"Selamat pagi."
Kalandra menoleh dengan pandangan waspada saat Liena datang dengan senyum lebarnya. Wanita itu sedang membawa senampan berisi kue kering yang masih baru dikeluarkan dari pemanggang. Tampak berbinar dan cukup baik saat ini. Saat dia terpaku, menatap sosoknya dalam diam.
"Apa yang kaulakukan?" tanya Kalandra.
Liena melirik kue yang dibawanya. "Aku membuat kue. Laura bilang, kue buatanku lumayan. Jadi, aku membuatnya untuknya dan juga untukmu," Liena berdeham di akhir kalimatnya. "Maksudku, kalau kau mau mencobanya, tentu saja. Kau bisa mengambil satu bagian ini untukmu sendiri."
Kalandra tersenyum samar. Ia mengangguk singkat lalu pergi ke kamar kecil untuk mencuci mukanya.
"Apa air di rumah belakang tidak menyala?" tanya Liena dari balik pintu kamar mandi.
Kalandra menggeleng. "Ada gangguan dari pipanya, kurasa," ia menjawab santai setelah menggosok gigi.
Liena mengangguk mengerti. Ia mulai menyusun beberapa kue kering itu di dalam toples plastik dan beberapa ia taruh di atas piring.
"Aku akan menghubungi tukang reparasi air nanti," balas Liena setelah Kalandra keluar dari dalam kamar mandi dengan keadaan lebih segar. "Terkadang beberapa kali air mati dan tersendat. Mesin sepertinya cukup tua dan tidak lagi seprima dulu. Biasanya tukang reparasi akan memeriksa."
Liena menghentikan kegiatannya tiba-tiba. Ia menatap Kalandra setelah pria itu menarik kursinya untuk duduk. "Kau pulang jam berapa semalam?"
Oniksnya itu beralih menatapnya. Liena sedang memasang wajah serius ketika pandangan mereka bertemu.
"Jam sebelas," dustanya.
Liena hanya mengangguk setelah bergumam singkat. Ia mendorong cangkir dan teko berisikan kopi panas di depan Kalandra. "Minumlah sesuatu. Semalam cuaca sangat dingin. Kau pasti kedinginan. Aku pikir semalam hujan, ternyata tidak."
Kalandra mengangkat bahunya. "Tidak terlalu."
Liena hanya tertawa rendah. Saat ia selesai dengan kuenya, ia pergi ke bagian laci di dekat televisi. Mengambil sesuatu dari dalam sana dan menaruhnya tepat di hadapan Kalandra yang memandangnya bingung.
Liena tersenyum saat oniks itu menatapnya tak mengerti. "Pakailah mobilku jika kau punya urusan di luar," katanya. Liena kembali duduk di tempatnya. "Aku tidak pergi kemana-mana hari ini. Aku akan dirumah. Seharian aku ingin menikmati waktu di sini. Kalau kau punya urusan, pakai mobilku. Jangan sungkan. Santai saja."
"Kau tidak bekerja?"
Liena menggeleng. "Aku punya cuti bulanan selama tiga hari. Aku harus memanfaatkannya dengan baik. Jarang sekali aku mengambil libur. Biasanya mencari pekerjaan lain dengan membantu orang di rumah sakit. Apa pun."
Kalandra memandang kunci mobil itu bergantian dengan wajah Liena.
"Kau bisa mengendarainya, kan? Aku hanya ingin memastikan kalau mobilku pulang dalam keadaan baik-baik saja," katanya sembari tertawa. Bermaksud menggoda pria itu, dan sepertinya Kalandra benar-benar tidak memiliki selera humor yang baik.
Kalandra ikut tersenyum. Ia mengambil kunci mobil itu dan menyimpannya di dalam saku celananya. "Aku akan membeli bensinnya nanti."
Sudut bibirnya tertarik, Liena tersenyum miring. "Aku baru mengisinya kemarin. Kau tidak perlu khawatir. Mobilku sangat irit jika kau membicarakan bahan bakarnya."
Kalandra hanya diam. Ia memandang Liena yang kini memilih sibuk dengan kuenya. Seolah tidak terjadi apa-apa di antara mereka. Setidaknya, Kalandra bisa bernapas lega sekarang.
.
.
Bunyi stiletto milik Savari Laura bergema di sepanjang lantai lobi yang cukup sepi. Hari ini ia punya janji untuk mengambil contoh hasil cetakan produk terbarunya. Pihak percetakan sanggup menyelesaikan pekerjaannya hanya dengan waktu dua hari.
Saat Laura berbelok ke arah lift, ia tidak sengaja melihat Kalandra sedang duduk menunggu seseorang. Dahinya berkerut bingung, untuk apa pria itu di sini?
"Oh, Laura!"
Laura menoleh ketika seseorang memanggil namanya. Ia tersenyum ketika menemukan manajer personalia menyapanya.
"Hai, Julian," sapa Laura balik. Ia tersenyum ketika melihat pakaian rapi pria itu. "Kau ingin bekerja atau berkencan dengan salah satu karyawanmu?" goda Laura yang diberi delikan tajam Julian.
"Direktur utama akan datang berkunjung hari ini. Aku harus tampil maksimal menyambutnya," jawabnya.
Laura mengangguk mengerti.
Julian mengucapkan salam perpisahan dan hendak pergi ke dalam lift sebelum suara Laura menghentikannya.
"Apa lowongan pekerjaan itu masih dibuka?" tanya Laura.
Julian tampak berpikir. "Aku masih menyeleksi beberapa kandidat yang cocok, belum benar-benar pasti yang jelas," jawabnya. "Ada apa?"
Laura terdiam. Ia melirik bangku dimana Kalandra duduk tadi. Tapi pria itu sudah tidak ada di sana. Kalandra sudah pergi.
"Aku punya teman yang sedang mencari pekerjaan. Bisakah kau membantunya?"
Alis Julian terangkat. "Siapa?"
"Kau akan tahu nanti," balas Laura. Kemudian, ia kembali bersuara. "Dia seorang arsitek. Jika, kau tahu dia, kau tidak akan menolaknya."
Julian tertawa. "Apakah dia terkenal?"
"Untuk kalangan kalian dia terkenal," jawab Laura. Ia tersenyum setelah menepuk bahu Julian.
Julian tampak berpikir sejenak. Ia dan Laura sudah kenal cukup lama. Tidak terlalu dekat memang, hanya sebatas teman formal biasa. Tetapi ia tahu kalau Laura tidak pernah berbohong. "Ya, baiklah. Kau bisa memberitahunya untuk datang besok. Aku akan menunggunya di ruanganku."
Laura tersenyum lebar. Ia melambaikan tangannya pada Julian yang masuk ke dalam lift dan meninggalkannya.
Laura memutar tubuhnya, berbalik pergi. Ia harus menghubungi Liena setelah ini. Ia melakukannya demi sahabatnya, agar Liena tidak terlalu merasa terbebani dengan rasa bersalahnya. Ini juga demi kebaikan Kalandra, agar pria itu tidak terlalu larut dalam lukanya. Sebagai teman yang baik, ia harus membantu mereka.
Mengeluarkan ponselnya, Laura menekan tombol yang sudah sangat dihapalnya dan menempelkan layarnya ke telinganya.
"Halo, Liena? Aku punya kabar baik untukmu!"
.
.
Kalandra melangkahkan kakinya bersiap memasuki lobi di salah satu perusahaan industri. Memang, ini hanyalah cabang kecilnya. Tetapi perusahaan ini cukup terkenal dan bisa dibilang, perusahaan ini maju dibanding perusahaan cabang lainnya.
Saat Kalandra membuka pintu kaca, ia tidak sengaja melihat sosok wanita berambut merah tebalnya tengah berjalan dengan pakaian mewahnya hendak keluar lobi. Kalandra membuang wajahnya, ia berharap wanita itu tidak melihatnya.
"Oh, Kalandra,"
Kalandra menghela napas, ia berbalik untuk melihat wajah kepuasan wanita itu.
"Apa kabar?" Wanita itu mendekatinya. Bunyi sepatu mewahnya terdengar nyaring di telinganya. "Sedang apa kau di sini?"
"Bukan urusanmu, Olin," jawabnya. Kalandra kembali memutar tubuhnya untuk pergi ke meja resepsionis. Sebelum ia melangkah lebih jauh lagi, ia mendengar suara Olin seperti mengejeknya.
"Kau dipecat dari perusahaan besar keluargamu? Atau kau dibuang? Atau apa, ya, kau tidak lagi dianggap di sana?"
Beberapa karyawan yang lalu-lalang terlihat memandangi mereka dengan pandangan bingung dan beberapa dari mereka berbisik-bisik membicarakan tentang dirinya. Kalandra tahu itu.
Memilih mengabaikan, Kalandra berjalan mendekati meja resepsionis dan respon yang diberikan wanita itu tidaklah baik. Dengan cepat, ia menggeleng setelah Kalandra menanyakan lowongan pekerjaan seperti yang ia dapatkan dari koran pagi.
Olin tersenyum di dekat pintu. Bahkan ketika Kalandra berjalan pergi melewatinya, wanita itu tetap tersenyum. Bukan senyum yang terlihat pada umumnya, tapi lebih pada sebuah senyum kepuasan. Senyum kemenangan.
Kalandra pergi menuju mobilnya. Ia menutup pintu mobilnya dan segera pergi dari area gedung. Ia mengambil sesuatu dari dalam saku kemejanya, mencari alamat dan nama perusahaan yang sedang membutuhkan karyawan untuk perusahaan mereka. Ia sengaja mencatatnya di sebuah kertas kecil untuk berjaga-jaga.
Kalandra mengemudikan mobilnya pergi ke sebuah kedai penjual kebab. Ia salah satu penggemar kebab. Makanan khas dari Turki yang terkenal itu membuatnya ketagihan. Dia dan Mirza sering sekali membelinya. Harga yang murah dan rasanya yang lezat membuat kebab itu ramai dikunjungi para pembeli. Kebab yang dijual di pinggir jalan depan perusahaan milik keluarganya.
Seketika mobil yang dikendarainya berhenti. Sial, bisakah dia pergi ke sana setelah apa yang terjadi?
Berpikir sejenak, Kalandra memutuskan untuk pergi ke sana. Ia ingin membelikan makanan itu untuk Liena. Ia teringat wanita itu. Teringat bagaimana kebaikannya telah memberikan apa yang wanita itu punya untuknya.
Kalandra memarkirkan mobilnya di pinggir jalan lalu ia melangkah ke pinggir untuk menyebrang. Kedainya tampak lebih sepi. Mungkin karena istirahat jam makan siang sudah selesai. Kalandra menghampirinya, memesan dua kebab dan penjual itu segera membuatkan pesanannya.
"Untuk Tuan Mirza?" tanya pria penjual kebab itu.
Kalandra terdiam seketika. Tetapi kepalanya menggeleng sebagai respon.
Pria ini tidak membaca koran atau majalah sepertinya, ia tidak tahu berita tentang Mirza, pikir Kalandra.
Kalandra menoleh ke kiri wajahnya. Melihat pemandangan ramai gedung pencakar langit yang ada bertahun-tahun lalu. Tempat dimana dirinya pernah ada di sana dan duduk di salah satu ruangannya.
"Ini," pria itu memberikan sebungkus plastik berisikan kebab buatannya. Kalandra memberikan selembar uang pada pria itu setelah mengucapkan terima kasih dan beranjak pergi dari sana secepat mungkin.
"Ada perlu apa Anda kemari?"
Tangan Kalandra yang hendak membuka pintu mobil terhenti, ia melihat salah satu pria yang pernah memukulnya beberapa hari yang lalu berdiri di depannya tengah memandangnya tajam.
"Bukan urusanmu," jawab Kalandra acuh. Ia menghempaskan tangan besar pria itu dan mencoba membuka pintu mobilnya tapi gagal. Pria itu masih menahannya.
"Apa yang kauinginkan?"
Pria itu terdiam. Kalandra tidak ingin membuat keributan lagi di sini. Cukup luka pukulan itu terasa membekas di wajahnya.
Sedan putih mewah berhenti tepat di depan mobilnya, Kalandra mengerutkan dahinya saat melihat pintu mobil itu terbuka dan menampilkan sosok Olin. Masih sama. Wanita itu masih sama.
Olin menyuruh pria itu untuk mundur, dan pria itu langsung mematuhinya. Membuat Kalandra tertawa sarkatis karena tingkahnya.
"Oh, jadi kau bos mereka di sini?" Kalandra mendengus. "Sebenarnya, atasan mereka kau atau Ayahku?"
Olin terdiam. Ia memandang Kalandra dari wajah hingga kaki pria itu. "Kau terlihat jauh lebih menyedihkan, Kalandra."
Kalandra hanya diam. Ia menampilkan ekspresi datar seperti biasa.
"Kau masih tidak menyukaiku, sepertinya," Olin tersenyum miring. "Apa karena aku tahu hubunganmu dengan Achazia Hana, atau karena aku pernah mencoba mencelakakan Hana?"
Kali ini tatapannya menajam. Kalandra memundurkan langkahnya agar ia tidak menyakiti wanita ini hanya karena emosi sesaatnya. Pria lain mulai berjaga di belakang Olin. Ia tahu posisi penting wanita ini di kehidupannya. Ia tahu bagaimana sang Ayah memperlakukan Olin di depannya.
"Omong kosong apa yang kau bicarakan?" Kalandra bertanya dalam nada sarkatis. "Tidakkah seharusnya kau tahu diri untuk tidak lagi mengganggu hidup orang lain?"
Olin tersenyum miring. "Apa begini yang diajarkan Ayahmu padamu, Kalandra?"
Kalandra tersenyum. "Dia tidak pernah mengajariku apa pun. Seharusnya kau tahu itu."
Kalandra membuka pintu mobilnya, sebelum ia masuk ke dalam, ia melihat mobil hitam mewah keluar dari dalam gedung. Saat ia melihat nomor mobil itu, ia tahu siapa yang ada di dalamnya.
Ayahnya.
Tubuh Kalandra membeku seketika. Ia terdiam di sisi mobil dan menunggu antisipasi apakah sang Ayah akan keluar atau mobil itu akan terus melaju.
Dugaannya benar. Sang Ayah turun dari mobil dan ia menyapa Olin ramah. Sangat kontras dengan apa yang terjadi di antara mereka.
Kalandra terdiam, ia melihat langsung bagaimana keakraban itu terjadi. Bagaimana Ayahnya begitu lembut memperlakukan Olin yang bukan anak kandungnya sendiri.
Wajah Kalandra tertunduk, ia bersiap memasuki mobilnya sampai suara sang Ayah yang berat memanggil namanya.
"Kalandra."
Kalandra hanya diam. Ia tetap di tempatnya. Menunggu Ayahnya untuk bicara lebih dulu.
"Apa yang membawamu kemari?"
Kalandra menoleh menatap wajah Ayahnya untuk pertama kalinya setelah kejadian itu. Ia tak pernah melihat wajah Ayahnya semenjak kematian Hana dan sampai detik ini, ia baru melihatnya. Pria itu terlihat baik-baik saja. Sangat kontras dengan keadaan dirinya yang kacau.
"Tidak ada," jawab Kalandra datar. Ia masuk ke dalam mobil dan menyalakan mesin mobilnya, mengemudikan mobilnya berbelok ke arah lain. Ia harus segera pergi dari sana secepatnya.
Seharusnya ia merasa lebih kuat. Tetapi ia lemah. Ia tidak bisa menunjukkan kalau dirinya baik-baik saja di depan sang Ayah. Di depan keluarganya. Ia tidak bisa. Kalandra tahu, ia tidak seharusnya menangis. Tetapi setitik air mata lolos dan jatuh di pipi kanannya.
.
.
Liena mengetukkan jemarinya di atas meja makan. Jam makan malam sudah lewat. Ia harus memberitahu kabar bahagia ini pada Kalandra secepatnya, agar pria itu merasa lebih santai dan tidak terlalu berpikir jauh tentang pekerjaannya.
Pintu terbuka, Kalandra pulang dalam keadaan baik-baik saja. Menghela napas lega, Liena menghampiri pria itu. Wajahnya terlihat bingung saat Kalandra memberikan sebungkus plastik padanya.
"Apa ini?"
"Aku membelikanmu sesuatu. Tapi sepertinya sudah dingin," jawabnya. Kalandra melangkah pergi ke rumah belakang dan Liena mengikuti dalam diam di belakangnya.
"Aku akan memanaskannya kalau begitu,"
Kalandra mengangguk dalam diam.
Pria itu menutup pintu dapur dan pergi ke rumah belakang. Liena mendekat ke jendela dapur, ia mengintip dari celah yang ada untuk melihat apa yang Kalandra kerjakan di sana.
Dua puluh menit berlalu, Liena duduk dengan dua piring yang berisikan kebab yang sudah ia panaskan. Pintu dapur terbuka, Kalandra masuk dengan wajah lebih segar dan pria itu mengganti pakaiannya.
"Kau butuh pakaian lagi, sepertinya," kata Liena setelah Kalandra mengambil tempat untuknya duduk.
"Aku akan membelinya sendiri nanti," jawab Kalandra.
Liena diam, ia tidak menjawab apa-apa.
"Apa kau suka makanan ini?" tanya Kalandra tiba-tiba.
Liena menoleh, ia menganggukkan kepalanya. Tersenyum. "Aku pernah memakannya beberapa kali. Ini enak," jawabnya.
"Aku baru saja ingin membelikanmu ramen atau kari di depan sana," lanjut Liena membuka percakapan. "Apa kau merasa kenyang hanya memakan ini saja?"
Kalandra mengangguk.
"Oh, baiklah."
Kalandra mengeluarkan sesuatu dari dalam saku celananya. Sebuah kunci mobil. Ia mendorong kunci itu hingga ke hadapan Liena. "Terima kasih."
Liena tersenyum. "Pakailah. Kau masih punya waktu selama dua hari ke depan."
Alis Kalandra terangkat. "Kau tidak ingin memakainya?"
"Untuk apa?"
"Kau tidak ingin menghabiskan waktumu keluar? Tokyo punya banyak wisata yang bisa kau kunjungi. Jangan hanya di rumah saja," jawabnya.
Liena tertawa. "Aku lebih senang menghabiskan waktu di rumah," balasnya. "Aku bisa membaca buku favoritku, menjahit pakaianku yang robek, mencoba resep kue terbaru, membersihkan rumah."
Kalandra hanya memberikan respon singkat dan melanjutkan makan malamnya.
"Laura menghubungiku tadi," Liena membuka suaranya lebih dulu. Fokus Kalandra kini beralih padanya. "Kau bisa datang ke kantor percetakan di pusat kota. Kau mencoba melamar di sana, kan?"
Dahi Kalandra berkerut. "Laura memberitahumu? Bagaimana bisa?"
Liena mengangguk. "Dia bilang pihak personalia ingin kau datang besok untuk wawancara. Kau bisa membawa keperluan seperti yang ada di brosur saat mereka memberikannya padamu," Liena mendesah berat. "Kau tidak mencantumkan nomor ponselmu di sana. Kebetulan Laura ada di sana untuk mengambil contoh cetakan miliknya dan ia tidak sengaja mendengar kalau pihak personalia sedang mencari informasi lebih tentangmu. Laura datang dan bilang pada mereka kalau dia mengenalmu."
"Kupikir, aku ditolak di sana." Kalandra menggeleng tak percaya.
"Mengapa?"
Kalandra menaruh pisaunya. "Aku datang ke kantor itu pagi tadi. Aku mencoba bertanya lagi mengenai kelanjutan masalah kemarin. Mereka bilang, mereka sudah menemukan orang yang tepat untuk menjadi karyawan di sana."
"Tetapi aku meninggalkan formulir yang kuisi di atas meja resepsionis itu tadi," lanjut Kalandra.
Liena menjetikkan jarinya dan tersenyum lebar. "Hm, mungkin saja pihak personalia tidak sengaja melihatnya dan mereka mempertimbangkanmu. Jangan putus asa, kau pasti bisa mendapatkan pekerjaan itu."
Kalandra terdiam sesaat. "Aku sedang mencoba mencari cadangan lain," lalu, wajahnya tertunduk. "Dan mereka bilang tidak ada lowongan pekerjaan yang dibuka."
Kalandra sempat memasang wajah sedihnya, tetapi terganti sedetik kemudian dengan wajah datarnya. Liena memandang pria itu dalam diam, ia sama sekali belum menyentuh makanannya. Bisakah ia membantu pria ini? Bisakah?
"Mereka tidak akan menolakmu, Kalandra. Percayalah," Kalandra mendongak menatap kedua mata Liena yang berbinar. Seolah menyemangatinya. "Kau akan dapat pekerjaan yang lebih baik nanti."
Liena bangun dari kursi makannya. Ia pergi ke kamarnya dan mengambil sesuatu di sana. Hanya lima menit saja, wanita itu turun dengan sebuah laptop.
"Pakailah," Liena menaruh laptop itu di depan Kalandra. "Kau butuh ini untuk membuat surat lamaran kerjamu yang resmi dan juga beberapa dokumen lain yang harus kau persiapkan nanti."
Liena tersenyum saat pandangan mata mereka bertemu. "Jika, kau membuat surat untuk melamar pekerjaan yang resmi, mereka mungkin akan mempertimbangkanmu. Kau bisa mengirimkannya melalui pos atau menitipkannya pada sekretaris yang berjaga."
Kalandra tampak ragu, ia memandang laptop itu bergantian dengan Liena.
"Pakailah. Aku jarang sekali memakainya akhir-akhir ini. Kau lebih membutuhkan ini dibanding diriku," lanjutnya. Kemudian, ia teringat sesuatu. "Aku punya mesin pencetak di kamarku. Kau bisa memakainya setelah selesai nanti."
Liena berdecak sebal saat Kalandra terlihat ragu menerima kebaikannya. Sungguh, Liena ingin membantu pria itu apa pun caranya.
"Jangan ragu-ragu. Kau lebih baik menghemat pengeluaranmu dan gunakan untuk hal lain."
Liena melangkah menjauhi ruang makan dan pergi ke kamarnya. Ia meninggalkan Kalandra sendiri di sana bersama laptop miliknya. Kalandra terdiam, ia membuka laptop itu dan menyalakannya. Sebuah senyum simpul timbul di wajahnya, dan ia sendiri tidak mengerti mengapa ia tersenyum karena wanita itu.
.
.
Liena melirik jam dinding yang tertempel di atas pintu kamarnya. Pukul satu malam dan dia masih terjaga. Ia teringat bagaimana percakapannya dengan Laura tentang kemungkinan kecil yang Kalandra terima karena pemberitaan buruknya di media massa. Tetapi Laura berusaha membantunya. Dan Liena berterima kasih karena kebaikan hati sahabatnya. Ia akan membayarnya nanti.
Jelas saja formulir yang Kalandra berikan tidak sampai ke meja personalia. Mereka memilih untuk langsung menggugurkannya tanpa mengetahui lebih jauh kemampuan yang Kalandra punya.
Liena menghela napas panjang. Ia banyak tidur hari ini. Ia hanya memotong rumput liar di taman rumahnya dan membersihkan taman. Hanya itu pekerjaannya hari ini.
Setelah menutup tirai kamarnya, Liena beranjak keluar dari kamar dan pergi ke lantai bawah. Saat ia lupa mematikan lampu ruang tengah, ia menemukan Kalandra masih duduk di ruang makan dengan laptop di depannya. Bedanya, pria itu tertidur pulas.
Liena mematikan lampu ruang tengah dan menggantinya dengan lampu tidur yang ada. Perapian masih menyala. Membuat ruangan terjaga tetap hangat.
Liena bergerak mendekati meja makan. Ia menarik kursi untuknya duduk dengan hati-hati agar derit kursi yang ditarik tidak membuat Kalandra terbangun.
Tangan kanan pria itu terulur di atas meja dan tangan lainnya terlipat, dijadikan bantal untuk kepalanya. Wajah pria itu sepenuhnya menghadap ke kiri. Liena tahu pria itu sudah tertidur pulas. Dari helaan napasnya yang teratur, jelas sekali Kalandra tertidur karena kelelahan.
"Aku mengerti mengapa kita dipertemukan sekali lagi," Liena bersuara hampir seperti berbisik. Ia tahu Kalandra tidak mendengar suaranya, maka dari itu ia memberanikan dirinya untuk berbicara padanya. "Karena takdir ingin aku tahu siapa dirimu sebenarnya."
Hening. Kedua tangan Liena terkepal di atas meja.
"Karena takdir ingin aku menyesali perkataanku, menyesali segalanya. Dia ingin aku menyadari kesalahanku padamu," Liena menutup mulutnya. Ia bisa menangis kapan pun.
"Jika bisa, aku ingin mencabut semua yang kukatakan padamu sebelumnya. Di hari itu, hari dimana aku bersumpah agar kau menderita," wajah Liena tertunduk. "Dan kau ada di sini dengan kesedihanmu. Bukankah secara tidak langsung itu juga karena salahku?"
Hanya bunyi kayu yang terbakar api terdengar. Liena menutup matanya, ia akan menangis. Ia sudah lelah menangis sebenarnya. Sangat lelah.
"Bukan aku yang seharusnya membencimu, tapi kau. Seharusnya, kau yang membenciku," isakan demi isakan lolos dari bibirnya. "Biar aku saja yang terluka."
Liena mengulurkan salah satu tangannya untuk menyentuh tangan kanan pria itu. Ia menyentuh telapak tangannya, perlahan-lahan merambat hingga ke jemari pria itu. Tubuhnya semakin bergetar sampai ia akhirnya menunduk dan menyembunyikan wajahnya di atas meja dengan tangan lain menutup mulutnya. Bermaksud agar isakannya tidak terdengar oleh Kalandra yang tertidur.
Kedua kelopak mata itu terbuka lebar. Oniks segelap malam yang sempat tersembunyi selama beberapa saat di sana akhirnya membuka. Kalandra tetap mempertahankan posisinya. Berpura-pura tidur agar ia bisa mendengar segalanya.
Liena mengangkat kepalanya. Ia menatap tangannya yang masih ada di atas punggung tangan pria itu. Menghapus air matanya, Liena memberanikan diri menyentuh jemari pria itu dan menggenggamnya sebentar.
Tidak ada respon. Memang. Kalandra sedang tidur, tentu saja ia tidak akan tahu kalau Liena ada di sampingnya, memandangnya penuh rasa bersalah. Ia berharap Kalandra tidak akan tahu sampai nanti. Sampai pria itu kembali ke hidup awalnya.
Wajah Liena kembali menunduk, ia menyembunyikannya di atas lipatan tangan kirinya. Ia tidak lagi menangis, hanya diam.
Ia melamun, sampai tak sadar kalau jemari pria itu bergerak untuk balas menggenggam jemari tangannya.
Kalandra memejamkan matanya, ia sadar dengan apa yang dilakukannya. Hanya ini yang bisa ia lakukan untuk menguatkan hati wanita itu.