?"
Liena mengangguk. Ia menaruh tasnya dan mantel cokelatnya di tempat biasa. "Kau belum sarapan?"
Laura mengangguk. Tetapi kemudian bunyi plastik dari dalam tas membuat Liena menoleh dengan alis terangkat. Laura mengeluarkan sebungkus roti isi keju dari dalam tasnya dan tersenyum lebar padanya. "Hanya jaga-jaga saja," kekehnya.
Liena tersenyum. Ia membiarkan Laura memakan rotinya dan mulai melanjutkan pekerjaannya.
"Dimana Achazia itu? Bukankah dia pasienmu?"
Liena menghentikan gerakan tangannya. Ia melirik Laura yang tampak sibuk dengan majalah di tangannya.
"Aku tak tahu," dusta Liena yang membuat kepala pirang Savari Laura mendongak. "Jangan bercanda. Dia pasienmu. Kau akan merasa lebih buruk lagi jika menemukan dirinya hanyut terbawa arus sungai dan sudah berubah menjadi mayat."
Liena mendengus. Ia bangkit dari kursi kebesarannya dan duduk bersebelahan dengan sahabatnya. "Itu tidak mungkin."
Laura mendengus lebih keras. "Seyakin itu? Kita tidak tahu apa yang dilakukan anak orang kaya itu, bukan?"
"Jangan berpikir seperti itu. Aku sudah mendapatkan nomor teleponnya. Aku akan menghubunginya nanti," jelas Liena yang diberi anggukan kepala enggan Laura.
Liena kembali melangkah menuju kursi kerjanya. Sebelum tangannya menyentuh sandaran kursi, ia mendengar suara lirih Laura dari belakang punggungnya. Tampak mengenai hatinya.
"Tapi Liena, mengapa kau tidak lagi bermain dengan piano lamamu?"
Liena menoleh. Dia tersenyum lirih pada Laura yang memandangnya sendu.
"Banyak alasan yang membuatku harus melupakan piano itu, Laura."
.
.
Pemakaman hari ini tampak sepi. Rontoknya daun-daun kering dari pohon besar yang sudah berumur ratusan tahun itu membuat gundukan tanah di bawahnya tertutupi dedaunan yang lebat.
Kalandra masuk dengan membawa seikat bunga yang masih bisa ia beli di penjual yang ada di sekitar pemakaman. Ia memilah separuhnya. Separuh untuk Hana dan separuh lagi untuk sang kakak.
Kalandra tidak menghitung hari semenjak kepergian mereka. Karena menurutnya, jam berjalan bagai neraka yang mencambuk tubuhnya. Dia tidak tahu kapan siksaan dunia ini berakhir menyakitinya. Dia juga tidak ingin meminta agar siksaan itu segera dicabut dari dirinya. Dia tahu diri.
Kakinya yang berselimut sepatu setengah kering melangkah menuju gundukan tanah dengan nisan yang bertuliskan Achazia Mirza. Nama itu yang pertama kali dikunjunginya. Sosoknya mungkin sudah tidak ada lagi di dunia ini. Raganya mungkin sudah pergi untuk selamanya. Namun bayang-bayangnya tidak akan pernah lepas darinya selamanya.
"Maaf. Aku baru bisa mengunjungimu hari ini," Kalandra mengarahkan kedua tangannya untuk mencabuti rumput liar yang tumbuh di atas makam sang kakak. "Kau tahu, Mirza. Aku sedang sakit. Biasanya ketika aku sakit, kau yang paling peduli dibanding Ayah dan Ibu."
Dia berusaha untuk tidak menangis. Lagi.
"Kau yang berusaha membawaku ke rumah sakit, memanggil dokter keluarga ke rumah, membelikanku bubur. Hanya kau. Di saat orang lain pergi, hanya ada kau yang datang dan mau peduli padaku."
Matanya mulai memburam. Tapi dia masih belum menangis.
"Dan aku yang menjadi alasan kematianmu. Kau pasti mengutuk diriku di sana dan menyumpah agar aku selamanya merasa terbakar di sini," Kalandra mengusap nisan itu dengan tangan bergetar. "Dan doamu terkabul. Aku pantas menerimanya."
Iris gelapnya memandang nisan yang bertuliskan Achazia Hana tepat di sebelah makam sang kakak. Rumput liar yang sama tampak memenuhi gundukan tanah itu.
"Jangan salahkan Hana atas kesalahanku. Dia tidak bersalah, Mirza. Aku yang bersalah," Kalandra meremas bunga yang ia bawa hingga batang yang tajam itu mengenai tangannya dan berdarah. Tapi ia tidak peduli. Rasa sakit duri itu belum bisa menyakitinya. "Aku yang mencintainya dan dia tetap mencintaimu. Dia bahkan rela pergi untuk menyusulmu dan meninggalkanku," Kalandra tertawa getir. "Bukankah itu yang dinamakan cinta?"
Hening. Hanya angin berhembus yang menerpa wajah pucatnya.
.
.
Liena mengetukkan pulpen miliknya di atas meja. Jam makan siang sudah berakhir satu jam yang lalu dan Achazia Kalandra belum juga menampakkan dirinya di sini. Sebagai seorang dokter, panggilan nuraninya tergugah. Ia takut. Takut jika yang dikatakan Laura benar. Pria itu memilih untuk mengakhiri dirinya sendiri dibanding merasakan rasa sakit yang lebih lama lagi.
Tetapi dia tidak mau mempercayainya. Baginya, ia percaya kalau pria itu masih memiliki keinginan untuk hidup lebih lama lagi.
Mengeluarkan ponselnya, Liena mengetikkan jemarinya di atas layar dan mengirimnya ke suatu nomor yang sudah tercantum di dalam kontak ponselnya. Berharap ia tahu bagaimana kabar pria itu dan memastikan kalau ia baik-baik saja.
"Permisi, dokter. Ini data pasien yang kaubutuhkan. Secara lengkap tertulis di sini." Perawat berambut emas itu datang dengan membawa sebuah map merah yang di dalamnya berisikan data lengkap seorang Achazia Kalandra yang selama ini belum ia teliti lebih jauh lagi.
"Terima kasih, Hanami."
Perawat itu mengangguk dengan senyum lalu bergegas untuk pergi keluar. Liena mengambil map itu dan membukanya. Membacanya kata demi kata agar ia tahu siapa Achazia Kalandra sebenarnya.