15

1402 Kata
Masih dengan menggenggam kotak cincin itu, Liena melangkah melalui koridor markas kepolisian untuk mencari tahu siapa pelaku di balik kematian kekasihnya. Saat ia membuka pintu kayu bernomor tiga, ia menemukan sosok pria berkemeja putih tengah duduk di hadapan seorang pria yang sibuk dengan pulpen dan kertasnya. Liena menghampiri mereka. Wajahnya yang basah dan pakaiannya yang berantakan tidak menghentikan langkahnya untuk tetap maju. Pria berseragam polisi itu mendongak, ia menatap bingung ke arah Liena. Tapi tidak dengan pria berkemeja putih itu, ekspresinya masih tetap sama. "Kau pelaku dibalik kematian, Aksa?" Pria itu menoleh, kepalanya menggeleng dua kali. Liena merasa pria ini benar-benar tidak bertanggung jawab atas kematian kekasihnya. Ia melayangkan sebuah tamparan di pipi kanan terluka pria itu hingga pria itu merintih kesakitan. Tapi dia tetap diam. Polisi itu segera berdiri, ia memegang tangan Liena. "Jangan berlaku kasar, Nona. Dia tidak bersalah." Liena menoleh dengan pandangan mata sinis. Tidak bersalah, katanya? Lelucon macam apa ini. "Tidak bersalah?" Liena tertawa sarkatis. "Dokter mengidentifikasi kalau kekasihku tewas karena tabrakan itu. Aku juga melihat adanya mobil hitam yang bagian depannya rusak seperti tertabrak sesuatu. Apa itu mobilmu?" Pria itu terdiam. Membuat Liena yang sudah diliputi rasa amarah semakin ingin memukulnya. "Jawab aku!" Polisi itu menenangkannya dan menyuruhnya untuk mundur agar ia tidak lagi melakukan tindakan kasar. "Itu mobilku," jawabnya rendah. Liena membulatkan matanya. Ia mengulurkan tangannya untuk menampar sekali lagi pipi pria itu. Namun, polisi yang berjaga berhasil membawanya pergi keluar dan mengunci pintunya. Tidak, Liena tidak akan menyerah sampai di sini saja. Hanya berpegangan pada kotak cincin milik Aksa, ia bisa merasa lebih kuat. . . Dua hari telah berlalu. Bahkan lagi-lagi pihak kepolisian memberikannya jawaban yang sama. Kalau Achazia Kalandra bukanlah pelakunya. Pria itu tidak bersalah atas kematiannya. Tapi bukti yang diberikan sang dokter padanya berkata lain. Liena yakin, ada unsur lain yang Achazia Kalandra lakukan untuk membuat polisi itu menutup kasusnya. Dan di sinilah dirinya sekarang. Setelah pemakaman Aksa berakhir kemarin, Liena tidak bisa tidur nyenyak. Ia selalu terbayang wajah penuh darah kekasihnya juga mobil yang hangus terbakar milik Aksa. Liena memukul pagar hitam yang berdiri kokoh menyembunyikan mansion di dalamnya. Ia yakin sekali kalau Achazia Kalandra bukanlah orang sembarangan. Pria itu pasti terlahir dari keluarga kaya. "Buka pintunya!" Liena berteriak nyaring. Pagar hitam itu sedikit membuka, menampilkan sesosok pria kurus dengan topi cokelatnya. "Dimana Achazia Kalandra?" Pria itu terdiam. Liena merasa amarah semakin memuncak kala pria itu dengan berani menutup pintu pagarnya. Dengan cepat, ia menahannya dan berusaha mendorong pintu itu agar kembali terbuka. "Aku harus bertemu dengan Achazia Kalandra," Liena masuk ke dalam. Saat ia berhasil melewati pintu pagar itu, ia menemukan halaman bunga yang besar di depan sebuah mansion megah yang tidak jauh berbeda dengan istana menurutnya. Tapi itu tidak memudarkan niatnya untuk datang meminta pertanggung jawaban dari pria itu. "Aku mencari Achazia Kalandra. Dimana dia?" teriak Liena keras. Seorang wanita berambut hitam datang dari sebelah kiri taman. Pakaiannya yang terbuat dari sutra itu tampak menawan saat ia berlari menghampiri Liena. "Kau siapa?" tanyanya. Liena mengabaikan wanita itu dan tetap berjalan menuju pintu utama mansion. Wanita itu berlari mengejarnya untuk menghentikan langkahnya. Liena yang masih diliputi rasa marah tidak sengaja mendorong wanita itu hingga ia terjatuh dan berteriak. Pintu utama terbuka, Liena menoleh dan mendapati pria yang dicarinya tengah berdiri tidak jauh dari tempatnya berdiri saat ini. Wajah pria itu terkejut saat melihatnya dan berubah khawatir saat ia memandang wanita yang tengah duduk mengusap luka lecet di sikunya. "Kau harus ikut denganku," Liena maju beberapa langkah dan pria itu memundurkan langkahnya hingga ia hampir masuk ke dalam mansionnya. Liena yang melihatnya hanya bisa menjambak rambutnya frustrasi. Ia sekuat mungkin berusaha untuk tidak menangis. "Demi Tuhan, kenapa kau tidak mau jujur pada mereka kalau kau yang membuat kekasihku meninggal?" Teriaknya. Kedua oniksnya membulat. Kalandra menggeleng beberapa kali tanpa membuka suaranya. Lalu, datang dua pria lain dari dalam mansion. Salah satunya berwajah tegas dan datar. Liena sempat merasa takut dengan tatapan pria itu. Namun, ia datang untuk mencari keadilan. Ia tidak boleh kalah. "Aku tahu, Achazia Kalandra bukanlah apa-apa tanpa nama Achazia yang menjadi marga kebanggaannya. Kau bukan apa-apa," Liena menunjuk pria berkaus biru itu dengan telunjuknya. Pandangan matanya yang penuh dengan kemarahan terlihat jelas. "Aku bersumpah, kau tidak akan pernah bahagia selamanya. Kau akan hidup dalam penderitaan untuk waktu yang lama." Liena menunduk, menyembunyikan kedua matanya yang mulai basah. "Kau menghilangkan nyawa seseorang. Itu tidak akan pernah bisa tertebus oleh apa pun. Bahkan kalau kau bisa memberikan seluruh hartamu pada polisi itu, kau tidak akan bahagia. Nyawa tidak bisa dibayar dengan apa pun." Kalandra terdiam di tempatnya. Dua pria berbadan besar memegang lengannya. Liena tidak lagi bisa memberontak karena tenaganya tidak bisa mengalahkan kekuatan dua pria itu. Pria yang Liena yakini adalah Ayah dari Achazia Kalandra memandangnya sinis. Liena tahu, dirinya tidak ada apa-apanya di sini. Ia tidak berarti apa-apa dengan segala apa yang dimiliki Achazia Kalandra. Ia seperti sampah di sini. Liena mundur selangkah demi selangkah sebelum ia berbalik pergi dan kembali menangis. Bayangan Aksa yang terlintas di dalam kepalanya membuat hatinya berdenyut perih. Liena tidak bisa bertahan tanpa pria itu. Ia tidak akan bisa. Pintu pagar itu tertutup sempurna. Liena hanya bisa diam memandang pintu hitam itu dengan pandangan mata yang basah. Kakinya yang terasa berat jika melangkah memaksanya untuk jatuh terduduk di depan pagar itu. Liena menunduk, ia menangis di sana. Ia gagal. Ia telah gagal. Tanpa Liena tahu, kalau Achazia Kalandra mendengar tangisannya dari balik pintu pagar yang tertutup. . . Satu minggu berlalu. Liena berharap waktu segera berlalu dan menghapus segala ingatannya dari semua ini. Ia berharap kalau ajal juga akan menjemputnya dan ia bisa bertemu dengan sang kekasih di sana. Ia tidak tahu bagaimana cara menjalani hidup tanpa ada Aksa di sampingnya. Ia sudah terbiasa selama ini. Sudah terbiasa bersamanya. Liena duduk di teras rumah dengan setangkai bunga tulip putih di tangannya. Ia memandang bunga tulip itu dengan pandangan terluka. Tulip adalah bunga kesukaan Aksa. Liena sengaja menanam bunga itu di halaman rumahnya agar Aksa merasa senang ketika pria itu datang berkunjung. Menghembuskan napas panjang, Liena menaruh bunga itu ke tempat semula dan menyiramnya dengan sedikit air yang ia bawa. Kondisi bunga tulip itu tidak berbeda jauh dengan dirinya, sama-sama menyedihkan. Saat Liena mendongak, ia menemukan Achazia Kalandra tengah berdiri memandangnya. Adanya plester di pelipisnya seakan menjawab segalanya. Pria itu juga terluka, tapi tidak separah yang Aksa alami. Liena hanya diam. Ia tidak berniat mengajak pria itu untuk masuk dan mereka akan berbicara. Liena memilih untuk mengangkat pot cokelat kecil miliknya dan akan menaruhnya di dalam rumah jika suara berat itu menghentikan langkahnya. "Bukan aku pelakunya. Aku bersumpah bukan aku yang membunuh kekasihmu." Liena berdiri diam di tempatnya. Ia berbalik, memandang pria itu dengan pandangan sinis. "Tidak ada gunanya kau berbicara seperti itu," balasnya. "Pulanglah. Mansion megahmu menunggu di rumah." "Sungguh, bukan aku pelakunya. Aku tidak pernah menghilangkan nyawa siapa pun." Genggaman Liena pada pot kecilnya menguat. Dengan napas tersengal ia kembali berbalik, melempar pot kecil itu ke arah Achazia Kalandra dan mengenai bahunya. "Bukankah kalimatku jelas, tadi? Aku mengusirmu pergi. Keluar dari rumahku!" Achazia Kalandra masih diam. "Kau tahu? Kau bukan pria dewasa. Umurmu tidak menggambarkan kelakuanmu," bisik Liena. "Kau bukan pria suci. Kau juga pernah melakukan kesalahan. Tapi bisakah kau mengerti bagaimana keadaanku?" Kalandra menunduk. Liena melangkah mendekati pria itu. Ia melayangkan satu pukulan ke bahunya dengan keras dan sebuah tamparan yang mendarat di pipi kirinya. "Kau pantas menerima lebih dari ini," lirih Liena. "Kau hanya pria bermental lemah yang berlindung di balik nama besar Achazia. Nama margamu. Kau bukan apa-apa jika kau terlahir dari kalangan seperti kami." Liena memandang pria itu tajam. Berbanding terbalik dengan tatapan mata pria itu. Tatapan mata penuh penyesalan. "Pergilah." Liena berbalik pergi dan mengabaikan pria itu. Ia melangkah masuk ke dalam rumah mungilnya dan menutup pintu setelah membantingnya. Terdengar bunyi pintu terkunci dan itu menjawab segalanya. Kalau, Achazia Kalandra tidak akan termaafkan. . . . . . . . . . . . . Liena turun dari kamarnya dan membawa kotak merah berbentuk hati di tangannya. Kalandra duduk diam di seberang sofa. Menunggu apa yang Liena katakan setelahnya. Wanita itu menaruh kotak itu di atas meja. Pandangan Kalandra turun pada kotak itu. Kotak yang ia tahu apa isinya. "Mereka menemukan ini di saku celananya saat mereka berusaha menyelamatkan nyawanya," lirih Liena. Kalandra memperhatikan kotak itu. Bergantian dengan wajah pilu Liena yang menatap kotak itu kosong. "Bertahun-tahun aku menyimpan piano itu di sana agar aku tidak lagi memainkannya. Agar aku tidak lagi melihatnya. Dan malam ini kau berhasil menemukannya, dan kau juga memainkannya." Pandangan mereka bertemu. Kalandra melihat kedua mata wanita itu kembali basah. "Ketakutanku selama ini menjadi nyata. Ketika aku memainkannya, seseorang yang kucintai pergi. Yang pertama adalah adikku," suara Liena tercekat setelahnya. "Dan yang kedua adalah Aksa." Liena kembali menunduk. Ia menyembunyikan wajahnya dengan kedua tangannya. Kalandra tahu, wanita itu kembali menangis. Dan ia tidak tahu, mengapa kedua matanya kembali basah ketika melihat wanita berhati emas itu menangis.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN