Achazia Kalandra tidak benar-benar kembali ke rumah. Baginya, tidak ada kata rumah lagi yang ada di dalam kepalanya. Itu adalah sebuah tempat hunian yang kini bermetamorfosa menjadi neraka.
Rumah adalah tempat dimana kau merasa aman. Tempat dimana kau bisa berlindung dari kejamnya dunia luar dan merasa tenang di dalamnya. Tapi tidak. Dia tidak lagi merasakannya. Baginya, kata rumah sudah mati untuknya.
Mengusap wajah lelahnya, Kalandra memilih untuk duduk di bangku taman yang ada di dekat perbatasan antara pemakaman dan jalan besar. Dia kemari dengan transportasi umum. Tanpa mobil, tanpa kendaraan pribadi apa pun. Semuanya hilang. Hilang tak berbekas.
Ia berterima kasih pada orang tuanya. Karena berkat mereka berdua, ia belajar banyak hal. Ia belajar banyak tentang artinya rasa sakit dan penderitaan. Ia tahu, ini semua kesalahannya, dosanya. Tapi, apakah pantas ia diperlakukan seperti ini tanpa mereka dengar penjelasan darinya?
Meremas botolnya kuat-kuat, hembusan uap karbondioksida meluncur bebas dari kedua lubang hidungnya. Kalandra merasa jantungnya sudah tidak lagi berdetak sempurna semenjak kedua nyawa orang terkasihnya tidak lagi bisa terselamatkan. Ia merasa dunianya runtuh tepat di depan matanya. Tepat dimana dia tidak lagi merasa hidup untuk selamanya. Ya, mungkin untuk selamanya.
"Jangan menangis lagi,"
Sekali, dua kali ia ucapkan. Tapi, tidak cukup untuk menghilangkan rasa sakit di hatinya yang kian berakar semakin dalam. Itu mantra yang ampuh untuk mencegah air matanya kembali tumpah. Sekali lagi, mantra itu tidak lagi berguna.
Air mata itu kembali meluncur. Membasahi pipi kanannya dan jatuh ke rumput liar di bawahnya. Air mata penyesalan yang berulang kali tumpah karena alasan yang sama. Ia tahu, waktu tidak lagi bisa terulang. Dan yang bisa ia lakukan hanyalah merasa menyesal dan bersalah. Meminta maaf juga tidak ada gunanya. Raga mereka sudah terkubur dalam-dalam di bawah tanah. Mereka tidak akan menjawab kata maaf darinya.
Sekali lagi, dunia mengutuk dirinya karena perbuatan hinanya.
.
.
Liena merapikan berkas-berkas yang berserakan di atas meja kerjanya. Ini sudah pukul lima sore, waktunya untuk kembali ke rumah dan beristirahat untuk melanjutkan aktifitas keesokan harinya.
Liena bangkit dari kursinya. Ia meneliti sekali lagi ruang kerjanya sebelum meninggalkan tempat itu dan menguncinya. Pihak rumah sakit memberinya wewenang untuk memegang kunci masing-masing ruang pada dokter yang bertugas di dalam ruangan. Maka dari itu, mengingat untuk menjaga barang-barang pribadi yang tertinggal di dalam, Liena lebih baik menguncinya.
Ia berjalan menuju parkiran khusus para dokter. Ia sengaja membawa mobilnya hari ini karena memiliki janji bersama sahabat lamanya, Savari Laura yang baru saja kembali dari Paris setelah bersekolah selama tiga tahun lamanya.
Liena membuka tasnya, menemukan empat panggilan tak terjawab dari Savari Laura sejak siang tadi. Membalasnya dengan sebuah pesan singkat, Liena segera bergegas menuju mobilnya dan berlalu pergi.
.
.
Malam ini udara cukup dingin dengan hembusan angin malamnya yang terasa menusuk kulit hingga ke tulang. Dan bodohnya, Achazia Kalandra tidak membawa mantel tebal untuk melindungi tubuhnya. Ia sengaja membiarkan kemejanya tergulung hingga siku dan membiarkan angin malam menusuk tubuhnya yang mulai menggigil.
Kalandra berlari menuju halte tempat pemberhentian bis umum yang akan membawanya kembali ke rumah. Setidaknya, ia butuh tempat untuk beristirahat dan menenangkan diri sejenak.
Uap yang berhembus dari mulutnya seakan menjawab segalanya. Ia mulai kedinginan dan mungkin saja ia akan mati sebentar lagi. Kalandra merapatkan pelukannya pada kedua siku tangannya. Ia meluruskan lipatan kemejanya dan membiarkan lengan panjang kemeja itu menutupi lengannya. Mengurangi rasa dingin yang mulai membuatnya mati rasa.
Hujan tidak datang, hanya gerimis rintik-rintik yang menemaninya. Memang, jam-jam malam seperti ini cukup jarang transportasi umum yang masih melintas. Dan bodohnya, dia melupakan hal itu. Tapi, tetap saja, ia harus duduk diam dan menunggu. Ia tidak mungkin berjalan menempuh jarak yang cukup jauh untuk sampai ke rumahnya.
.
.
Liena melayangkan tatapannya ke luar jendela restaurant. Iris teduhnya tidak sengaja mendapati sosok pria yang tengah duduk memeluk tubuhnya yang mulai bergetar karena hawa dingin yang terasa menusuk tubuh lemahnya. Sosok pria itu masih sosok yang sama.
Achazia Kalandra.
Hembusan uap yang berkali-kali keluar dari mulutnya membuat Liena paham betul kalau pria itu sedang berjuang mengalahkan hawa dingin yang mulai menyerang kulit pucatnya.
Pegangan pada garpu makannya terlepas. Membuat suara nyaring yang berhasil mengalihkan perhatian Savari Laura seluruhnya terpusat pada dirinya. Manik biru wanita itu terlihat bingung dengan kerutan di dahinya yang terlihat jelas.
"Liena, kau baik-baik saja?"
Liena menoleh dengan senyum. Ia menganggukkan kepalanya sekilas dan kembali fokus pada piring pastanya. Mengabaikan tatapan tanya Laura pada dirinya.
"Jika, kau berpikir tentang Aksa atau masalah tentang kedua orang tuamu, sebaiknya jangan terlalu membebanimu. Aku khawatir padamu," Laura menghembuskan napas panjangnya. Menatap wajah letih itu dengan pandangan khawatir khas seorang sahabat. "Aku benar-benar berharap kalau waktu bisa menghapus luka itu dari dirimu."
Liena mendongak, ia tidak lagi bisa tersenyum seperti sedia kala. Hanya Laura yang mengerti dirinya selama ini. Tempatnya berkeluh kesah tentang kejamnya hidup. Tentang pahitnya sebuah perjalanan hidup yang masih setia mengikutinya. Hanya Laura. Liena tidak pernah berani untuk menceritakan segalanya pada orang lain.
"Bahkan, seorang dokter hebat pun tidak bisa menyembuhkan penyakitnya sendiri, kan?" Laura tertawa kecil. Menyadari wajah Liena yang berubah sendu.
"Dokter adalah pasien terburuk, Laura. Jangan lupakan itu," jawab Liena dengan kekehan ringan. Setidaknya, atmosfir yang ada di sekitar mereka berubah lebih ringan dan tidak sekaku tadi. Liena benar-benar membencinya.
Liena menolehkan kepalanya ke arah halte bis dan ia tidak menemukan sosok Achazia Kalandra lagi duduk di sana. Pria itu sudah pergi. Liena menumpu dagunya dengan kepalan tangannya. Berpikir keras tentang apa yang terjadi pada pria itu yang berhasil membuatnya terlihat sangat menderita dan terluka.
"Laura," panggil Liena. Membuat sang empunya nama menoleh dengan alis terangkat satu. "Hm?"
Liena memutar matanya, tampak berpikir. "Bisakah orang yang terlihat arogan dan memiliki sifat egois merasakan perasaan terluka dan menderita?"
Laura terdiam sejenak. Ia menaruh garpu makannya dan menatap Liena dalam-dalam. "Apa pasienmu yang baru seperti itu?"
Liena mengangguk sebagai jawaban.
Laura mengalihkan perhatiannya mengikuti pandangan Liena ke luar jendela. Memandangi jalan besar Tokyo yang terlihat sepi.
"Liena, kau seharusnya tahu benar mengapa orang yang terlihat arogan dan memiliki sifat egois itu punya rasa sakit yang amat dalam tersembunyi di dalam hatinya," Laura menatap piringnya yang kosong. "Mereka sengaja memperlihatkan sifat arogan dan egois mereka pada dunia untuk melindungi luka di hatinya. Agar dunia tidak tahu kalau mereka terluka dan menderita. Agar dunia tidak mengejeknya lemah. Agar mereka tetap terlihat kuat."
Laura tersenyum lembut memandangi wajah sahabatnya. "Kau juga seperti itu, bukan? Selalu tersenyum, memberikan rasa kasih sayang pada semua orang dan bersikap hangat pada mereka tanpa mereka tahu kalau kau tengah memendam luka," Laura melanjutkan kalimatnya ketika tatapan mata Liena mengarah padanya. "Itu sama saja. Hanya berbeda konteks. Kau tidak terlihat arogan karena kau tidak bisa terlihat seperti itu. Yang kaulakukan sama saja, agar dunia tahu kalau kau tetap terlihat kuat."
Liena tersenyum lembut. Ia mengarahkan telapak tangannya untuk mengusap lengan lembut milik Laura yang dibalas dengan senyuman lebar milik wanita itu. Savari Laura, sahabat sekaligus saudara perempuan yang tak sedarah dengannya. Liena beruntung, setidaknya Tuhan masih memberikan satu malaikatnya berwujud Savari Laura untuknya.
Ya, setidaknya.
.
.
Achazia Kalandra masuk ke dalam rumahnya yang gelap. Tidak ada lampu yang menyala. Bagai rumah kosong yang tak terhuni dan terlihat menyeramkan dari luar. Ia tidak peduli. Ia sudah benar-benar tidak peduli lagi apa yang dikatakan orang-orang padanya.
Kalandra melangkahkan kakinya menuju kamar miliknya. Kamar yang memang sengaja ditinggalkan untuknya. Kamar yang sama, masih terlihat seperti awal dimana semua seolah tidak terjadi apa-apa.
"Mereka benar, aku akan benar-benar gila untuk selamanya," Kalandra membuka pintu balkon kamarnya. Memandang ke luar kamar dengan taman belakang yang mulai terlihat kotor karena sampah dedaunan yang terlihat berserakan dimana-mana.
Sepi. Hanya sinar bulan yang menemaninya malam ini. Sama seperti malam-malam sebelumnya. Ia masih sama. Masih dengan luka yang sama.
Mata kelamnya menatap bangku taman yang kosong. Bangku yang pernah menjadi saksi bisu atas perjalanan cinta terlarang selama ini. Bangku yang bertahun-tahun menjadi tempat dimana cintanya bersemi.
Dan saksi bisu atas semua luka ini dimulai.
Mereka benar. Cinta tidak pernah salah. Hanya waktu dan keadaan saja yang tidak tepat. Kenapa pula ia jatuh cinta dengan kakak iparnya sendiri? Kenapa ia tidak jatuh cinta dengan wanita lain yang bukan milik siapa-siapa? Kenapa?
Terlalu banyak pertanyaan yang diawali dengan kata kenapa di dalam kepalanya. Dan Kalandra belum menemukan jawaban yang tepat atas pertanyaan itu selama ini. Mungkin, selamanya ia tidak akan pernah menemukannya. Baginya, pertanyaan itu tetaplah akan menjadi pertanyaan yang tidak berujung. Yang tidak akan pernah memiliki jawaban.
"Aku mencintaimu, Hana. Sangat mencintaimu."
Kalandra menundukkan kepalanya ketika kalimat itu kembali berputar di dalam memorinya. Kata-kata yang membuat ia kehilangan orang-orang yang dikasihinya. Kata-kata yang berujung pada rasa bersalah untuk selamanya.
Dan mungkin, perasaan terluka itu tidak akan pernah sembuh untuk selamanya.
.
.
Liena melangkahkan kakinya melintasi koridor rumah sakit menuju ruangannya. Hari ini ia akan membuka jam kerja lebih awal dari biasanya. Hitung-hitung, untuk mengurangi rasa bosannya di rumah karena tidak melakukan tugas rumah seperti biasanya.
Ini baru pukul enam pagi. Masih terlalu pagi untuk dirinya. Tapi, Liena punya cukup stamina lebih untuk hari ini. Ia membawa bekal makanan dan vitamin penambah stamina di dalam tasnya.
Langkahnya terhenti ketika matanya tak sengaja menemukan sosok pria yang tengah duduk memandang kursi panjang di depannya dengan tatapan kosong. Pria itu memakai kemeja yang sama seperti semalam dan Liena benar-benar terkejut dibuatnya.
"Kenapa kau datang pagi-pagi sekali?"
Kepala itu menoleh, ia memandang Liena dengan tatapan kosongnya. "Aku hanya bosan."
Liena mendengus. Ia mendapati nada suara pria itu rendah dan terdengar hampir seperti berbisik. Menandakan kalau dirinya tengah berbohong.
"Jangan konyol. Aku tidak pernah mendapati pasien datang lebih awal dengan alasan tak logis seperti itu," Liena mengeraskan pandangannya ketika mendapati pria itu mengalihkan perhatiannya ke arah lain dan memilih untuk tidak mendengarkan ucapannya.
"Kau tidak akan pernah percaya apa yang akan aku ucapkan nanti, bukan?"
Liena terdiam. Ia melangkah maju mendekati pintu ruangannya dan bersandar di sana. "Kita sudah membahas ini kemarin. Aku tidak akan pernah membahas masalah yang pernah terjadi di antara kita. Fokusku saat ini adalah membantumu untuk keluar dari masalahmu dan sebisa mungkin membuatmu kembali menjadi dirimu sendiri."
Kalandra menoleh menatapnya. Dan Liena berani bersumpah ia mendapati adanya kilatan harapan yang tersembunyi di dalam iris gelapnya. Walau hanya sekilas.