"Kau terlambat satu jam. Cepatlah datang."
Kalandra membaca pesan singkat yang masuk ke ponselnya. Ia memilih untuk duduk di kursi usang dekat pemakaman yang sepi. Tempat ini sangat cocok untuk dirinya. Setidaknya, tidak ada orang yang menganggapnya aneh dan memilih untuk pergi mengabaikannya.
Jemarinya mengusap layar ponselnya. Dengan membaca pesan dari sang pengirim ia sudah tahu siapa yang menulis pesan ini untuknya. Di antara banyak nomor yang ia punya, tidak ada satu pun yang mengiriminya pesan singkat dan bertanya apakah dia baik-baik saja. Tidak ada.
Termasuk orang tuanya. Mereka seakan-akan melenyapkannya dari dunia mereka dan memilih untuk tidak peduli padanya.
"Aww," Kalandra mengangkat telapak tangannya yang tergores dalam akibat batang tajam dari bunga itu. Darah sudah berhenti mengalir dan berubah beku. Ditambah debu dan kotoran yang masuk di antara luka robekan membuat rasa nyeri yang dideritanya semakin menjadi.
Dia tidak lagi punya uang untuk sekedar membeli plester atau obat penahan rasa sakit. Uang yang ada di dalam saku celananya sudah habis. Dan satu-satunya barang yang ia punya adalah ponsel miliknya. Ponsel berharga tinggi yang dibelinya saat dirinya masih memiliki banyak uang.
Hanya itu satu-satunya. Satu-satunya harapan untuknya.
.
.
Liena mengemudikan mobilnya berbelok ke arah persimpangan yang ada di distrik khusus perumahan kaum elit Tokyo. Alamat yang ditulisnya tidaklah salah. Dia benar-benar memasuki kawasan elit Tokyo.
"Nomor enam," kata-kata itu seakan menjadi mantra untuknya. Berkali-kali bibirnya melantunkan kata-kata yang sama guna mencari nomor rumah yang ditujunya. Dan berhasil, rumah besar bergaya Eropa dengan cat dominan putih hitam itu menjadi rumah termewah yang ada di kawasan khusus untuk kalangan atas Tokyo ini.
Liena mematikan mesin mobilnya dan keluar. Matanya masih bergerak mencari tombol bel yang ada di dekat pagar. Jelas sekali ini adalah rumah milik Achazia Kalandra yang dilelang oleh orang tuanya.
"Rumah ini lebih besar dari sebelumnya," Liena mengingat kejadian tiga tahun lalu. Dimana dia dengan beraninya datang dan mengumpat di depan wajah Achazia Kalandra tepat di depan rumah pria itu dan disaksikan oleh kedua orang tuanya. Kebrutalan yang pernah merasuki dirinya seakan-akan terekam jelas di kepalanya dan tidak pernah bisa hilang.
Liena mengetuk pagar hitam yang berdiri menjulang melebihi tinggi badannya. Tidak lama berselang, pintu kecil yang ada di sisi pagar terbuka lebar. Menampilkan sosok pria tua dengan pakaian formalnya tengah berdiri di sana memandangnya tajam.
"Apa benar ini rumah milik keluarga Achazia?"
Pria itu tampak berpikir sejenak. Ia memandang Liena dari rambutnya sampai kakinya. Menelitinya.
"Sudah tidak lagi," jawabnya.
Liena menunduk, menyembunyikan mimik wajah terkejutnya yang sempat berprasangka kalau Achazia Kalandra membohonginya agar ia mau peduli padanya.
"Kenapa tidak? Temanku yang bernama Achazia Kalandra tinggal di sini," Liena bersikeras untuk mencari informasi agar prasangka buruk yang ia timpakan pada Achazia Kalandra segera hilang.
"Rumah ini sudah jatuh ke tangan Tuan Yamada. Sertifikat beserta hak atas tanah sudah dilelang dan Tuan Yamada yang memenangkan lelangnya tersebut," jelas pria besar itu.
Liena tampak terkejut. Dengan ekspresi wajah yang dibuat-buat olehnya, pria itu tampak memandangnya dengan pandangan iba.
"Achazia Kalandra tidak lagi tinggal di sini. Sejujurnya, kami tidak tahu dimana dia tinggal saat ini." Pria itu kembali bersuara.
"Kalau begitu, terima kasih atas informasinya. Aku akan menghubunginya kalau begitu," Liena menundukkan kepalanya memberi salam dan masuk ke dalam mobilnya setelah pria itu ikut mengangguk dan menutup pintu pagar.
Liena memutar kemudinya dan berhenti di dekat persimpangan jalan yang sepi. Sebelah tangannya yang masih menggenggam erat kertas berisikan alamat itu mengepal. Meremas kuat-kuat kertas itu hingga kusut dan membuangnya. Dia merasa bersalah. Sangat amat bersalah karena sempat meragukan kejujuran pria itu.
.
.
"Kau bercanda," Laura menggelengkan kepala pirangnya tak percaya ketika Liena menceritakan tentang Achazia Kalandra dan rumah yang ditinggalkan untuknya.
Liena mengangguk singkat. Beberapa kali ia melirik ponselnya yang masih tampak tenang. Tidak ada pesan masuk balasan dari pria itu.
"Kau sudah menghubunginya?" bisik Laura karena menangkap mata sahabatnya yang berkali-kali memandangi layar ponselnya yang masih tetap sama.
Liena mengangguk.
Laura menghela napasnya. Ia mengeluarkan majalah yang dibelinya pagi tadi dan masih ada di dalam tasnya. "Kupikir wartawan itu berbohong mengenai Achazia Kalandra. Ternyata mereka benar."
Liena menerima majalah itu dengan dahi berkerut. Ia membuka halaman demi halaman majalah itu dan menemukan satu artikel yang bertuliskan kalau Achazia Kalandra tidak lagi menjadi pewaris kekayaan milik keluarga Achazia dan secara resmi nama Achazia dihapus dari daftar keluarga.
"Berita macam apa ini?" Liena mendesis tak sadar. Ia membaca artikel itu dengan gelengan kepala.
Laura mengangkat bahunya. Ia membiarkan Liena membaca artikel itu dan dia melanjutkan menggambar salah satu koleksi bajunya untuk pameran bulan depan.
"Karena mereka malu? Karena Achazia Kalandra menjadi dalang dibalik kematian putra pertama mereka? Karena hubungan gelap mereka yang membuat perusahaan Achazia hampir diambang kehancuran? Hanya karena itu?" tanya Liena bertubi-tubi.
Laura menggeleng. Ia menaruh pensilnya di atas kertas gambar dan mendesah. "Kau tanyakan saja pada Kalandra. Menurutku, orang tua di zaman sekarang lebih mementingkan karir dan bisnis mereka dibanding anak-anak mereka yang lebih membutuhkan perhatian mereka."
Liena terdiam. Ia menutup majalah itu dan mendorongnya menjauh. Kedua tangannya menutupi wajahnya yang mulai memerah.
.
.
Achazia Kalandra mengepalkan tangannya kuat-kuat. Majalah yang berisikan tentang keburukan dirinya sudah tersebar luas. Tidak jarang ketika orang lain memandangnya, mereka mendecih dan memandang jijik padanya.
Dan itu menjadi alasan terkuatnya berani menampakkan dirinya sekali lagi di sini. Di depan gedung yang pernah menjadi tempatnya bekerja. Dimana Ayah dan Ibunya pastinya ada di dalam sedang sibuk dengan pekerjaan mereka.
"Maaf. Anda dilarang untuk menginjakkan kaki lagi di sini. Ini perintah dari atasan." Tiga pria berbadan besar datang untuk menghalangi langkahnya menuju pintu masuk gedung. Tiga pria itu memandangnya tajam. Dan Kalandra tidak gentar dengan apa yang mereka lakukan padanya.
"Aku harus bicara dengan atasan kalian. Aku harus masuk." Kalandra kembali melangkahkan kakinya ke dalam. Hanya dua langkah, tubuhnya terhuyung ke belakang karena salah satu dari pria itu mendorongnya.
"Kami diperbolehkan untuk menyakiti Anda. Atasan menyuruh kami untuk melakukan apa pun untuk menyakiti Anda."
Kalandra mengepalkan tangannya. Bersiap melayangkan satu pukulan ke wajah pria itu dan berhasil mengenai rahangnya. Salah satu pria itu terdorong hingga jatuh membentur tanah dan membuat beberapa pria lain yang berbadan sama datang membantunya.
Kalandra jatuh ke belakang saat dua pria menyerangnya dan memukul wajahnya hingga darah mengalir dari lubang hidung kanannya serta sudut bibirnya yang robek.
Kalandra mengusap darah yang mengalir dan kembali bersikeras untuk masuk ke dalam gedung. Dia tidak peduli bagaimana wajahnya nanti, yang terpenting adalah ia harus bertemu dengan kedua orang tuanya.
"Pergilah, pecundang!"
Bahkan salah satu dari pria itu mengumpatnya. Kalandra berusaha bangkit dari rasa sakitnya akibat pukulan di wajah dan lengannya yang berhasil membuatnya memar dan berdarah. Ia tidak lagi memedulikan darah yang mengotori wajahnya. Luka memar tebal yang ada di lengannya. Rasa sakitnya jauh melebihi ini.
Kalandra memutar tubuhnya dan berbalik pergi. Tidak lagi memedulikan bagaimana tatapan orang lain yang melihatnya penuh rasa jijik, heran bercampur iba. Dia tidak lagi peduli.
Mengarahkan kakinya menuju halte usang yang tak lagi terpakai, Kalandra memilih untuk duduk di sana. Berdiam diri hingga lukanya mengering dan rasa sakit di lengannya berkurang. Dia beruntung, jalan ini tampak sepi. Hanya beberapa mobil yang lewat dan pejalan kaki enggan datang kemari karena tempatnya yang kotor dan berbau.
Kalandra memperhatikan luka memar di lengannya yang tidak kunjung membaik. Rasa nyeri itu semakin menjadi-jadi. Tidak ada lagi darah yang mengalir dari hidungnya, dari luka robek di bibir dan pelipisnya.
Merapatkan lututnya, kepala hitamnya bergerak menunduk semakin dalam. Menyembunyikan wajah terlukanya di antara lipatan lututnya. Sekuat tenaga menahan rasa sakit yang semakin lama menyakitinya. Kepalan kedua tangannya semakin erat dan Kalandra sadar, kalau pipinya kembali basah dan ia kembali menangisi dirinya sendiri.
.
.
Jam delapan malam. Liena berkali-kali memegang ponselnya. Berharap kalau Achazia Kalandra menghubunginya dan memberitahukannya bagaimana kabarnya. Dia juga berdoa, semoga pria itu tidak melihat majalah keluaran terbaru hari ini yang berisikan tentang wawancara resmi dengan presiden utama perusahaan Industri terbesar di Asia. Achazia Matteo beserta sang istri yang datang untuk mengklarifikasi semua tuduhan yang dilayangkan keluarganya.
Ia tidak menyangka. Kalau putra kandung mereka Achazia Kalandra diberitakan sebagai anak tiri yang diasuh sejak bayi oleh keluarga Achazia. Liena tidak menyangka kalau orang tua itu sudah tidak punya hati nurani lagi.
Liena mengusap wajahnya. Ia tidak ingin mengingat berita itu lebih jauh lagi. Dan jika Kalandra sampai membacanya, ia takut. Sangat takut. Kalau pria itu memilih jalan lain untuk mengakhiri hidupnya dan memilih meninggalkan semua mimpinya di dunia.
Nomor yang ia hubungi tidak lagi aktif. Liena tidak tahu apakah Achazia Kalandra benar-benar melarikan diri darinya atau pria itu punya jalan pikiran lain untuk dirinya sendiri? Dia tidak tahu.
.
.
Malam semakin larut. Luka di wajahnya perlahan-lahan mulai mengering sempurna. Meninggalkan rasa nyeri ketika disentuh. Tapi tidak apa, selama dirinya masih bisa bangun dari berdiri sempurna, ia sudah bersyukur.
Jalanan besar sudah tampak sepi. Kalandra tidak tahu sudah berapa lama ia berdiam diri di halte itu. Bahkan, ponsel yang menjadi harta benda satu-satunya yang ia miliki juga sudah lenyap. Ia menjualnya. Dan uang dari hasil penjualan ponsel itu ia gunakan untuk membayar kebaikan hati dari seorang Arkana Liena.
Kalandra berhutang pakaian dan segala macam yang sudah Liena berikan padanya. Wanita itu bahkan memberikannya tempat untuk tidur yang jauh dari kata buruk. Tempat yang menjadi tempatnya berteduh sangat layak. Sangat bersih dan rapi. Wanita itu benar-benar punya hati yang baik.
Mengusap wajahnya, Kalandra mencari bis yang membawanya ke tempat wanita itu tinggal. Ia masih punya misi yang harus diselesaikan.
.
.
Liena menumpu dagunya dengan telapak tangannya. Acara televisi malam ini jauh lebih buruk dibanding hari-hari lain. Jam berbunyi nyaring, menandakan pukul dua belas malam dan ia masih duduk di depan layar televisi. Menghilangkan rasa bosannya. Dan juga rasa khawatir yang bersarang di dalam hatinya.
Mematikan televisinya, Liena bersiap mematikan lampu ruangan sebelum pergi ke kamar. Tetapi ketika ia hendak mematikan lampu dapur rumahnya, ia mendengar suara ketukan pintu rumahnya berbunyi lebih dari dua kali.
Alisnya berkerut bingung. Tidak mungkin Laura bertamu ke rumahnya selarut ini. Wanita itu pasti menghubunginya terlebih dulu sebelum datang berkunjung. Lalu, siapa?
Liena menyalakan lampu ruang tamu. Tangannya bergetar antisipasi. Takut jika tamu yang mengetuk pintu rumahnya adalah orang yang tak dikenalnya.
Gagang pintu bergerak dan ketukan itu berhenti seketika. Liena menahan napasnya ketika pintu kayu itu terbuka lebar. Menampilkan Achazia Kalandra dengan wajah penuh luka dan lengan yang bengkak dan memar.
"Ya Tuhan!" Liena menutup mulutnya yang terbuka. Manik hijaunya tidak bisa membohongi perasaan terkejut ketika penampilan penuh luka Achazia Kalandra terpampang jelas di depannya.
"Aku datang hanya untuk membayar pakaian yang kaubelikan pagi tadi," tangan terluka itu masuk ke dalam sakunya. Bergetar karena menahan rasa nyeri di tangannya, Kalandra menahannya.
Tangan yang sempat menutupi mulutnya terjatuh. Liena memperhatikan luka-luka yang ada di tubuh pria itu. Beberapa bagian dari kemeja itu robek dan berlubang. Wajah yang pucat ditambah luka robek yang parah membuat Achazia Kalandra terlihat semakin menyedihkan.
"Ambillah. Aku harus mengganti kebaikanmu." Kalandra mengeluarkan beberapa lembar uang dari dalam sakunya dan mengulurkannya pada Liena yang hanya diam memandangi telapak tangannya. Wajah wanita itu tertunduk.
Sembari menggigit bibirnya, dengan berani ia mendongakkan kepalanya. Memperhatikan wajah penuh luka itu dengan mata yang memburam. Kalandra melihatnya. Melihat bagaimana ketika mata itu menatapnya penuh rasa khawatir.
"Apa yang terjadi padamu?"
Dan Liena tidak bisa menahan air matanya lebih lama lagi.