10

1001 Kata
Dia masih diam. Liena bersumpah pria itu tidak bereaksi apa pun terhadap pertanyaannya. Dia hanya diam. Memandang jalan bebatuan yang kering di bawahnya. "Apa yang terjadi padamu?" Sekali lagi Liena bertanya dengan serius. Pria itu bereaksi. Tangannya yang terulur jatuh di sisi tubuhnya. Mata kelamnya yang sempat tertunduk, mendongak. Menatap jauh ke dalam matanya yang basah dan berurai pedih. "Aku tidak apa-apa. Jangan khawatir," jawabnya. Liena membuang mukanya. Ia masih belum mengerti mengapa pria ini masih tidak mau berbicara padanya. Hanya sedikit saja, hanya sedikit. Liena merasa hatinya teriris ketika wajah penuh luka itu menatapnya sedih. Bermacam-macam emosi tersembunyi di sana begitu terasingkan. "Ambil saja uang itu. Aku tidak butuh uang balasan darimu," Liena menghapus air matanya. Kalandra mengerutkan alisnya. Masih menatap Liena datar. "Kau butuh uang untuk besok dan seterusnya. Tidak usah pedulikan hal sepele yang tidak penting." "Kau membelikanku baju dan celana. Aku harus membayarnya," balasnya. "Tidak." Kalandra mengepalkan sebelah tangannya. Uang itu hasil dari penjualan ponselnya. Ia masih memiliki beberapa lembar uang di dalam saku celananya. Beberapa lagi habis untuk membayar ongkos bis umum. Dan beberapa lagi ia sisihkan untuk membayar kebaikan hati wanita itu. "Aku bilang tidak perlu," suara Liena yang tenang tiba-tiba meninggi. Ia merasa kesal karena pria ini masih saja keras kepala. "Kau lebih membutuhkan uang itu, Kalandra." Dan untuk pertama kalinya Liena menyebut namanya. Mata kelam Kalandra melebar. Kedua tangannya bergetar tanpa Liena ketahui. Untuk pertama kalinya. Untuk yang pertama kalinya wanita itu memanggil namanya. "Demi Tuhan, kau tidak membalas pesanku. Kau juga tidak mau mengangkat teleponku. Aku berusaha mencarimu, dan kau tidak ada." Belum sempat Kalandra menjawab ucapan Liena, wanita itu menarik tangannya masuk ke dalam. Mengunci pintunya dan menatapnya tajam. Ada perasaan khawatir, marah, bingung bercampur jadi satu di sana. "Dengarkan aku. Untuk malam ini dan seterusnya kau boleh tidur di sana," Liena menunjuk rumah belakang dengan telunjuknya. "Tidak usah pikirkan biaya atau semacamnya. Dirimu yang lebih penting. Kau mengerti?" Kalandra hanya diam. Tetapi dia menaruh beberapa lembar uang itu di atas meja. Membuat Liena berdecak. "Keras kepala." "Aku berjanji akan membayarmu, bukan?" Liena tertawa sarkatis. "Oh, lalu darimana kau dapatkan uang ini? Kau mencuri?" "Tidak," Kalandra menggeleng tegas. Tetapi kemudian napasnya sedikit memberat. Membuat Liena menunggu dengan antisipasi. "Aku menjual ponselku." Mata hijau wanita itu melebar sempurna. "Demi Tuhan, itu satu-satunya benda berharga yang kau punya. Kenapa kaulakukan itu?" Kalandra menggeleng dengan wajah tertunduk. "Aku harus. Hanya itu jalan yang kupunya. Aku bisa pergi tanpa harus meminjam uang dari siapa pun. Aku punya beberapa lembar di dalam saku celanaku. Aku bisa pergi dengan bis umum memakai uang itu." Kali ini Liena yang terdiam. Kalandra kembali mendongak. Wajahnya yang pucat dan penuh luka membuat Liena harus menahan tangisnya sekali lagi. Sungguh. Dia tidak bisa melihat orang lain terluka. Bahkan jika pria itu pernah menyakitinya. "Duduklah. Aku akan mengobatimu." Hanya itu yang bisa ia katakan. Mata kelam itu sempat berkedip beberapa kali. Liena meresponnya dengan mimik wajah serius yang membuat pria itu menurutinya. Dia duduk diam sembari menahan sakit di wajah dan lengannya. Liena pergi untuk mengambil kotak obat di bawah tangga. Lalu, ia berlari ke dapur untuk membuatkan teh hangat. Kalandra jelas sekali kedinginan. Pria itu sekali lagi berusaha menyembunyikannya. Hanya sepuluh menit Liena pergi, ia sudah kembali dengan sekotak obat berisikan cairan antiseptik, kapas, alkohol dan beberapa cairan untuk luka dan pertolongan pertama. Ia juga membawa secangkir teh hangat yang asapnya masih mengepul. Kalandra hanya menatapnya. Menatap bagaimana wanita itu menaruh cangkir teh itu di atas meja dan bagaimana ketika Liena mengeluarkan beberapa cairan botol dari dalam kotak dan kapas. "Tahanlah sedikit, ini akan terasa sakit," Liena memegang kapas yang sudah ia bentuk menjadi gumpalan tebal dengan cairan antiseptik dan cairan yang berguna untuk mengeringkan luka lebih cepat. Kalandra memundurkan sedikit kepalanya ketika kapas itu mengenai pipi kanannya. "Ini hanya sebentar," tangan wanita itu kembali menyentuh pipinya. Rasa perih bagai tertusuk jarum mulai terasa di pipinya. Cairan itu seperti menabuh garam di lukanya, sangat perih. Hingga membuatnya meringis. Dengan hati-hati Liena melakukannya di bekas luka yang lain. Di dahi pria itu, pipi dan sudut bibir yang robek dan hampir membiru. Luka itu mengering cukup lama dan kotoran yang masuk membuat Liena kesulitan membersihkannya. "Seharusnya, kau mengobatinya lebih cepat," Liena kembali mengoleskan cairan obat itu di wajah Kalandra. "Kau bisa infeksi. Dan bahayanya lebih besar lagi." "Pelan-pelan." Liena mengabaikan ringisan pria itu dan kembali melanjutkan pengobatannya. Ia merasa sudah hati-hati dan luka pria itu yang membuka terlalu lama membuat rasa sakitnya bertambah. Gumpalan kapas itu beralih ke lengannya. Ada beberapa bagian yang sudah membiru dan membengkak. "Aku bisa mengobatinya sendiri," Kalandra menarik lengannya ketika Liena memegangnya. "Tidak perlu. Aku akan mengobatinya sekaligus agar lebamnya cepat memudar," dengan sifat keras kepala yang sama, Liena menarik lengan pria itu. Mengobatinya dengan hati-hati dan beberapa kali ia mengoleskan salep di luka kebiruannya. Mengambil perban, Liena mulai menggunting beberapa bagian perban setelah memutarkannya di lengan yang terluka pria itu. Ini memudahkannya agar lukanya tidak lagi terkena kotoran yang bisa menyebabkan infeksi. Selesai. Liena tersenyum dengan karyanya. Walaupun ia tidak bekerja di bagian dokter umum atau dokter ahli lainnya, ia pernah belajar tentang pertolongan pertama dan obat apa saja yang diperlukan. Dan itu sangat berguna. Seperti saat ini contohnya. Kalandra memandang perban yang membalut lengannya. Luka lebam di tangannya juga sudah terolesi salep yang membuat rasa sakitnya perlahan-lahan mereda. Kalandra memutar matanya, menangkap senyum lebar wanita itu ketika menatap hasil pengobatannya. "Kau akan sembuh. Percayalah," Liena masih tersenyum ketika pandangan mereka saling bertemu. Sangat kontras di antara keduanya. Dan Kalandra berani bertaruh, kalau senyum yang Liena tunjukkan padanya bukanlah senyum palsu yang biasa wanita itu perlihatkan. Dia benar-benar tersenyum untuknya. "Apa kau terkejut karena aku bisa mengobatimu?" Kalandra tersadar dari lamunannya ketika Liena tidak sengaja menyentuh lengannya yang dilapisi perban. Wajah wanita itu masih berbinar memandang hasil karyanya. "Kau seorang dokter. Kau pasti bisa melakukannya," jawabnya. Liena mengangguk mengiyakan. "Ah, kau benar juga. Setiap dokter pasti bisa melakukannya." Liena merapikan beberapa peralatan medisnya dan memasukkannya kembali ke dalam kotak obat. Kapas yang sudah terpakai ia pisahkan bersama beberapa kain perban yang terbuang. Kotak obat itu sudah tertutup rapat. Liena menarik cangkir tehnya mendekat ke arah Kalandra yang masih diam. "Minumlah. Kau perlu sesuatu untuk menghangatkan tubuhmu," Liena bangkit dari sofa sembari membawa kotak obatnya. "Aku akan kembali."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN