16

1054 Kata
"Ini salahku," Liena memulai percakapan setelah hampir dua puluh menit mereka terdiam. Di antara dirinya dan Kalandra tidak ada yang membuka percakapan. Dan setelah kejadian tadi, Liena menyadari satu hal; Kalandra rapuh akan sebuah pelukan. Kalandra menggeleng. "Jangan terlalu sering menyalahkan dirimu sendiri." "Aku berkata yang tidak baik padamu," uap karbondioksida keluar dari kedua lubang hidungnya. Liena merapatkan selimut yang membungkus tubuh kecilnya. "Seharusnya, aku tidak menyumpah. Itu tidak baik." Kalandra yang terdiam kali ini. Mungkin salah satu dari sekian banyak alasan, sumpah yang Liena ucapkan turut andil dalam lukanya. Tapi ia tidak berpikir jauh ke sana. "Aku harus tidur. Ini sudah malam," Liena membuka selimutnya. Ia bangun dari sofa kecilnya dan bergerak menuju tangga. "Kau juga perlu istirahat. Selamat malam." Dan meninggalkan kotak cincinnya di atas meja. Tepat di hadapan Achazia Kalandra yang duduk melamun memandangnya. Kalandra diam menatap kotak itu. Tanpa ia perlu membukanya, ia tahu apa isinya. Sebuah cincin. Itu tidak diragukan lagi. Aksa menyimpan ini untuk Liena saat malam mengerikan itu. Malam dimana Aksa pergi meninggalkannya. Kedua matanya terpejam. Kalandra pernah mengalaminya. Saat ia memberikan sebuah kalung perak untuk Hana dan wanita itu tampak terkejut. Tetapi percuma karena Hana menolaknya dan memilih untuk mengembalikan kalung itu padanya. Dan Kalandra tahu, kalau kalung itu tidak berarti apa-apa untuknya. Ia memberikan kalung itu pada orang lain dan menganggap kalau itu adalah hadiah untuknya. Sakit. Tentu saja. Ia merasa terluka. Tapi apa daya, ia tidak bisa berbuat apa-apa. Kalandra memandang tangga kecil berbahan kayu yang menghubungkan antara ruang tengah dengan kamar Liena. Ia tahu harus berbuat apa sekarang. . . Liena meninggalkan beberapa lembar uang di atas meja makan dan sepiring pasta juga kopi panas yang ada di teko. Lampu rumah belakangnya masih menyala dan ia yakin Kalandra ada di dalam masih tertidur pulas. Ia tidak bisa membangunkan pria itu untuk sarapan bersama. Jadi, yang ia lakukan adalah pergi meninggalkan pria itu dengan sarapan yang sudah ia buat dan beberapa uang untuk kebutuhannya. Mengambil mantel dan kunci mobilnya, Liena pergi keluar rumah tanpa memberitahu Kalandra kemana dia pergi. Mobil hitamnya meluncur bebas keluar dari halaman rumah dan melaju menuju jalan besar. Ia harus pergi ke suatu tempat. Kalandra membuka pintu dapur rumah utama, ia menemukan sepiring pasta dengan teko kopi di atas meja dan juga beberapa lembar uang yang diselipkan Liena di dekat piring kaca. Kalandra mendekati meja dan memandang pasta miliknya datar. Ia tidak bisa tidur semalaman. Waktunya ia habiskan untuk melamun memandang langit luas di atas sana. Entah apa yang ia pikirkan, ia hanya berpikir sejauh mana ia bisa membuat wanita itu kerepotan dengan adanya dirinya. Di zaman ini, mencari pekerjaan juga bukanlah perkara yang mudah. Kalandra keluar melalui pintu utama, ia menemukan adanya koran yang tergeletak tidak jauh dari kotak koran di depan halaman. Ia mengambilnya, membacanya selama ia melangkah masuk ke dalam. Mencari halaman dimana biasanya terdapat iklan tentang lowongan kerja yang membutuhkan. Ia bisa menjadi apa pun, asalkan uang yang ia dapatkan berasal dari kerja kerasnya sendiri untuk mengganti kebaikan wanita itu. Ia akan berusaha. Ia akan menggantinya dengan cara lain walaupun ia tahu kalau Liena akan menolaknya. . . "Bisakah aku pergi ke ruang dokumen? Aku butuh sesuatu yang penting di sana," Liena berbicara dengan seorang resepsionis rumah sakit yang bertugas. Wanita dengan pakaian serba putihnya itu mengangguk singkat dan memberikan nomor ruangan serta petugas yang berjaga. "Liena?" Liena menoleh, ia tersenyum ketika mendapati Shakila tengah berjalan di koridor. "Apa yang kaulakukan?" Liena memberikan Shakila secarik kertas yang dibawanya dari resepsionis tadi. "Aku harus pergi mencari sesuatu yang penting, Shakila." Shakila tampak terkejut ketika membaca nomor ruangan itu. Kedua matanya melebar. "Apakah ini tentang Aksa?" Liena terdiam sesaat. Tetapi kemudian kepala merah mudanya mengangguk. "Siapa dokter yang menanganinya waktu lalu? Apa kau masih ingat?" tanya Shakila. Liena mengangguk. "Kabuto. Tapi itu tiga tahun lalu. Apa dia masih ingat?" Shakila mendesah berat. "Aku akan membantumu mencari dokumen itu dan memberikannya pada Kabuto untuk menjelaskannya. Liena, apa ini hal yang sangat penting sampai kau harus membuka masalah ini lagi?" Liena berjalan mengikuti Shakila yang melangkah lebih dulu. Langkah mereka beriringan saat ini. Liena terdiam, antara harus menjawab pertanyaan Shakila atau memilih mengabaikannya. Tapi ia tidak bisa. Shakila adalah rekan kerjanya selama ini. Mereka saling membantu dan terbuka satu sama lain. "Ini rumit," helaan napas Liena terdengar berat. "Aku menuduh seseorang karena ini." Shakila menoleh dengan wajah terkejut. "Bukankah kematian Aksa jelas karena unsur kecelakaan?" "Tidak," Liena mengusap dahinya. "Aksa tewas karena hal lain. Bukan karena kecelakaan itu." Shakila terdiam. Ia berbelok ke arah lorong kedua dari sayap kanan rumah sakit. Liena mengikutinya, sepanjang jalan dadanya berdebar. Ia takut kalau selama ini Aksa menyembunyikan sesuatu darinya. Liena tidak bisa tidur semalam suntuk karena memikirkannya. Memikirkan semua apa yang Kalandra katakan padanya mengenai kejadian malam itu. Malam dimana semuanya berawal. Shakila membuka pintu ruangan bernomor sepuluh. Ruangan ini khusus untuk menyimpan data-data rahasia milik rumah sakit. Liena pernah bekerja disini selama dua tahun, ia cukup mengenal baik seluruh staf dan pegawai rumah sakit. Jadi, ini tidaklah sulit untuknya. "Kau cari di sebelah kanan, aku akan mencarinya di sebelah kiri," Liena memberi instruksi pada Shakila dan wanita itu segera mengangguk melaksanakan tugasnya. Liena pergi ke rak-rak dokumen yang tersusun rapi di setiap sudut. Mencarinya satu demi satu dibantu dengan layar ponselnya yang menyala. Shakila juga sibuk mencari dokumen yang dicarinya. "Aku menemukannya, Liena. Disini tertulis pasien bernama Savian Aksa." Liena menghela napas leganya, ia segera pergi menyusul Shakila ke tempat yang lebih terang guna melihat lebih jelas lagi keterangan yang ada di halaman depan dokumen. "Syukurlah," Liena menerima dokumen dari tangan Shakila setelah ia menutup pintunya. Shakila mengajak Liena pergi ke tempat yang lebih sepi untuk membaca isi dokumen itu. Liena membacanya. Kata demi kata yang tertulis di sana terasa seperti membelah dadanya perlahan-lahan. Kedua matanya mulai basah. Ia merasa begitu bodoh karena menutup mata dari segalanya. Dugaan sementara sang dokter dan perawat itu berhasil membuatnya gelap mata dan menimpakan semua kesalahan pada Achazia Kalandra. Liena menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Tubuhnya bergetar hebat seiring kalimat terakhir yang tertulis membuat tubuhnya mati rasa saat itu juga. Liena sudah menduganya, ia menduga kalau Aksa menyembunyikan hal lain selama ini darinya. Savian Aksa, memiliki satu ginjal kanan yang tersisa dan teridentifikasi terkena komplikasi. Biasanya, pemilik satu ginjal rentan terhadap seluruh penyakit berbahaya yang nyawa menjadi taruhannya. Dan Aksa mengalaminya. Isakan Liena tidak bisa lagi dibendung. Ia menutup dokumen itu dan menaruhnya di sisi kursi yang kosong. Shakila datang dari balik punggungnya. Wajah wanita itu terlihat sedih, ia mengulurkan kedua tangannya untuk mengusap bahu Liena bersamaan dengan pelukannya untuk menghibur temannya. Membiarkan Liena menangis di bahunya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN