"Apa yang terjadi?"
Mirza berlari menyusuri lorong mansionnya yang megah demi mencari sumber suara yang terasa menyakitkan di telinganya. Ia mendengar suara sang Ayah sedang berteriak membentak adiknya, Achazia Kalandra di ruang kerja pribadinya.
Mirza membuka pintu kayu berlapis tebal itu dengan dorongan kuat. Ia melihat tangan sang Ayah yang terkepal dan pipi kanan sang adik yang memerah.
"Kenapa Ayah menamparnya!?" teriak Mirza.
Achazia Matteo menoleh, ia menatap datar putra sulungnya. Tidak bermaksud membawa masalah ini pada putra pertamanya, ia memberikan isyarat melalui tatapan matanya agar Mirza segera keluar dari ruangannya.
"Aku tidak akan keluar. Kalandra tidak pantas menerima tamparan darimu," balas Mirza. Kalandra menoleh, pandangan matanya yang kosong menatap Mirza terkejut. "Aku tidak akan kemana-mana, Ayah."
Matteo melebarkan matanya. Ia berusaha menahan tangannya yang lain untuk tidak menampar wajah putra sulungnya. Kalandra terdiam, ia memandang sang kakak dengan pandangan terluka.
"Keluarlah, Mirza. Aku baik-baik saja," Mirza menoleh dengan pandangan terkejut. Ia memandang wajah sang adik yang berusaha memasang topengnya sekali lagi di hadapannya. Sungguh, Mirza tidak mau melihatnya seperti ini.
"Tidak, aku tidak akan keluar, Kalandra."
Kalandra menunduk, ia membiarkan sang Ayah menarik kasar sang kakak agar mau menuruti perintahnya. Mirza berusaha memberontak namun ia tidak berani bertindak lebih jauh lagi ketika pintu itu tertutup rapat dan suara pukulan yang ia dengar sekali lagi.
"Kumohon jangan sakiti, Kalandra, Ayah. Dia tidak bersalah atas apa pun," Mirza memukul pintu kayu tebal itu sekuat tenaga hingga tangannya memerah namun gagal. Semua usahanya sia-sia.
Mirza bersandar di pintu itu. Menunggu sampai Ayahnya puas menyakiti adiknya. Kalandra yang malang, Mirza tidak kuasa melihat pria itu terluka.
Pintu terbuka, Kalandra keluar lebih dulu dengan sudut bibir yang robek dan pipi yang terluka. Kalandra terkejut ketika mendapati sang kakak masih ada di depan pintu, tetapi semuanya tertutup dengan ekspresi wajah datarnya seperti biasa.
"Kalandra?" Mirza mendekat ke arahnya. Kalandra hanya menunduk, ia tidak bisa memandang wajah sang kakak lebih lama lagi dan memilih untuk berbalik pergi.
Mirza mengejar Kalandra sampai ke halaman parkir mansion. Ia melihat Kalandra membuka pintu mobilnya dan masuk ke dalam. Memacu mobilnya keluar dari halaman rumah secepat mungkin.
Mirza terdiam di undakan tangga ke tiga. Ia tidak bisa mengejar sang adik yang tengah terluka. Beban yang ditanggungnya sangatlah berat. Sang Ayah yang sejak kecil memusuhinya, tidak memberikan kasih sayang secara penuh padanya membuat Mirza turun tangan untuk menghiburnya. Untuk selalu ada untuknya.
Dan ia tahu, itu tidaklah cukup membuat Kalandra merasa bahagia.
.
.
Liena keluar dengan dress hijau mudanya. Laura yang memberikan ini padanya. Liena tahu, kalau Aksa ada di balik ini semua. Pria itu sudah menyiapkan segalanya untuknya.
Riuh tepuk tangan dari para penonton yang hadir membuatnya gugup. Kakinya terasa ingin meleleh saat ini juga. Menarik napas dalam-dalam, lalu membuangnya. Terus begitu sampai ia merasa santai.
Para penonton yang didominasi oleh penyandang d*********s ini memang dikhususkan untuk datang setiap bulannya. Acara amal ini berguna untuk menyemangati mereka sekaligus menghibur mereka. Liena tidak keberatan melakukannya, hanya saja ia merasa takut.
Liena duduk di depan piano hitamnya. Iris hijaunya bergulir menatap satu per satu tamu yang datang. Ia tidak melihat adanya Aksa. Acara sudah dimulai dan pria itu belum datang.
Ada terbesit rasa bingung dan khawatir di benaknya. Aksa tidak mungkin melupakan janjinya. Lalu, kemana pria itu?
.
.
Kalandra memacu mobilnya dengan kecepatan sedang. Kedua oniksnya tampak membasah. Luka di wajahnya tidak ia pedulikan. Begitu juga dengan ponsel yang berdering di saku celananya, ia tidak peduli. Ia butuh waktu sendiri.
Hari mulai gelap. Dan jalan yang ia lalui mulai sepi. Kalandra sengaja memilih jalan lain untuk sendiri. Ia ingin mengemudi dengan tenang tanpa harus mengganggu kenyamanan pengguna jalan yang lain.
Pandangannya mulai tidak fokus. Rasa sakit di hatinya menjadi penyebab segalanya. Ia tidak begitu memedulikan luka di wajahnya, itu tidak berarti apa-apa dibanding dengan luka di hatinya.
Kalandra melihat ada sedan berwarna merah melaju dengan kecepatan tinggi dan melawan arah. Ia tidak melihat jelas siapa pengemudinya karena lampu mobil di depannya yang menyala terang. Kedua oniksnya membulat seketika saat sedan merah itu mengarah ke arahnya dengan kencang. Kalandra menekan pedal gas dan memutar kemudinya ke arah lain hingga mobil yang ia kendarai menabrak patung di pinggir jalan dengan keras dan kemudian—
BRAAAKK
Bunyi benturan antara mobilnya dengan patung itu tidak bisa dihindarkan lagi. Kalandra merasa buku-buku tangannya yang terluka akibat memukul dinding kamarnya terasa nyeri seketika. Dahinya yang terantuk kemudi mobil dengan kencang mulai terasa sakit. Kalandra mendongak, melihat kerusakan bagian depan mobilnya yang parah.
Tapi bukan itu yang menjadi masalahnya. Ia menoleh, melihat sedan merah itu menabrak pohon besar di pinggir jalan hingga mobilnya oleng dan berguling-guling hingga ke tengah jalan.
Kalandra keluar dari mobilnya, ia tidak peduli dengan darah di kepalanya karena benturan keras tadi. Ia berlari menuju sedan merah itu. Mencari tahu kondisi sang pengemudi yang ternyata tengah sekarat.
Kalandra melihat adanya bensin yang menetes keluar dari dalam tangki mobil. Dengan cepat ia memecahkan kaca mobil itu dengan sekuat tenaga hingga lengannya berdarah dan merobek kemeja putihnya. Ia menahan rasa sakit di tangannya karena terkena serpihan kaca mobil itu untuk menyelamatkan sang pengemudi.
Kalandra membuka sabuk pengaman pria itu dan menarik tubuhnya keluar melalui kaca mobil yang terbuka. Kondisi mobilnya yang terbalik membuatnya terasa sulit untuk menyelamatkan sang pengemudi.
Terus menariknya sampai ia berhasil mengeluarkan pria itu dari sedan merahnya. Kalandra menariknya hingga jarak mereka jauh dari sedan merah yang sebentar lagi akan terbakar.
Tidak lama hanya berkisar enam menit setelahnya, sedan merah yang sudah rusak karena tertabrak batang pohon dengan keras terbakar. Bagian mobil merah itu yang terlempar akibat api itu membuat Kalandra harus memasang punggungnya untuk melindungi pengemudi itu.
Ia tidak peduli dengan kemejanya yang penuh darah atau kepalanya yang terasa sakit karena benturan tadi. Darah juga keluar dari pelipisnya yang robek. Ia tidak peduli.
Pria di bawahnya tengah sekarat. Wajahnya yang terbentur kemudi terluka parah. Pria ini masih bernapas, walaupun terputus-putus.
.
.
Liena memainkan lagu keduanya. Tetapi sekali lagi saat ia menoleh, ia tidak menemukan sang kekasih dimana pun. Liena hampir putus asa dan ingin berlari meninggalkan acara untuk menemui kekasihnya. Tapi ia tidak bisa. Ia harus menepati janjinya untuk menghibur mereka.
Laura ada di belakang layar sembari mengintip cemas dengan keadaan Liena di sana. Ia juga berulang kali menanyakan hal yang sama tentang Savian Aksa pada penjaga di depan, namun nihil. Savian Aksa tidak hadir.
Ponsel Liena bergetar di tangan Laura. Laura sengaja memegang ponsel sahabatnya untuk berjaga-jaga kalau ada seseorang yang menghubunginya. Dan ini membuat perasaannya tidak karuan saat melihat nomor tak dikenal masuk ke panggilan.
"Halo?"
Seorang wanita bicara di seberang sana. Laura membulatkan matanya seketika. Ponsel di tangannya hampir saja terjatuh. Seluruh tubuhnya serasa mati rasa.
Laura berlari ke atas panggung kecil. Ia berbisik di telinga Liena dan saat itu juga lantunan lagu yang Liena mainkan terhenti. Tubuh wanita itu membeku seketika. Kedua matanya yang sempat berbinar berubah kosong. Laura memegang lengan Liena dan wanita itu berlari dari panggungnya menuju pintu keluar.
"Liena!" Laura berteriak histeris saat ia mencoba mengejar Liena yang berlari menghentikan taksi yang lewat di depannya.
Sayangnya, gagal. Liena berhasil pergi dengan taksi itu. Meninggalkannya sendiri dengan kedua mata yang basah.
.
.
"Anda harus ikut kami ke kantor. Anda harus menjelaskan apa yang terjadi," pria berbadan besar dengan seragam kepolisian menghampirinya. Kalandra mengangguk. Ia tidak sempat memikirkan pakaian apa yang pantas untuknya nanti. Kemejanya yang penuh dengan darah pria itu dan juga wajahnya yang masih terluka. Kepalanya juga terasa sangat sakit.
Kalandra berdiri setelah para dokter menangani pria yang ditolongnya. Melihat keadaan pria itu dari jendela ruang darurat yang terbuka, Kalandra memutuskan untuk mengikuti dua pria anggota kepolisian ini dan tidak berlama-lama di rumah sakit.
Liena berlari menyusuri lantai rumah sakit yang dingin. Ia mencari ruang khusus gawat darurat yang ada sayap kiri rumah sakit. Ia tidak peduli lagi jika kakinya terasa sakit karena berlari dari halaman depan rumah sakit sampai ke sini.
Saat di tengah jalan, ia bertemu dengan dua anggota polisi yang tengah berjalan diikuti dengan seorang pria dengan kemeja putihnya yang dipenuhi darah. Wajah pria itu juga terluka dan masih belum diobati.
Ketika pandangan mereka saling bertemu, Liena tidak memedulikan hal lain selain kekasihnya yang sedang berjuang untuk hidup saat ini. Langkahnya semakin berat terasa ketika pintu bertuliskan gawat darurat itu terlihat di depan matanya. Yang bisa ia lakukan hanyalah duduk di atas lantai yang dingin dan menangis di sana.
Pintu terbuka lebar, Liena segera berdiri menghampiri sang dokter dengan mata yang telah basah. Dan reaksi yang dokter itu berikan jauh diluar dugaannya.
Kepala dokter itu menggeleng berulang kali. Sebelah tangannya yang bebas mengusap bahu Liena dua kali sebelum ia berlalu pergi. Liena membuka pintu ruang gawat darurat, melihat kondisi sang kekasih yang sudah tidak lagi bernyawa di atas ranjang dingin itu.
"Aksa!"
Liena menutup wajahnya dan jatuh terduduk di samping ranjang sang kekasih. Ia tidak bisa lagi menahan air matanya. Ia menangis di sana. Tangisnya pecah. Bahkan dua perawat wanita yang ada di ruangan perlahan-lahan mundur dan pergi. Meninggalkan Liena yang menangis sembari memeluk Aksa yang telah terbaring kaku dengan luka parah di wajah dan dadanya.
"Bangun! Kau bilang kau akan datang, Aksa. Aku menunggumu."
Liena mengguncangkan tubuh kekasihnya yang kaku dengan kencang. Ada terbesit sedikit harapan kalau Aksa akan bangun dan memeluknya seperti yang dilakukan pria itu padanya.
Liena kembali terjatuh di atas lantai. Wajahnya sudah basah akan air mata. Ia tidak peduli lagi dengan kondisi tubuh dan wajahnya yang menyedihkan. Bahkan alat-alat yang menempel di tubuh kekasihnya juga tidak berguna menyelamatkan nyawanya.
Salah satu perawat datang untuk menemuinya. Ia memberikan Liena kotak merah berbentuk hati. "Aku menemukan ini di saku celananya," kata perawat itu.
Liena mengambil kotak itu dan membukanya. Ia menemukan cincin perak berlapiskan mutiara kecil berwarna biru muda yang cantik. Tangisnya semakin pecah. Ia menutup wajahnya, tubuhnya semakin bergetar hebat.
"Dokter mengidentifikasi adanya kecelakaan yang dialami kekasihmu," perawat itu membuka suaranya. "Dari luka wajah dan dadanya, kekasihmu mengalami luka benturan yang keras hingga membuatnya pendarahan dalam."
Kedua mata Liena membulat seketika. Ia menatap kedua mata cokelat perawat itu tidak percaya.
"Kau bisa pergi ke kantor polisi terdekat, Nona. Mereka sedang memintai keterangan seorang pria yang membawa kekasihmu kemari," lanjutnya.
Tanpa berpikir panjang, Liena segera berlari keluar dari ruang gawat darurat dan mengabaikan Laura yang berusaha menghentikannya saat di pintu masuk. Wanita itu berlari mengejar Liena yang sedang menghentikan taksi sekali lagi di depan rumah sakit.
"Liena!"
Laura mengusap kedua matanya yang basah. Kedua kakinya tidak lagi kuat mengejar Liena yang pergi sekali lagi. Laura jatuh berlutut di aspal halaman rumah sakit. Usahanya sia-sia, ia tahu sesuatu buruk telah terjadi dengan sahabatnya.