Liena melangkah melewati trotoar jalan yang ramai dengan gerobak dan para pejalan kaki yang duduk untuk sekedar menikmati makanan yang dijual di sana. Ia melewatinya dengan santai, menikmati udara luar sebaik-baiknya. Jarang sekali ia merasakannya selama ia bekerja.
Dengan sweater musim dingin dan celana jins biru tuanya, ia berjalan melewati gedung-gedung tinggi pencakar langit yang begitu menyilaukan mata. Ia tersenyum saat mendapati dunia luar tidaklah buruk untuknya. Sudah lama sekali ia tidak merasakannya.
Liena tidak menggunakan mobilnya karena Kalandra masih membutuhkannya. Ia sengaja pergi menggunakan bis umum dan mengeluarkan sedikit uangnya untuk keperluan ongkos dan makan siangnya nanti jika ia belum kembali ke rumah.
Laura sedang sibuk dengan pekerjaannya, Liena tidak akan mengganggunya. Mereka punya hidup masing-masing. Saling mendukung dan menghormati waktu sama lain sudah menjadi harga tertinggi di dalam persahabatan mereka.
"Tolong buatkan satu untukku." Liena berhenti di gerobak penjual kebab yang sedang ramai oleh para pembeli. Terutama anak-anak. Ia tersenyum saat anak-anak itu tampak berbaris menunggu pesanan mereka dan beberapa duduk sambil menunggu.
Pria tua itu terlihat sibuk membuatkan kebab untuk pembelinya. Menunggu lebih dari lima menit, ia menerima kebab pesanannya sudah matang dan terbungkus dengan plastik khusus makanan. Liena memberikan beberapa lembar uang untuk membayar dan mengucapkan terima kasih sebelum pergi melanjutkan perjalanannya.
Langkahnya terhenti di depan sebuah gedung tinggi pencakar langit yang tampak mencolok di antara lainnya. Matanya menyipit saat melihat nama gedung itu. Dan seketika wajahnya memucat, kedua matanya langsung melebar.
Arkana Group.
Liena mengusap wajahnya yang tampak bingung dan tak tahu harus berbuat apa. Ia merindukan kedua orang tuanya, ia ingin memeluk mereka seperti yang dilakukan kebanyakan orang di luar sana. Namun, ia tidak bisa. Ia tidak akan bisa melakukannya.
Kedua tangannya terkepal di sisi tubuhnya. Liena melangkah menyebrangi lampu merah dan pergi masuk ke dalam gedung. Seolah-olah dirinya adalah orang asing di sana. Dan memang benar.
Ia masuk melalui pintu putar, mendapati suasana lobi yang ramai dan beberapa wartawan sedang duduk di sana menunggu seseorang.
Saat ia mendekat, ia menemukan pria paruh baya berbalut setelan jas berdiri gagah menemui para wartawan yang langsung berhamburan mendekatinya. Napas Liena tertahan seketika, wajahnya memerah menahan tangis saat ia melihat wajah itu secara nyata sekarang. Setelah bertahun-tahun yang lalu, setelah insiden mengerikan itu. Ia baru bisa melihatnya. Tidak di koran, tidak di televisi.
"Ayah ..."
Liena menutup mulutnya guna menahan isakannya. Sungguh, ia tidak boleh menangis di sini atau keadaan akan berubah kacau seketika. Ia tidak ingin membuat keadaan menjadi berantakan.
Pria itu tersenyum pada wartawan. Liena tidak tahu apa yang sedang menjadi topik panas yang diberitakan majalah dan koran ekonomi di sana. Ia belum melihat koran pagi ini. Ia tidak tahu beritanya.
Setitik air mata lolos jatuh ke pipi kanannya. Liena menghapusnya, masih memandangi pria itu dari jarak yang dirasa cukup untuk membuatnya tidak terlihat di antara ramainya para pegawai dan tamu yang datang.
Pria itu masih menebar senyum lebarnya. Seolah semuanya terlihat baik-baik saja dan lancar seperti yang diharapkannya. Liena menunduk, menyembunyikan wajahnya saat wartawan itu berlari mengikuti pria itu saat berjalan keluar melalui pintu putar.
Terdiam sebentar, Liena menarik napas panjang untuk menetralkan perasaan di hatinya dan juga wajahnya. Ia tidak boleh terlihat mencolok di sini. Atau semuanya akan berantakan. Dia tidak boleh mengacau.
Liena keluar melalui pintu putar karena itu satu-satunya pintu yang menghubung antara dunia luar dengan dunia dalam gedung. Mereka berbeda. Liena merasakannya.
Ia melangkah menjauhi halaman dan pergi ke trotoar. Sampai ia menemukan sebuah sedan hitam mewah tengah berhenti tepat di depan pagar tinggi tajam gedung dan membuat langkahnya terhenti.
Pintu itu terbuka. Liena menahan napasnya saat ia melihat wanita cantik berbalut blazer biru dengan kemeja putih dan rok selutut berwarna senada dengan kemejanya. Wajahnya yang sudah termakan umur tidak begitu terlihat di sana karena uang bisa memolesnya.
Wanita itu berjalan anggun melewatinya. Liena yakin dia melihatnya. Ia menggigit bibir bawahnya, berusaha untuk tidak menangis atau menjerit di sini. Ia tidak boleh menangis. Air matanya kering selama bertahun-tahun karena lelah menangisi mereka.
Sebelum mobil itu berlalu pergi, Liena melihat pintu kemudi terbuka. Memperlihatkan seorang pria dengan jas hitam tengah berdiri di depannya. Liena mengusap wajahnya, ia tersenyum pada pria itu.
"Hai, sudah lama sekali, ya."
Pria itu memandang Liena dengan pandangan mengiba.
"Nona," panggilnya.
Liena menggeleng kecil. Ia menempelkan telunjuk di bibirnya. "Sst, jangan katakan itu lagi. Aku bukan majikanmu, Sai."
Pria itu menggeleng dengan wajah sedih. Sudah bertahun-tahun lamanya mereka tidak bertemu. Saat mimpi buruk itu datang, mereka terpisah. Mereka bukan sepasang kekasih. Mereka teman kecil. Hubungan mereka sangat dekat. Ayah Sai bekerja sebagai seorang supir dan juga kepala asisten rumah tangga di rumahnya dulu, dan Liena berteman baik dengan Sai karena itu.
"Kita berteman, ingat?"
Sai mengangguk dengan wajah sedih. "Aku mencoba menghubungimu tapi Ayah melarangku. Dia tidak ingin aku terkena masalah."
Liena terdiam. Ia mengusap lengan pria itu lembut. "Aku mengerti. Dia memberitahumu hal yang benar," Liena merindukannya. Mereka pernah bermain bersama semasa dulu. Sai adalah sahabat baiknya saat mereka masih duduk di taman kanak-kanak sampai duduk di bangku sekolah dasar.
"Aku harus pergi." Liena menyadari posisinya sulit saat ini. Ia tidak bisa bertahan lebih lama lagi di sini atau mereka akan melihatnya. Sai melihatnya dengan pandangan sedih. Liena tahu, ia telah berbuat tidak adil dengannya. Sai adalah anak yang baik. Liena tidak ingin ia mendapat masalah karena berhubungan dengannya.
"Hubungi aku, Liena."
Liena melambaikan tangannya dan berlari menjauhi trotoar depan gedung. Ia berlari menghindari kekacauan di sana dan memilih untuk menjauh. Ia menoleh, melihat Sai masuk ke dalam mobil dan berlalu pergi.
Liena menghentikan langkahnya. Ia memilih untuk pergi ke halte dan pulang. Yang ia butuhkan saat ini adalah tidur dan melupakan segalanya.
.
.
Kalandra menepikan mobilnya di pinggir jalan dan berniat membeli sesuatu untuk dia bawa pulang. Dia ingin membelikan dua ramen spesial yang menjadi kesukaannya selama ini. Kedainya terlihat sepi dan beberapa pelayan tengah sibuk membersihkan meja saat Kalandra masuk.
"Selamat datang. Ada yang bisa kami bantu?"
"Dua ramen jumbo dua. Dibungkus, tolong."
Petugas itu mencatat pesanan Kalandra dan menyuruhnya untuk duduk menunggu. Ia melihat ke luar jendela. Jalanan tampak ramai. Terlihat mobil dan kendaraan roda dua tengah berebut jalan tidak mau saling mengalah.
Sepuluh menit menunggu, Kalandra mendapati pesanannya sudah tersaji di depannya. Ia meninggalkan beberapa lembar uang tersisa dan membawa bungkus plastik itu pergi.
Saat ia menghampiri mobilnya, ia melihat Olin berlari kecil ke arahnya. Rok pendek di bawah lututnya terlihat mengganggunya. Dengan kemeja polos berwarna abu-abu yang membuat Kalandra memutar matanya.
"Diam disitu, Kalandra!" Teriaknya.
Kalandra menutup pintu mobilnya setelah ia menaruh bungkus makanan yang dibelinya tadi. Ia menatap Olin yang kini bersandar pada mobilnya dan memandangnya sarkatis.
"Jika, kau disini untuk mengajakku bertengkar, aku tidak akan meladenimu," Kalandra berkata sarkatis yang justru membuat Olin tertawa sinis.
"Kau tidak tahu kejutan apa yang akan menantimu? Ah, kau belum tahu. Ini benar-benar kejutan," Olin berbicara santai seolah yang mereka bicarakan adalah hal sepele. "Ini benar-benar menyenangkan."
Kalandra terdiam. Wajahnya terlihat biasa saja. Ia tidak terkejut dengan apa yang dikatakan Olin nanti. Kejutan atau apalah. Dia sendiri sudah bisa menebaknya.
"Jangan konyol." Kalandra membuka pintu mobilnya. Ia melirik sisi kiri tubuhnya, pantas saja Olin di sini. Ini perusahaan besar milik orang tuanya. Wanita itu pastinya ada di sini bersama mereka.
Mobil hitam itu melaju dengan kecepatan rendah ketika memasuki jalan besar. Olin mengepalkan kedua tangannya saat memandangi bagian belakang mobil yang membawa Kalandra pergi.