17

2070 Kata
Hanya bermodalkan pakaian bersih yang Liena belikan padanya dan juga beberapa kemampuan yang ia miliki, Kalandra memberanikan diri untuk pergi ke sebuah kantor berlabel percetakan yang ada di pusat kota. Kantor itu memiliki cabang di beberapa daerah lain yang juga sukses. Kalandra berniat mencoba mencari tahu mengenai lowongan pekerjaan seperti yang tertulis di koran terbitan pagi tadi yang ia baca. Kalandra masuk ke dalam, ia memandang lobi kantor yang terlihat ramai dengan para pegawainya. Sibuk dengan urusan masing-masing. Kalandra mendekat ke arah resepsionis yang berjaga. "Selamat pagi, aku Achazia Kalandra. Bisakah aku mendapat informasi tentang lowongan pekerjaan yang ada?" Resepsionis itu terkejut dengan kalimat pembuka yang Kalandra ucapkan. Terlihat sekali dari wajahnya yang tiba-tiba menampilkan ekspresi lain yang tidak biasa. Kalandra pernah bekerja di perusahaan milik keluarganya, ia tahu benar masalah ini. "Kami membutuhkan satu orang pekerja di bidang tim kreatif untuk cabang Timur. Lebih lengkapnya, Anda bisa membawa brosur ini dan kembali lagi nanti." Kalandra menerima brosur itu dan mengucapkan terima kasih setelah ia membaca singkat isinya. Kalandra berbalik pergi keluar dari lobi dan hampir menabrak bahu seorang wanita yang tengah sibuk dengan ponselnya. "Kau?" Kalandra mengerutkan dahinya. Ia pernah mengenal wanita ini. Tapi dimana? "Kau mengenalku," suaranya berubah datar. "Aku Savari Laura." Ah, ya. "Aku tahu," balasnya datar. Laura melirik brosur yang Kalandra bawa. Tatapan matanya beralih pada wajah pria itu. "Kau mencoba melamar pekerjaan?" Kalandra mengangguk. "Kau punya kemampuan yang membuat mereka tertarik?" Kalandra mengangkat bahunya. "Aku seorang arsitek." Alis Laura terangkat. "Benarkah kau seorang arsitek?" Kalandra mengangkat bahunya. Kepala pirang Laura mengangguk singkat. "Oh, aku paham," lalu, Laura berjalan melewati pria itu untuk masuk ke dalam kantor. Tidak ada salam perpisahan di antara mereka. Kalandra menghela napasnya dan berjalan keluar gedung untuk mencari udara segar. Ia juga perlu mencari lowongan pekerjaan lain. Ia tidak boleh bergantung pada satu perusahaan saja. Sosok Kalandra menghilang di balik ramainya teras kantor oleh para pegawai dan tamu yang ada. Baru empat langkah berjalan, Laura memutar tubuhnya dan menatap punggung Achazia Kalandra yang perlahan mulai menjauh. Wajahnya tertunduk sesaat, sempat terlintas sebuah ide di dalam kepalanya. Tetapi ia ragu, haruskah ia membantunya atau membiarkannya saja? . . Liena menutup wajahnya yang basah setelah sepuluh menit berlalu tangisnya tidak kunjung reda. Malah semakin menjadi. Beruntung, suasana pemakaman yang sepi membuatnya merasa lebih aman karena tidak ada seorang pun yang akan melihatnya menangis di atas makam kekasihnya. "Kenapa kaulakukan ini, Aksa?" Bahu Liena bergetar hebat. Ia mencabut rumput liar yang tumbuh di atas gundukan tanah sang kekasih kasar. Hatinya terasa sakit seperti dibelah pisau yang amat tajam. Kebohongan Aksa bertahun-tahun lalu cukup membuatnya merasa menderita selama ini karena menyalahkan orang lain atas kematiannya. "Ini salahku, Aksa," Liena menangis memeluk nisan kekasihnya. "Aku menutup mataku dengan menyalahkan Achazia Kalandra atas kematianmu. Dia tidak bersalah apa pun, dia tidak bersalah karena dirimu." Liena memukul tanah di depannya. Membuat telapak tangannya kotor karena terkena tanah merah itu. Tetapi ia tidak peduli. "Aku benar-benar bodoh," Liena kembali menangis. "Aku tidak seharusnya berkata seperti itu. Tidak seharusnya aku menyumpahnya." Kedua tangannya terkepal erat. Liena menatap batu nisan bertuliskan nama Savian Aksa dengan pandangannya yang memburam. "Dan sekarang aku tidak tahu bagaimana caranya meminta maaf setelah apa yang terjadi di antara kami berdua." Tangan kanannya bergerak menghapus jejak air mata yang menempel di wajahnya. Perlahan-lahan tangisnya terhenti dan hanya menyisakan isakan kecil yang masih lolos dari bibirnya. Liena mengulurkan tangan kanannya ke batu nisan sang kekasih, mengusapnya lembut di sana. "Bertahun-tahun juga kau tersiksa, Aksa. Bertahun-tahun kau mencoba kuat di depanku, tapi nyatanya?" Liena memaksakan senyumnya. "Kau bisa melakukannya. Dan sifatmu itu menurun padaku, kau tahu? Aku mencoba kuat di depan mereka semua. Di depan kedua orangtuaku, di depan semua orang yang melihatku. Apa aku berhasil?" Hening. Hanya hembusan angin yang berasal dari pepohonan rimbun yang menjawabnya. Liena mengusap wajahnya sekali lagi sebelum ia bangkit berdiri dan mulai menjauhi area pemakaman. Liena merapikan pakaiannya yang sedikit kusut dan juga rambutnya. Ia memperbaikinya seolah tidak terjadi apa-apa. Achazia Kalandra melangkah memasuki area pemakaman untuk mengunjungi makam kedua orang yang dicintainya. Saat ia melangkah lebih jauh lagi, ia melihat Liena sedang berjalan dengan wajahnya yang tertunduk menatap tanah berumput di bawahnya. Kalandra menajamkan penglihatannya, melihat apakah itu benar-benar Liena yang ia kenal? Tapi benar. Ia berpikir kalau tidak ada wanita seunik dirinya. Tidak ada wanita dengan warna rambut senada dengan bunga kebanggaan Jepang yang indah dan identik dengan warna merah muda. Hanya wanita itu seorang. "Liena?" Liena mendongak, kedua matanya melebar saat ia melihat siapa yang menyapanya. "Kalandra?" Kedua irisnya bergulir memandang sekitarnya. Kalandra hanya diam. Begitu juga dengan Liena yang memilih untuk tidak banyak bicara hari ini. Ia hanya memberikan Kalandra sebuah senyum samar dan berjalan pergi melewati pria itu tanpa satu kata pun yang terucap. Kalandra menunduk sesaat, ia melirik Liena dari ekor matanya dan mendapati wanita it uterus berjalan maju tanpa lagi menoleh ke belakang. Kalandra menghembuskan napas panjang, Liena memiliki beban yang sulit, ia tahu ia tidak bisa membantunya. Kalandra berjalan melewati beberapa gundukan tanah di bawahnya, ia berjalan lurus ke depan dan mendapati ada seikat bunga yang ditaruh di depan batu nisan. Liena menoleh, mendapati Kalandra tengah berjalan menuju sebuah makam yang ia yakini adalah makam sang kakak, Achazia Mirza atau wanita yang dicintainya, Hana. Liena tidak tahu itu, ia memperhatikan kemana langkah Kalandra pergi sebelum akhirnya ia memutuskan untuk kembali melanjutkan langkahnya. Kalandra mendekat ke arah makam itu. Kedua oniksnya seketika terbuka lebar saat melihat ukiran nama yang tertulis di sana. Savian Aksa. Sungguh, ia benar-benar tidak tahu kalau Savian Aksa dimakamkan di tempat yang sama dengan Mirza dan Hana. Hanya beberapa langkah dari makam Mirza dan dijaraki dengan empat makam lainnya, di sinilah jasad Savian Aksa dikuburkan dengan damai. Kalandra memandang batu nisan itu lama. Ia tidak bisa berkata apa pun selain tetap diam dan berdoa di dalam hati agar Aksa bahagia di alam sana. Di alam yang berbeda dengan dirinya. . . "Liena!" Liena menoleh dengan wajah bingung saat Laura melambaikan tangannya dan berlari mengejarnya sampai ke halaman rumah. "Laura, ada apa? Kenapa kau kembali lebih awal?" Laura hanya tersenyum. "Aku segera pulang karena pekerjaanku di tunda sampai bulan depan. Sia-sia saja, Liena. Aku merasa kesal sekali," jelas Laura dengan wajah cemberut. Liena tersenyum kecil. Ia menarik tangan Laura masuk ke dalam rumahnya dan membiarkan sahabatnya bersantai di sofa mungilnya. Liena pergi ke dapur untuk membuatkan minuman dan menyiapkan kue kering untuk mereka berdua. "Apa kau baik-baik saja?" Helaan napas panjang terdengar, Liena mengambil tempat untuknya duduk di seberang sofa yang lain. "Tidak." Wajah Laura berubah sendu. "Ceritakan padaku, Liena." "Bukan Kalandra pelakunya," bisik Liena dengan napas tercekat. "Bukan pria itu yang membunuh Aksa." Kedua manik biru Laura melebar. "Malam itu Achazia Kalandra memang ada di sana, di tempat kejadian yang sama saat Aksa tewas. Kalandra menceritakan segalanya padaku, saat dia pergi ke luar rumah untuk mencari udara segar dia melihat mobil Aksa melaju kencang dan melawan arah hampir menabraknya," wajah Liena tertunduk. Ia tidak tahu mengapa hatinya terasa sakit sekali ketika membicarakan masalah ini lagi. "Kalandra membanting kemudinya agar ia tidak menabrak mobil yang Aksa kendarai. Dan akibatnya, pria itu menabrak sebuah patung di pinggir jalan hingga bagian depan mobilnya rusak seolah-olah tertabrak sesuatu." "Dan Aksa," kedua mata Liena kembali basah. Ia menatap Laura yang duduk dan menatapnya terluka. "Aksa sakit, Laura. Kau tahu? Aksa punya komplikasi ginjal. Aku tidak tahu kalau dia menyembunyikan ini bertahun-tahun dariku. Ginjalnya hanya tersisa satu, dan itu membuatnya rentan akan penyakit." Air mata jatuh di pipi kanannya. "Aku dengan bodohnya menutup mata dan telingaku dari semua orang. Aku tidak percaya dengan apa yang polisi itu katakan kalau Kalandra tidak bersalah, aku menganggap kalau pria itu membayar polisi itu untuk menutup kasusnya," isakannya semakin jelas. "Aku menyalahkannya atas lukaku sendiri." Liena menutup wajahnya yang memerah. "Dan aku juga tidak mau mendengarkan penjelasan pihak rumah sakit mengenai penyelidikan akhir dari mayat Aksa. Aku sudah berpikir kalau semua yang terjadi adalah akibat kecelakaan itu." Laura menutup mulutnya yang terbuka. Sungguh, ini sama seperti tiga tahun lalu. Dimana semuanya terasa berputar. "Liena …" panggilnya. "Aku memikirkan banyak hal semalam," Liena kembali bersuara. "Aksa sekarat di tengah perjalanan dan dia tidak sengaja menginjak pedal gas mobilnya hingga mobil yang ia kendarai kehilangan kendali dan menabrak sesuatu dengan keras." Laura hanya diam. Ia menjadi pendengar saat ini. "Aku tidak tahu. Aku tidak tahu," Liena memegang kepalanya dan menggeleng-geleng frustrasi. Kedua tangannya ia gunakan untuk menjambak rambutnya sendiri dengan keras. Laura segera menghentikan aksi sahabatnya sebelum Liena jauh menyakiti dirinya sendiri. "Liena, ini bukan salahmu," Laura menggenggam tangan Liena yang terkepal. "Kematian Aksa, luka yang dialami Achazia Kalandra bukan karena dirimu." Liena memandang wajah Laura yang memerah. Air mata belum berhenti menetes dari kedua matanya. "Secara tidak langsung, luka yang saat ini Kalandra alami adalah karena diriku, Laura," Liena tersenyum pahit. "Aku menyumpah padanya. Aku bersumpah kalau dia akan menderita selamanya. Bukankah ini bukti yang nyata?" Laura yang terdiam saat ini. Pikirannya kembali mundur beberapa jam yang lalu saat pertemuannya dengan Achazia Kalandra di sebuah kantor percetakan. "Liena, jangan menangis lagi," Laura memberikan sekotak tisu pada sahabatnya. "Kau harus kuat. Kau ingat apa yang Aksa katakan padamu? Apa pun yang terjadi, tetaplah kuat. Tetaplah menjadi wanita yang tegar." Liena mengusap wajahnya. Ia masih terisak, tapi perlahan-lahan air matanya mulai berhenti. Napasnya tampak lebih teratur dari sebelumnya. "Terima kasih, Laura." Liena mengambil tisu dari kotak itu dan mengusapnya di wajahnya dengan lembut. Terutama di bagian mata. Ia tidak tahu bagaimana keadaannya saat ini. Memburuk? Atau lebih dari itu? Cukup banyak air mata yang ia keluarkan hari ini. Liena yakin matanya berkata lebih dari itu. Laura mengusap punggung Liena lembut sebelum ia kembali ke tempat duduknya. "Liena, apa kau tahu pekerjaan Kalandra?" Liena mengerutkan dahinya, ia menggeleng kemudian. Laura mengangguk singkat. "Aku paham. Pria itu belum mau terbuka padamu." "Memang ada apa?" Wajah Laura tampak serius. "Saat aku pergi ke sebuah percetakan, aku melihatnya di lobi kantor sedang membawa brosur tentang lowongan pekerjaan." Wajah Liena berubah terkejut. "Benarkah?" Kepala Laura mengangguk mantap. "Aku yakin sekali dia mencoba mencari pekerjaan baru," dahinya sedikit berkerut memikirkan sesuatu. "Dan saat aku bertanya padanya apa kemampuannya, dia bilang dia seorang arsitek." Liena terdiam. Ia terlihat sedang memikirkan sesuatu. "Aku tidak tahu dengan jelas, Laura. Aku tidak pernah melihatnya menggambar atau apa pun." Laura tampak berpikir. "Aku melihat bagian personalia sedang menyeleksi beberapa kandidat untuk karyawan mereka. Jika, Kalandra benar-benar berminat di sana, mungkin aku bisa membantunya." Liena tampak bingung. "Kau kenal dekat dengan pegawai kantor itu?" Laura mengangguk, sedikit ragu. "Tidak juga sebenarnya, hanya aku kenal beberapa orang penting di sana. Mungkin aku bisa membantunya." Tetapi kemudian wajah Laura berubah serius. "Tapi, Liena, Kalandra punya reputasi yang buruk setelah majalah itu keluar. Dan juga pernyataan yang diberikan Achazia Matteo beberapa waktu lalu. Itu sedikit sulit." Liena menghela napas panjang. "Kau benar, Laura," wajahnya berubah sedih seketika. "Ya, Tuhan, apa yang harus kulakukan untuknya," gumamnya rendah. . . Pukul satu malam. Sungguh, Kalandra merasa dia kelewatan. Dia pulang larut dan menghabiskan waktu untuk berkeliling mencari brosur dan beberapa perusahaan yang dirasa bisa membantunya. Hanya beberapa perusahaan yang masih membuka lowongan, sisanya? Mereka sudah menemukan orang yang mereka cari. Kalandra merogoh saku celananya dan menemukan beberapa lembar uang yang tersisa. Uang yang Liena berikan sengaja ia bawa tetapi tidak ia gunakan. Ia tidak akan membuat wanita itu kesusahan karena dirinya. Liena juga membutuhkan uang, dia tidak bisa semudah itu memberikan uangnya padanya. "Ini hanya bisa sampai besok," Kalandra bergumam setelah menghitung uang yang tersisa. Uang yang ada ia habiskan untuk keperluan membayar ongkos bis dan makan siangnya. Memasukkannya kembali ke dalam saku celananya, Kalandra melangkah masuk ke dalam rumah mungil yang Liena tempati. Saat ia membuka pintu, ia menemukan Liena sedang berbaring di atas sofa yang kecil hanya berselimutkan jaket miliknya. Kalandra menutup pintu dan menguncinya. Sebisa mungkin tidak menimbulkan suara yang bisa membangunkan Liena. Kalandra mendekat, melihat apakah wanita itu tertidur. Dan dugaannya benar, Liena tertidur pulas. Menghela napas panjang, Kalandra mendudukan dirinya di atas meja tepat di hadapan wanita itu. Pandangan matanya jatuh ke wajah wanita itu. Kedua kelopak matanya tampak membengkak. Kalandra yakin, wanita ini baru saja selesai menangis. Lama ia memandangnya. Jauh ke dalam wajah yang tampak damai ketika tertidur itu. Liena seperti tidak memiliki beban berat di pundaknya. Wanita itu tampak lebih tenang, sama seperti pembawaannya saat mereka bertemu untuk kedua kalinya. Kalandra menoleh ke arah perapian. Mendapati kalau cuaca di malam hari lebih dingin dari siang hari. Ia bergerak ke arah perapian untuk menyalakan api dan menjaga ruangan agar tetap hangat. Tangannya masuk ke dalam saku celananya, ia mengambil beberapa lembar uang yang Liena selipkan untuknya pagi tadi. Ia menaruhnya di atas meja, bermaksud mengembalikannya. Kalandra pergi ke rumah belakang, mengambil selimut yang ada di kamarnya untuk Liena yang mulai meringkuk kedinginan. Setelah menyelimutinya, Kalandra beranjak pergi dari rumah utama dan pergi ke rumah belakang. Ia membuka pintu kamarnya, duduk di sana dalam diam sembari memandang jauh ke luar jendela yang masih terbuka. Pandangannya menerawang, ia memikirkan banyak hal tentang hidupnya dan bagaimana masa depannya nanti. Bisakah ia terus menggantungkan hidupnya pada wanita itu?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN