Kalandra mengangkat cangkir berisikan cairan kecokelatan itu dan meminumnya perlahan. Rasa hangat dan manis dari teh itu bermanfaat untuk tubuhnya yang sedikit demi sedikit mulai merasa hangat. Pemanas ruangan berhasil membantunya keluar dari rasa dingin yang hampir membunuhnya.
Liena kembali dengan sepiring kue kering. Wanita itu kembali pergi ke dapur setelah menaruh piring itu di atas meja dan meninggalkan Kalandra sekali lagi.
Kalandra membenarkan posisi duduknya sampai ia menemukan ada majalah yang tergeletak di bawah meja. Sebelumnya ia tidak melihat adanya majalah itu. Kalandra mengambilnya, melihat lebih jauh lagi dari isi majalah itu.
Liena datang dengan teko berisikan teh panas yang baru saja ia masak untuk mereka berdua. Wajahnya berubah panik seketika saat ia menemukan Kalandra tengah memegang majalah yang memberitakan tentang dirinya.
"Jangan dibaca!"
Terlambat.
Kalandra menjauhkan tangannya ketika tangan Liena berusaha menarik majalah itu darinya. Wajah Kalandra yang mengeras seakan menjawab segalanya. Liena menaruh teko yang dibawanya di atas meja dan duduk tepat berseberangan dengan pria itu. Sungguh, ekspresi wajah Kalandra saat ini membuat dirinya takut.
"Kau membacanya?"
Liena mendongak. Ia tidak bisa membohongi pria ini.
"Ya."
Tanpa perlu membukanya, Liena tahu kalau pria itu sudah paham benar apa isi majalah itu. Kalandra hanya memegang majalah itu dan sedikit meremasnya hingga kusut lalu menaruhnya di atas meja. Wajahnya yang keras berubah datar dalam sekejap.
"Kenapa kau membacanya?"
Liena mengalihkan pandangannya. Ia tahu pria ini sedang terluka. Dan ia tidak pernah berniat menabur garam di atas lukanya.
"Laura memberitahuku. Aku tidak pernah membaca majalah politik sebelumnya. Aku benci politik. Aku hanya membaca majalah tentang ilmu kedokteran saja," Liena bersuara untuk menjawab pertanyaan pria itu. "Dan ketika aku membaca majalah ini, aku terkejut. Sungguh, aku tidak tahu kalau mereka setega itu padamu."
Kalandra mendecih. Membuat Liena yang duduk di hadapannya mengalihkan perhatiannya pada pria itu seluruhnya. Wajah Kalandra yang terluka serta tatapan pria itu yang menatapnya marah seakan melukai hatinya.
"Apa pedulimu? Aku belum menceritakan seluruhnya padamu. Aku hanya menceritakan beberapa bagian saja dan kau berpura-pura peduli padaku?"
Demi apa pun, Liena tidak tahu kalau Kalandra akan mengucapkan kalimat itu padanya. Tubuh Liena bergetar. Jujur, ia peduli pada pria ini. Pria ini butuh penopang, butuh seseorang yang mengerti dirinya. Dan kenapa harus kalimat menyakitkan itu yang terucap?
"Apa aku terlihat berpura-pura peduli padamu?" kepalan tangan Liena di atas sofa mengerat. "Apa aku terlihat sedang memasang topeng di depanmu?" suaranya terdengar rendah, namun nada yang terselip tidak terdengar demikian.
Kalandra terdiam. Tetapi tatapan matanya yang marah bercampur luka membuatnya harus mengalihkan pandangannya ke atas karpet tebal yang ia pijak.
"Aku mengkhawatirkanmu karena aku peduli padamu," suara Liena berubah serak. Tetapi wanita itu tidak menangis. "Kau sedang mengalami kehidupan yang sulit. Aku berperan sebagai temanmu saat ini. Tidak bisakah kau mengerti sedikit saja?"
"Tidak ada kata teman di dalam kamusku. Kau tahu itu," balasnya.
Liena mengusap wajahnya. Ia lelah, jujur ia lelah. Batinnya berteriak lelah tetapi fisiknya mengatakan ia kuat. Ia bisa mengatasinya.
"Aku bertanya padamu saat kau mengetuk pintu rumahku dengan keadaan terluka parah. Aku bertanya apa yang terjadi padamu. Apa kau menjawabnya? Tidak. Kau diam," Liena menahan pandangannya agar mata mereka saling bertemu. "Aku pernah meragukanmu sebelumnya. Aku pergi untuk mencari rumahmu. Rumah yang pernah menjadi tempat tinggalmu sebelumnya. Aku ke sana untuk mencari kebenarannya. Dan apa? Kau sama sekali tidak berbohong padaku. Dan kali ini aku benar-benar percaya padamu. Aku tidak marah saat kau diam ketika aku bertanya padamu."
Mata Kalandra melebar. Ia tidak percaya kalau Liena bertindak sejauh itu untuk membuktikan ucapannya.
"Kenapa kaulakukan itu?" Hanya kalimat itu yang bisa Kalandra ucapkan.
Liena tersenyum samar. "Kenapa? Aku punya hati. Hatiku berkata kalau kau berbohong. Kau membohongiku."
Kalandra tersentak dengan kalimat yang Liena ucapkan padanya. Ketika mereka bertemu pandang, Kalandra tidak menemukan adanya kebohongan di dalam sana. Tidak ada satu kata pun yang Liena katakan adalah sebuah kebohongan.
"Kau bisa tidur di rumah belakang. Aku mengizinkanmu sampai kau bisa mendapatkan uangmu sendiri dan mencari tempat tinggal baru. Selain itu, mengertilah." Liena bangkit dari sofa dan berjalan pergi. Sebelah tangannya menutupi separuh wajahnya hingga sebatas matanya. Ia tidak tahu mengapa ia ingin sekali menangis hari ini.
Kalandra terdiam di tempatnya. Hanya suara api yang membakar kayu dan suara jarum jam yang menemaninya. Hening. Suasana berubah hening. Dia merasa bersalah karena merubah perasaan wanita itu hanya dalam sekejap. Tidak seharusnya ia berkata begitu. Tidak seharusnya. Liena sudah berbaik hati mengulurkan tangannya padanya, dan seharusnya ia menerimanya. Bukan menarik tangannya kembali dan pergi. Itu melukai hatinya.
"Aku memang bodoh. Sangat bodoh."
.
.
Jam tujuh pagi. Liena sudah selesai menyiapkan dua roti kocok dan dua gelas kopi panas. Ia juga sudah selesai memanggang roti untuk mereka berdua sarapan. Ia tidak yakin Kalandra bisa melakukannya sendiri.
Liena membuka tirai jendela dapurnya. Suasana rumah belakang yang masih sepi dan tertutup membuatnya kembali menutup tirai. Kalandra ada di dalam. Ia sangat yakin pria itu ada di rumah belakang miliknya. Pintu utama masih terkunci rapat. Jika Kalandra pergi, pasti pintu itu tidak terkunci. Juga teko dan cangkir teh yang ada di dekat wastafel khusus pencuci alat dapur. Pria itu mencucinya.
Liena membuka pintu utama. Suasana hari ini cerah dan berawan. Tidak ada tanda-tanda hujan akan datang. Saat Liena hendak berbalik, ia mendengar suara benda terjatuh dari kotak suratnya. Liena menoleh, mendapati koran yang tergeletak di atas jalan bebatuan rumahnya.
Liena berbalik untuk mengambilnya. Membawanya masuk ke dalam rumahnya. Tidak biasanya memang dia membaca koran. Hanya beberapa kali saja dalam satu minggu. Kesibukannya di rumah sakit cukup menyita banyak waktu santainya.
Menarik bangku untuk duduk, Liena mulai membuka koran itu per halaman. Beberapa artikel menarik perhatiannya. Seperti dokter muda yang menemukan penemuan baru tentang penyakit kanker dan lainnya.
Tapi ada satu artikel dengan judul besar yang membuat wajahnya memucat. Kedua tangannya yang memegang koran itu bergetar ketika membaca judul itu dalam-dalam.
Perusahaan raksasa komunikasi Arkana Group, sedang dalam proses perencanaan pembangunan komunikasi di daerah terpencil.
Seketika itu juga Liena menutup korannya. Ia tidak lagi mau membaca isi artikel itu setelah membaca judul besarnya. Yang ia lakukan selanjutnya adalah membanting koran itu di atas meja dan terdiam.
Pintu dapur terbuka lebar, menampilkan Achazia Kalandra yang tampak lebih segar dengan rambut basahnya sehabis mandi. Masih dengan celana yang sama tetapi dengan atasan yang berbeda.
Kalandra menutup pintu dapur, atensinya langsung terfokus pada wanita berambut merah muda yang sedang duduk melamun di kursinya hanya memandangi piring kosongnya. Tidak biasanya. Kalandra merasa ada yang janggal di sini.
"Apa kau baik-baik saja?" Kalandra menarik kursi untuknya duduk. Iris gelapnya masih fokus menatap Liena yang tampak gelisah di tempat duduknya.
Liena tersentak saat ia tidak sengaja menjatuhkan pisau makannya di atas lantai kayu dapur. Dengan tangan bergetar, Liena mengambil pisau itu dan menaruhnya di tempat semula. Manik hijaunya beralih menatap Kalandra yang duduk sedang menatapnya.
"Apa?" tanya Liena bingung.
Kalandra mendesah. "Apa kau baik-baik saja?"
"Aku baik-baik saja," Liena menghembuskan napas panjang setelah ia mengusap wajah pucatnya.
"Kau tidak baik-baik saja," balas Kalandra yang membuat Liena kembali menoleh. Dengan dahi berkerut, ia memandang Kalandra yang tengah menatapnya penuh tanya.
Liena mengalihkan perhatiannya. Ia mengambil sepotong roti panggang dengan telur kocok yang matang lalu ia taruh di atas piringnya. Kalandra yang melihatnya hanya bisa menghela napas panjang dan mengikuti apa yang wanita itu lakukan.
"Bisa aku baca koran itu?" Kalandra menunjuk koran yang terlipat di atas meja dengan dagunya. Membuat Liena mengikuti arah pandangnya dan menahan napas seketika.
"Ini?" Liena mengambil koran itu dan mengangkatnya. Kalandra mengangguk singkat.
Menghembuskan napas panjang, Liena memberikan koran itu pada Kalandra yang menerimanya dalam diam. Pria itu berulang kali melirik Liena yang menyibukkan diri dengan rotinya tanpa berkata apa-apa lagi. Padahal Kalandra yakin, semalam hubungan mereka memburuk karena dirinya.
"Aku minta maaf," Kalandra membuka suaranya lebih dulu. Membuat Liena mengangkat kepalanya dan tersenyum samar. "Tidak perlu minta maaf, Kalandra."
Kalandra hanya mengangguk. Ia mulai membuka koran itu satu per satu dan mencari artikel menarik untuk ia baca. Diikuti pandangan Liena seiring tangan itu membuka halaman demi halaman koran itu.
Sampai dimana pergerakan tangan Kalandra terhenti dan kunyahan roti bercampur telur di dalam mulutnya juga ikut terhenti. Liena mengalihkan pandangannya dan memilih untuk menatap cangkir kopinya.
Kalandra mengangkat koran itu dan membaca judul besar yang ada di sana dalam-dalam. Ia tidak lagi memedulikan roti telurnya.
Kalandra membaca isi artikel itu hingga ke halaman selanjutnya. Di sana tertulis lengkap bagaimana pesatnya perusahaan komunikasi yang ada di bawah tangan sang penguasa, Arkana Raefal. Kalandra kenal nama pria itu. Pria itu pernah bekerja sama dengan perusahaan milik keluarganya.
Liena menunduk menatap piringnya yang separuh kosong. Ia tidak lagi menatap Kalandra yang kini menatapnya bergantian dengan koran yang dibacanya.
Dan kalimat yang tidak ingin Liena kenal meluncur bebas dari bibir seorang Achazia Kalandra. Sungguh, Liena ingin sekali pergi dari sini. Menjauh dari pertanyaan yang akan membuat Kalandra penasaran dan menanyakan hal yang sama terus-menerus padanya.
"Kau mengenal Arkana Raefal?"
Liena terdiam beberapa saat. Ia sibuk dengan garpu dan pisau di kedua tangannya. "Oh, Arkana Raefal?" Liena tertawa rendah. "Tentu saja. Bukankah dia pengusaha hebat itu? Semua orang pasti mengenalnya."
Alis Kalandra terangkat. Pertanda ia merasa tidak yakin dengan jawaban yang diberikan Liena. Koran di tangannya tertutup sempurna. Atensinya hanya fokus memandang Liena yang duduk diam membisu.
"Bukankah margamu Arkana? Hubungan kalian tidak hanya sebatas itu saja, kan?"
Liena mendongak, sebisa mungkin ia menahan perasaannya agar Kalandra tidak melihatnya.
"Arkana Raefal, dia pernah masuk ke dalam jajaran parlementer Jepang selama bertahun-tahun. Sebelum ia masuk ke dalam parlemen, ia adalah seorang pengusaha. Dan istrinya, Arkana Jahara adalah seorang pengacara terbaik yang ada di Tokyo. Bayarannya tidak lagi memakai mata uang Jepang, melainkan dolar atau euro," Kalandra menangkap reaksi spontan yang Liena berikan padanya. Tatapan matanya yang terluka bercampur kepedihan menjadi hal pertama yang Kalandra lihat setelah ia mengucapkan kalimat itu. Tetapi tak lama, Kalandra kembali bersuara. "Kau mengenalnya. Kau mengenal mereka lebih dari sebatas orang biasa."
Tangan Liena yang tersembunyi di bawah meja terkepal. Ia tidak bisa membohongi pria ini lebih lama lagi. Ia tidak bisa melakukannya.
"Itu tidak benar," jawab Liena tegas. Dia menggeleng berulang kali untuk menguatkan hatinya. "Aku mengenalnya sebatas orang biasa. Marga yang sama hanya kebetulan saja."
Bohong. Jelas sekali. Kalandra tahu wanita ini berbohong padanya.
Liena bangun dari kursi makannya. Ia memaksakan senyum kecilnya pada Kalandra yang menatapnya penuh tanya. "Aku ada di kamar kalau kau butuh sesuatu."
Dan wanita itu berbalik pergi meninggalkannya dengan tanda tanya besar. Ada banyak kemungkinan yang bisa terjadi. Kalandra ingat bagaimana reaksi Liena saat dirinya bertanya tentang arti orang tua bagi wanita itu. Dan respon yang Liena berikan sangatlah kontras dengan ucapan dan gerak-gerik tubuhnya. Wanita itu sedang berperang dengan dirinya sendiri.
Kalandra menumpuk piringnya dengan piring Liena yang masih tersisa separuhnya. Cangkir yang berisikan kopi itu juga masih utuh. Liena sama sekali tidak menyentuhnya.
.
.
Satu jam berlalu, Liena keluar dengan wajah yang terlihat lebih segar dari sebelumnya. Wanita itu sengaja memanipulasinya dengan olesan make-up yang tidak terlalu tebal tapi mampu menutupi sisa-sisa air mata di pipinya.
"Aku harus pergi. Aku akan kembali sore nanti. Tetaplah di rumah dan jangan pergi kemana-mana," Liena mengambil kunci cadangan dari dalam laci di dekat televisi. Kalandra hanya diam melihatnya. Ia tidak mengatakan apa pun bahkan saat Liena sudah melangkah keluar dan pintu tertutup sempurna.
Kalandra terdiam di tempat duduknya. Koran yang dibacanya masih ada di atas meja makan dan ia tidak berniat menyentuhnya. Sejujurnya, ia penasaran. Apa hubungan yang terjadi antara Arkana Liena dengan Arkana Raefal?