Liena tidak tahu apa yang membuat sifat pria ini sangat sulit ditebak olehnya. Selama berkarir sebagai dokter ahli psikis manusia, ia tidak pernah menemukan pasien sesulit ini. Hanya Achazia Kalandra, satu-satunya pasien yang membuatnya harus memutar otak untuk menebak masalahnya. Tidak cukup hanya melalui tatapan matanya. Itu tidak menjelaskan semuanya.
Liena menatap Kalandra yang duduk menghadap jendela. Pandangan matanya terlihat kosong. Tidak ada yang tergambar jelas di sana. Liena menatapnya dari sisi wajahnya, tidak ada yang terlihat. Kosong. Hanya itu.
"Apa yang terjadi?"
Suara desahan yang berat membuat Liena menajamkan pendengarannya.
"Maaf."
Liena mengerutkan alisnya. "Untuk apa?"
"Aku belum bisa membayar biaya pengobatan ini," akunya. Liena melebarkan matanya. Ia tersenyum masam. Menatap Kalandra yang kini menoleh ke arahnya. "Kau ini. Itu bukan masalah. Yang menjadi prioritasku saat ini adalah dirimu."
Kalandra kembali menatap lurus ke depan. Kedua tangannya saling bertaut satu sama lain. Menggenggam erat seolah-olah ada beban yang terasa mulai mengusiknya.
"Kenapa kau bisa seperti ini?" tanya Liena.
Uap karbondioksida yang dihembuskan Achazia Kalandra membuat Liena menunggu dengan rasa antisipasi. Ia takut jika masalah yang akan ditanganinya akan menariknya pada masalah baru hanya karena hati nuraninya ikut tenggelam bersama luka yang dialami pasiennya.
"Aku mencintai seseorang," jawab Kalandra rendah. Liena mengangguk singkat. Ia mengambil posisi yang nyaman untuk bersandar di dekat jendela. Matanya sejak tadi tidak lepas dari wajah Achazia Kalandra yang kosong.
"Tapi, dia milik orang lain. Orang yang sangat dekat denganku. Kami memiliki hubungan dan keterikatan satu sama lain," lanjutnya.
Liena terdiam. Ia mendengarkan segalanya dengan baik.
"Mereka berdua saling mencintai. Dan aku datang sebagai malaikat maut yang memisahkan mereka berdua hanya karena rasa cinta dan keegoisanku," Kalandra bersuara rendah yang membuat Liena harus memasang telinganya baik-baik agar dia tidak salah dengar.
"Siapa yang kau cintai?"
"Kakak iparku."
Liena melebarkan matanya. Wajah terkejutnya menjadi ekspresi yang ia tunjukkan pertama kalinya hari ini. Saat mata kelam itu bertemu pandang dengannya, Liena melihat adanya senyum kecil yang terpetak di wajah penuh luka di sana.
"Kau pasti belum pernah menerima pasien seburuk diriku, bukan?" tanya Kalandra sarkatis. Iris gelapnya kembali melempar pandangannya ke luar jendela. "Semuanya terbaca dari mimik wajahmu. Kau tidak bisa membohongi pasienmu sendiri."
"Bagaimana bisa?" Liena memasang wajah sedatar mungkin. Masih berusaha untuk menutupi rasa terkejutnya.
"Pasienmu yang paling sulit adalah korban kekerasan atau paling tidak korban yang merasa putus asa dengan hidupnya dan melakukan percobaan bunuh diri," Kalandra menghela napas pendek, lalu kembali bersuara. "Dan aku mencakup segalanya."
Liena mengerutkan dahinya. "Kau juga korban kekerasan?"
Kalandra diam. Ia tidak menjawabnya.
"Setidaknya, kau masih punya sedikit niat untuk melanjutkan hidupmu. Itu nilai lebih dalam dirimu. Kau harusnya bangga dengan dirimu sendiri," Liena mulai bersuara untuk menyemangati pasiennya. "Walaupun terasa berat memang, tetapi kau masih memiliki keinginan untuk melanjutkan hidupmu. Seberapa berat itu."
Kalandra mendengus. Ia menarik kursinya untuk menghadap Liena. "Benarkah? Kupikir, jalan ini adalah akhir segalanya. Jika aku gagal, aku tidak lagi berniat untuk ada di sini lagi."
"Jangan bercanda," Liena mulai tertawa. Meskipun ia sendiri tahu, itu adalah palsu. "Itu sebuah lelucon yang bagus untuk hari ini. Aku tidak menemukannya di dalam dirimu tanda-tanda putus asa itu sendiri. Jangan bohongi dirimu sendiri."
"Kau tahu benar apa yang sedang kualami. Aku tidak berbohong. Kau sendiri bisa membacanya kalau aku benar-benar putus asa."
Liena terdiam. Kali ini ia benar-benar terdiam. Kalandra benar.
"Namanya Hana. Wanita yang kucintai itu bernama Hana."
Liena tersenyum. "Nama yang bagus. Kutebak, dia wanita yang cantik? Kurasa iya. Namanya pasti mencerminkan wajahnya. Yah, setidaknya itu yang sering kudengar dari dokter kandungan yang sering membantu pasien melahirkan."
Kalandra tersenyum kecil. "Kau benar. Dia cantik, cerdas, dan beberapa hal yang kusukai darinya."
Liena mengangguk kecil. "Tapi, bagaimana bisa kau jatuh cinta pada kakak iparmu sendiri?"
Wajah Kalandra berubah menjadi lebih gelap dan terlihat sendu. Sorot matanya yang sempat berbinar ketika dirinya menanyakan tentang Hana berubah seketika.
"Aku tidak tahu," jawab Kalandra datar. "Yang kutahu, aku sudah jatuh cinta padanya. Aku tidak bisa berpindah ke wanita lain selain dirinya. Seberapa keras aku mencoba, aku gagal."
Liena menunduk, ia memandang sepatu flat hitam miliknya dengan pandangan mengiba. Dia tidak mungkin menunjukkan mimik wajahnya pada pasien yang ia tangani, itu tidak mungkin.
"Lalu, kenapa kau disini? Bagaimana dengan Hana?"
Kalandra menatap wajah Liena yang kini mendongak untuk menatap lurus ke dalam matanya. "Dia sudah pergi untuk selamanya."
"Apa maksudmu?" tanya Liena bingung.
"Dia meninggal. Tepat sehari dimana Mirza dimakamkan." Jawab Kalandra.
"Achazia Mirza? Dia kakakmu?" sanggah Liena cepat. Ia teringat sewaktu dia masih berada di rumah sakit tempat kerjanya yang lama. Saat itu ada pasien korban gawat darurat yang mengalami kecelakaan hebat dimana Shakila saat itu yang bergegas untuk membantu menyelamatkan nyawanya. Dan dirinya yang bertugas untuk menghubungi keluarganya.
Kalandra mengangguk. Ia menatap Liena dengan pandangan bertanya. "Kenapa?"
Liena menggeleng. "Tidak ada."
Kalandra terdiam sesaat. Meneliti wajah Liena lekat-lekat dengan iris pekatnya seakan merobek hati Liena yang lemah. Liena mengalihkan pandangannya, membuat iris kelam itu ikut mengalihkan pandangannya.
Suara ketukan pintu membuat keduanya menoleh ke arah sumber suara. Pintu terbuka, menampilkan sosok Savari Laura dengan pakaian formalnya tengah berdiri dengan wajah terkejut luar biasa. Terlebih ketika manik birunya menatap sosok pria yang duduk tidak jauh dari tempat Liena bersandar.
"Liena?" sapa Laura sarkatis. Ia masih belum bisa melepaskan tatapannya dari sosok Achazia Kalandra yang berbalik menatap datar tidak berminat.
"Kau baik-baik saja? Apa yang dia lakukan padamu?" seru Laura lantang yang dibalas dengan dengusan remeh dari Kalandra.
Liena menoleh pada Kalandra yang kini melemparkan tatapan datar padanya. Lalu, manik hijaunya memutar untuk menatap Laura yang masih melempar pandangan marahnya pada Kalandra.
"Laura, tidak apa. Ini tidak seperti yang kau kira. Semua baik-baik saja," jawab Liena lembut. Ia melangkah mendekati sahabatnya yang masih bersikeras untuk melemparkan tatapan membunuhnya pada Achazia Kalandra.
"Dengarkan aku, Achazia. Aku memang tidak kenal siapa dirimu, kau juga pastinya tidak kenal siapa diriku. Tapi yang jelas, kau berhasil membuat hidup sahabatku menderita bertahun-tahun karena dirimu. Karena kebodohanmu, karena keegoisanmu, karena kelakukanmu, hidup sahabatku hancur. Kau harus menerima akibatnya!" seru Laura yang membuat Liena terdiam dan pegangan tangannya terlepas dari bahu sahabatnya.
Liena menoleh, mendapati wajah Kalandra yang masih seperti semula. Datar. Tidak berekspresi. Tapi ketika tatapan mereka bertemu, Liena merasa adanya kilatan emosi yang terlintas di sana. Dan dia tidak tahu apa artinya.
"Ayo, Laura. Kita harus bicara," Liena menarik tangan sahabatnya untuk keluar dari ruangannya. Sebelum ia menutup pintunya, ia menatap Kalandra yang masih memandang pintu ruangan itu datar. "Aku akan kembali."
Lalu, pintu tertutup sempurna. Kalandra menghela napas panjang. Ia memandang jauh ke luar jendela. Iris gelapnya mengarah pada pohon apel besar yang tertanam di samping rumah sakit dengan buahnya yang mulai memerah. Kalandra merasa matanya mulai memburam. Dan ia tahu alasannya.