19

1194 Kata
Liena mengangkat kepalanya. Kedua matanya yang basah menemukan tangannya terpaut dengan tangan Kalandra yang masih terlelap dalam tidurnya. Liena tidak tahu mengapa mereka bisa saling menggenggam tangan di saat pihak lain tidak sadar dengan apa yang dilakukannya? Alam Kalandra yang lain menginginkan sebuah penopang. Begitu juga dengan dirinya. Butuh sesuatu untuk bersandar di sela-sela kehidupannya. Menginginkan sebuah bahu untuk menangis dan meluapkan segalanya. Liena melepas tautannya. Ia memandang Kalandra dengan pandangan nanar. Hatinya merasa sakit ketika melihat Kalandra menderita karena dirinya. Liena tidak bisa menyalahkan dirinya terus menerus hanya karena masalah ini. Tapi dia ikut andil dalam penderitaan pria itu. Bunyi kursi berderit membuat tidur Kalandra terganggu. Masih memejamkan matanya, Kalandra tampak pulas di dalam tidurnya. Wajahnya damai. Tidak ada rasa sakit yang tergambar di sana. Liena pergi ke kamarnya dan mencari selimut bersih di dalam lemari penyimpanan. Ia kembali pergi ke dapur dan bergerak untuk menyelimuti tubuh pria itu dari udara dingin malam hari. Liena merapikan meja dan menggeser laptopnya beserta beberapa kertas yang Kalandra tulis untuk keperluannya. Ia menumpuknya menjadi satu dan menaruhnya di atas laptop yang tertutup. Menghela napasnya, Liena pergi ke kamar mandi untuk mencuci wajah dan kembali tidur. Ia mematikan lampu dan menggantinya dengan lampu tidur. . . Keesokan paginya, suasana dapur tampak gaduh. Liena berulang kali berlari kecil ke dalam laci untuk mengambil bumbu makanan dan Kalandra yang masih setia duduk dengan laptopnya. Mereka sudah kembali menjalani aktifitasnya seperti biasa. Liena yang masih mendapat jatah liburnya memilih untuk tetap di rumah dan membiarkan Kalandra memakai mobil miliknya sesuka hatinya. "Aku akan pergi ke depan mengambil koran," Liena mengangguk setelah Kalandra meminta izinnya untuk mengambil koran pagi yang menjadi langganannya. Kalandra membuka pintu dan menemukan koran terbitan pagi ini tergeletak di dekat pagar. Ia mengambilnya, melangkah kembali masuk ke dalam dan membacanya di perjalanan. Saat ia membuka halaman ketiga, ia menemukan foto suami istri pasangan milyuner, Arkana. Matanya melirik Liena yang sibuk mengaduk supnya. Wanita itu tampak sibuk. Ia melihat foto itu lekat-lekat. Mereka terlihat bahagia, gumam Kalandra. Seolah tidak ada masalah yang tergambar di wajahnya. Seolah kalau hidup mereka berjalan bahagia seperti yang dilihat orang. "Kalandra? Kenapa berdiri di sana?" Kalandra menutup korannya dan mendekati meja makan saat Liena tengah menuang sup yang telah matang ke dalam wadah berbentuk mangkuk kaca bening. Uap panas masih mengepul di atasnya. Liena tampak hati-hati memegang ujung kuah panci dengan lap khusus. Kalandra menarik kursi untuk duduk, ia memperhatikan Liena yang sibuk menata piring dan gelas untuk mereka berdua. Kalandra sengaja menutup koran yang ia bawa dari luar. Terutama bagian artikel itu. "Bagaimana, ada lowongan pekerjaan lain?" tanya Liena saat mereka mulai sarapan bersama. Kalandra menggeleng. "Tidak ada sejauh ini," tatapan matanya jatuh pada mangkuk sup yang Liena buat. "Itu terlihat enak." Liena tersenyum mendengar pujiannya. Ia mengambil sendok sayur dan menaruhnya di samping mangkuk itu. "Cobalah. Selagi masih hangat." Kalandra mengambilnya dan menaruhnya di atas piring kaca miliknya. Ia tampak bersemangat saat Liena membantunya mendorong makanannya lebih dekat dengannya. Wajahnya terlihat sangat menikmati dan Liena tidak bisa menyembunyikan senyumnya. "Ini enak. Benar-benar enak," Kalandra memberikan jempolnya untuk Liena dan responnya hanya tertawa. Liena menuangkan air putih ke dalam gelas milik Kalandra dan gelasnya. "Terima kasih. Senang kau menikmatinya." Liena membiarkan Kalandra menikmati sarapannya dan ia mengambil bagiannya yang lain. . . Kalandra memarkirkan mobilnya di halaman khusus para tamu gedung. Ia kembali datang ketiga kalinya ke kantor percetakan ini. Dadanya berdebar-debar menanti apa yang akan ia dapatkan setelah ia melewati wawancara ini. Ia tidak pernah merasakannya sebelumnya. Hidupnya terlalu mudah berjalan. Ia terbiasa menerima pegawai, bukan sebaliknya. Menyemangati dirinya sendiri, ia berjalan masuk ke dalam lobi. Menanyakan lantai sang personalia, resepsionis itu menunjukkan lantai ruangannya dan lift yang harus dituju. Kalandra segera mengikuti perintahnya dan pergi ke sana. Savari Laura masuk melalui pintu kaca yang ada di gedung. Ia melihat Kalandra masuk ke dalam lift. Ia tahu, hari ini adalah penentuan masa depan hidupnya. Laura berdoa dalam hati agar semuanya berjalan dengan baik dan Liena merasa bahagia karena hal ini. Laura tersenyum saat resepsionis itu menyapanya ramah. Ia menunjukkan kartu namanya dan keperluannya datang kemari. Masih memperhatikan lift yang kini menutup, membawa Kalandra pergi menuju jalannya. . . "Achazia Kalandra." Julian, nama pria itu Julian. Kalandra mengenalnya dari nama yang terpasang di mejanya. Sejenis nametag namun berbeda. Kalandra mengangguk, ia menjabat tangan Julian yang terulur padanya. Hanya sebentar dan Julian mempersilakan Kalandra duduk. "Aku sudah melihat formulir yang kau isi pada pihak resepsionis," Julian membuka suaranya. Dahinya sedikit berkerut ketika ribuan pertanyaan terlintas di dalam kepalanya. "Kau benar-benar membutuhkan pekerjaan ini?" Kalandra mengangguk. Ada keyakinan yang kuat terpancar melalui kedua mata gelapnya. Julian melihatnya. Ia tentu saja tahu bagaimana Kalandra selama ini. Pantas saja Laura bilang dia mengenalnya, Achazia Kalandra adalah orang terkenal. Dia putra seorang milyuner terkaya di sini. "Maaf. Tapi aku benar-benar terkejut bisa bertemu denganmu di sini," Julian berbicara agak canggung. Level kelasnya berbeda jauh dengan Kalandra. Dan dia berusaha menghormatinya. Kalandra menggeleng. Masih mempertahankan sikap tenangnya. "Tidak apa. Aku datang untuk pekerjaan." "Aku mengerti," Julian mengambil map dari dalam lacinya dan membukanya. Ia menemukan formulir yang berisi data-data pribadi pria itu. "Kami membutuhkan satu orang pegawai untuk masuk ke dalam jajaran tim kreatif. Salah satu pegawai kami mengundurkan diri karena alasan pribadi, kami harus mencari penggantinya secepat mungkin. Kami membutuhkan orang yang hebat dalam hal ini karena menyangkut masa depan perusahaan." Kalandra diam mendengarkan. "Kami, terutama aku, tahu benar siapa dirimu. Datamu belum masuk ke kantor pusat, baru sampai di tanganku," Julian berbicara untuk menjelaskan. "Aku tahu benar, kau orang yang hebat." Kalandra memberikan senyum samarnya. Tangannya bergetar. "Kau lulusan arsitek terbaik di Universitas Tokyo dengan nilai tertinggi. Pengalaman kerjamu juga sangat bagus. Kau pernah bekerja dimana sebelumnya?" Kalandra berdeham untuk bersuara. "Tidak ada. Pengalaman kerjaku hanya sampai di Achazia's Industries saja. Lima tahun aku menjabat sebagai kepala tim kreatif dan perancang bangunan untuk para client." Julian mengangguk. "Itu bagus. Aku tahu benar bagaimana kerjamu selama ini," ia mengeluarkan pulpen dan merobek kertas tak terpakai dari bukunya. "Bisa kau tulis nomor teleponmu di sini, aku akan menghubungimu nanti untuk kelanjutannya." Kalandra menatap kertas itu bersama dengan pulpen yang ada di sampingnya. Ia tidak punya ponsel. Nomornya juga tidak ada lagi. Sudah terjual. Kalandra membuka penutup pulpen itu dan menuliskan nomor di sana. Nomor Liena. Nomor yang sengaja ia hapal semalaman untuk ini. Wanita itu tidak akan keberatan sepertinya. Kalandra berjanji akan membeli ponsel untuk dirinya sendiri dan mengganti tagihan pulsanya pada Liena setelah ia mendapat pekerjaan. Julian mengangguk. Ia mengambil kembali kertas berisi nomor telepon Kalandra dan memasukkannya ke dalam map dimana formulir itu ada di sana. "Ada lagi yang dibutuhkan?" Kalandra bertanya. Julian menggeleng. Ia berdiri dari kursi putarnya dan mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan. "Aku akan menghubungimu secepatnya." Kalandra menerima uluran tangan itu dan mereka berjabat tangan. "Terima kasih." Julian tersenyum saat Kalandra melangkah pergi ke luar ruangannya. Sampai pintu tertutup sempurna, kerutan di dahi Julian terlihat jelas. Bagaimana menjelaskannya? Berita di koran itu tersebar luas tentang siapa Kalandra dan mengapa ia bisa membunuh sang kakak dengan cara yang tidak adil. Di sisi lain, Julian haruslah memilah di antara pelamar kerja lainnya untuk mendapatkan yang terbaik. Ia harus bertarung dengan dirinya sendiri untuk masalah ini. Kalandra menghela napas panjang. Debaran di dadanya mulai berkurang seiring langkahnya mendekati mobil semakin dekat. Ia merasa lega sekarang. Ia bisa melewatinya dengan baik. Semoga saja, bisa lebih baik lagi nanti. Ia masuk ke dalam mobil dan memutuskan untuk pergi ke makam Mirza dan Hana. Dia akan berdoa di sana. Berdoa untuk kedua orang yang dicintainya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN