Hide and seek

1925 Kata
Giska akan mengambil langkah seribu saat ia merasakan ada Reiner disekitarnya. Kedua orang tua Reiner sudah berangsur-angsur membaik namun Giska masih sering melihat pria itu berada disekitar rumah sakit. Lebih mengherankan lagi entah apa lagi yang pria itu inginkan dengan mencari dirinya. Suster jaga di rumah sakit berkali-kali memberi informasi bahwa Reiner mencarinya dan Giska selalu mengabaikannya. Giska memang tidak ingin bertemu dengan Reiner karena ia tidak merawat orang tua Reiner sehingga Giska merasa tidak memiliki keperluan apapun dengan pria itu. Giska akan berpura-pura tidak menyadari kehadiran Reiner disekitarnya jika posisinya dan Reiner dekat. Giska memilih fokus pada hal lain yang ada disekitarnya kemudian pergi secepat mungkin menjauh dari pria itu. Kalau pun Giska yang terlebih dahulu menyadari keberadaan Reiner maka Giska akan bersembunyi sampai Reiner pergi dari posisinya. Namun malam ini sepertinya bukan malam keberuntungan Giska. Giska yang kelelahan tidak sadar bahwa ada Reiner yang sudah membuntutinya dari belakang. Hari ini begitu banyak pasien dan ia sendiri diminta menjadi asisten Dokter Albert dalam menangani sebuah operasi. Giska cukup kelelahan. Giska bahkan belum makan malam karena tiba-tiba ada pasien yang ia tangani harus dirawat di rumah sakit sehingga ia perlu melakukan pemeriksaan terlebih dahulu. Giska sudah merasakan bahwa sakit dibagian perut yang ia derita kembali kambuh. Giska dengan keringat dingin berusaha berjalan menuju mobilnya dan tepat di sisi mobilnya saat hendak membuka pintu Giska hampir saja terjatuh jika tidak ada sebuah tangan yang menahannya. Giska yang sedang menahan sakit pun hanya menunduk sambil mengucapkan terima kasih dan masuk ke dalam mobilnya. Giska sedang terfokuskan dengan rasa sakit diperutnya yang teramat sangat. Ya, Giska memang memiliki penyakit Gerd yang membuat lambungnya sangat sensitif namun Gerd yang ia derita tidak juga membuat Giska kapok untuk telat makan. Kini Gerd yang Giska derita pun kambuh. Giska duduk dikursi kemudi lalu memejamkan matanya sejenak sebelum membuka matanya dan terkejut ketika seseorang masuk ke dalam mobilnya. Ada Reiner yang kini sudah duduk di kursi penumpang mobilnya. "Dimana kamu taro obat kamu?" Giska tidak bisa berpikir jauh saat rasa sakit menyerangnya lagi saat ini. Ia pun dengan spontan menunjuk laci dasbornya. Reiner pun dengan cepat mengambil sebuah kantung obat-obatan yang berada di dalam laci dan menyerahkannya pada Giska. Giska mengambil sebuah obat lambung dan dengan segera meminumnya. Giska mencoba memejamkan mata sejenak mencoba merasakan obat itu bekerja dalam tubuhnya. Setelah merasa lebih baik, Giska membuka matanya dan langsung menoleh ke samping. Ia baru ingat kalau ia tidak sendiri. "Terima kasih. Saya mau pulang. Bisa anda keluar dari mobil saya?" Giska berusaha berbicara dengan nada datar menyembunyikan segala perasaan yang kini sedang berkecamuk dalam hatinya. Reiner tetap duduk diam sambil bersedekap menoleh ke arahnya, "Begitukah cara kamu berterima kasih pada orang yang sudah menolong kamu?" Giska menghela nafas panjang. "Saya sudah berterima kasih dengan benar tadi dan saya benar-benar lelah saat ini dan saya lebih ingin pulang dibandingkan berdebat dengan Anda. Bisa anda turun dari mobil saya sekarang?" Reiner tetap diam. "Kamu berhutang sama aku untuk pertolongan tadi. Sekarang kamu turun dan biarkan aku mengemudi. Aku anter kamu pulang." Giska merasa bahwa rasa sakit di perutnya sudah hilang dengan sempurna berkat obat lambung yang ia minum namun ternyata sakit di lambungnya kini berpindah ke kepalanya. Wajah Giska mengeras. "Tidak perlu. Terima kasih. Saya bisa sendiri dan saya sudah mengatakan terima kasih atas pertolongan anda tadi. Saya tidak berhutang apapun." Reiner menghela nafas. "Kamu akan semakin lama pulang jika kamu memilih terus menjawab setiap ucapanku, Ka." Giska tetap pada pendiriannya. Giska menatap Reiner dengan tatapan dingin. "Keluar." Reiner hanya diam diposisinya. "Keluar, Rein." Giska mengulangi ucapannya dengan nada dingin. Reiner menoleh dan memandang Giska. "Aku tidak akan keluar kalau kamu tetap ingin pulang sendiri. Aku akan keluar jika kamu pindah ke kursi berlakang dan biarkan aku mengantar kamu pulang." Pandangan Giska berubah. Ia menatap Reiner dengan tatapan lelah, takut dan terluka, "Sebenarnya apa tujuan anda datang lagi dalam hidup saya? Saya sudah katakan bahwa tidak ada yang perlu dibahas dari masa lalu" "Kamu salah. Masih ada yang perlu dibahas dan memang bukan saat ini waktu yang tepat untuk membahasnya. Sekarang lebih baik kamu pindah ke belakang dan aku akan mengantarkan kamu pulang. Kamu perlu istirahat kan? Semakin kamu melawan maka semakin lama kita bersama atau kamu memang mau kita bersama?" Reiner menyeringai diakhir kalimatnya. Giska menghela nafas pajang dan menatap Reiner dengan pandangan sengit kali ini. "Kalau kamu lupa maka akan aku ingatkan. Aku akan terus berusaha mendapatkan apa yang aku inginkan sampai hal itu benar-benar aku dapatkan," Reiner berucap dengan nada santai. Giska menghela nafas kalah. Entah sudah berapa kali ia menghela nafas sepanjang berbicara dengan Reiner. Giska pun mengalah. Ia keluar dari mobilnya sendiri dan masuk kembali ke kursi penumpang bagian belakang. Reiner tersenyum penuh kemenangan melihat Giska sudah dikursi penumpang. Dengan cepat Reiner ikut pindah ke kursi penumpang bagian belakang dan seorang pria masuk ke kursi pengemudi. Giska memilih memalingkan wajahnya ke arah jendela menghindari pria yang berada di sampingnya memastikan kemana supir di depannya membawa mobilnya pergi dan ketika menyadari mobilnya berjalan ke arah yang sama dengan arah ia pulang barulah Giska memejamkan mata. Giska berpura-pura tertidur namun dalam dirinya kini sedang sibuk meruntuki dirinya sendiri yang tidak hati-hati saat berjalan menuju parkiran. Kini ia terjebak bersama dengan pria yang paling ia hindari. Giska baru sadar kalau mungkin selama ini Reiner menyelidikinya karena ia belum mengucapkan dimana alamat tepat tinggalnya namun supir pria itu mengemudikan mobilnya ke arah yang sama dengan arah pulang ke apartemennya. Namun jika dipikir lebih jauh, hal itu mungkin saja terjadi melihat Reiner yang semakin terlihat sukses. Pria itu pasti tidak kesulitan untuk membayar orang mencari tau. Giska pun semakin sadar untuk semakin berhati-hati dengan pria disampingnya. "Ren, mampir beli bubur dulu. Setelah itu baru kita pulang." Giska yang mendengar ucapan Reiner pun spontan membuka matanya dan menatap Reiner. Pria itu malah sedang berkomunikasi dengan seseorang melalui ponselnya. Giska pun kembali memalingkan wajahnya dan memejamkan matanya. Giska lelah dan pria disampingnya bersikap seenaknya. Giska pun hanya bisa pasrah. *** Di tempatnya duduk Reiner sibuk dengan berbagai hal yang berkecamuk dalam isi kepala dan hatinya. Reiner sadar kalau isi kepalanya itu sedang tidak sejalan dan lebih konyolnya lagi tubuhnya pun mengkhianatinya. Tadi saat Reiner hendak pulang setelah memastikan kondisi kedua orang tuanya semakin baik. Hari ini ia bergantian dengan Ryandra yang menjaga orang tua mereka namun saat ingin pulang tanpa sengaja Reiner melihat Giska yang berjalan dengan sedikit sempoyongan. Tidak perlu orang pintar untuk tau kalau wanita itu kelelahan. Tanpa Reiner rencanakan kakinya melangkah mengikuti Giska dari jarak aman. Matanya terus mengawasi wanita itu. Giska berjalan perlahan. Wanita itu berhasil mencapai parkiran dimana mobilnya berada namun wanita itu hampir terjatuh saat hendak membuka pintu mobilnya sendiri. Kaki Reiner pun spontan berlari ke arah Giska dan tangannya dengan cepat menyangga tubuh mungil itu. Tubuh Giska dingin. Reiner yakin wanita itu sedang tidak baik-baik saja. Reiner pun hanya diam saat Giska mengucapkan terima kasih lalu masuk ke dalam mobilnya. Namun berbagai pikiran buruk pun muncul dalam kepala Reiner membuat pria itu spontan dengan cepat masuk ke dalam mobil Giska. Tubuh Reiner mengkhianati pria itu sepenuhnya. Tidak seharusnya tubuhnya bereaksi seperti ini pada wanita yang selalu menjadi objek balas dendamnya. Wanita disampingnya adalah sumber dari segala dendam dan kebencian yang ia rasakan namun berada di dalam mobil Giska membuat Reiner semakin enggan meninggalkan mobil itu. Hatinya seakan merasakan perasaan yang tidak seharusnya ia rasakan saat ia melihat Giska nampak lemah dan tak berdaya saat ini. Hatinya merasa khawatir. Reno datang saat ia pindah dari kursi penumpang depan ke kursi penumpang belakang pun dengan otomatis masuk ke dalam mobil Giska untuk menjadi supir dan mengemudikan mobil tua Giska kembali ke apartemen. Giska memalingkan wajahnya. Suasana di dalam mobil jelas menjadi cangung karena dirinya. Reiner melihat dari ekor matanya Giska nampak tertidur. Reiner yakin Giska sudah pasti menganggapnya gila sehingga Reiner berusaha menyibukkan dirinya. Reiner kini sedang meruntuki dirinya sendiri bagaimana bisa tubuh, pikiran dan hatinya tidak sejalan. Mereka semua seakan memiliki kehendak masing-masing. Kini ia di dalam mobil sementara Reno membeli bubur disebuah restoran. Reiner menoleh ke samping mendapati Giska sudah tertidur lelap. Jelas wanita itu kelelahan. Berbagai hal muncul dalam kepala Reiner. Kemana suami Giska? Kenapa suaminya tidak pernah terlihat? Kenapa Giska tidak menghubungi suaminya saat kesakitan seperti tadi? Kenapa suaminya membiarkan istrinya bekerja sampai sekeras ini? Seperti apa anak mereka? Apakah Giska bahagia dengan keluarganya? Semakin banyak pertanyaan muncul dalam benak Reiner namun Reiner hanya bisa mengehela nafas panjang dan menyimpan seluruh pertanyaannya seorang diri. Setelah berhari-hari ia berusaha mendekati Giska namun wanita itu menghindarinya akhirnya hari ini ia berhasil menemui Giska namun bukan situasi seperti ini yang Reiner rencanakan. Seharusnya ia mengintimidasi wanita disampingnya bukan malah menolong wanita itu. Seharusnya ia membuat wanita itu merasa takut dengan kehadirannya bukannya malah membuat wanita itu salah paham dengan sikapnya nanti. Pandangan Reiner pun jatuh pada sebuah kertas yang terselip di jok kursi yang berada di hadapannya. Reiner pun spontan mengambilnya. Sebuah kartu ucapan yang mungkin sudah lama ada disana. Reiner pun membukanya, Happy mother's day, Mom. Terima kasih sudah menyayangi Rei dan selalu ada untuk Rei. Rei sayang mama. - Reika Putri Reiner tertegun membaca ucapan di dalam kartu itu. Bukan sebuah kalimat yang panjang namun Reiner merasa pesan itu memiliki arti yang begitu dalam. Lagi-lagi sebuah perasaan asing masuk dalam hati Reiner. Reiner semakin penasaran dengan sosok anak Giska. Reiner mengembalikan kartu ucapan itu ketempatnya bertepatan dengan Reno yang kembali dengan sebungkus bubur yang ia minta Reno beli. Mereka melanjutkan perjalanan menuju apartemen dan begitu sampai Reiner menatap Giska sesaat sebelum menatap Reno. "Saya duluan, Ren. Kamu bisa bangunkan Giska lalu kasih bubur yang kamu beli tadi setelah itu kamu boleh pulang. Besok kita ketemu lagi seperti biasa." Reno mengangguk mendengar arahan Reiner dan setelah Reiner keluar beberapa saat kemudian Reno melakukan apa yang Reiner perintahkan. Reno mencoba memanggil Giska hingga Giska sadar dari tidurnya. Giska spontan mengitarkan pandangannya ke luar jendela. Ia berada di parkir apartemennya. "Pak Reiner sudah pergi, saya diminta membangunkan anda dan menyerahkan ini. Anda perlu mengisi perut anda." Giska menerima kantung yang Reno berikan dan berterima kasih. Reno pamit sambil menyerahkan kunci mobil Giska. Reno pun keluar dari dalam mobil Giska dan dari pandangan Giska, Reno berjalan menuju jalan raya, mungkin pria itu akan pulang ke rumahnya. Giska pun menghela nafas memandangi kantung berisi bubur yang masih terasa hangat itu lalu spontan menoleh ke kursi dimana Reiner tadi duduk. Giska pun menghela nafas panjang. Giska yakin Reiner memiliki niat jahat dibalik perbuatannya. Bisa saja Reiner menaruh sesuatu dalam makanan yang ada ditangannya. Mengingat pria itu begitu membenci Giska. Giska pun memutuskan keluar dari dalam mobilnya dengan membawa barang-barangnya. Giska mampir sejenak ke pos keamanan dan memberikan bubur itu pada satpam karena membuang makanan membuatnya merasa bersalah dan bisa jadi juga Reiner tidak menaruh apapun di dalam makanan itu. Intinya Giska hanya tidak mau menerima apapun dari Reiner namun pikirannya malah memikirkan yang tidak-tidak. Sementara itu dari kejauhan Reiner tidak melepaskan pandangannya dari Giska. Reiner melihat mulai dari Reno meninggalkan mobil Giska hingga saat Giska memberikan makanan yang ia belikan pada petugas keamanan. Reiner kesal bukan main. Emosinya membumbung tinggi karena Giska memberikan pemberiannya pada orang lain. Mood Reiner jatuh ke dasar neraka. Reiner pun pergi menggunakan taksi yang lewat di depan apartemen. Reiner pergi ke tempat yang selalu menjadi pelampiasannya untuk melepas segala rasa frustrasi, rasa kesal dan segala emosi buruknya. Setidaknya kehidupan bebasnya selalu berhasil membuat segala ketegangannya hilang. Alkohol dan wanita yang siap menghangatkan ranjangnya akan selalu menjadi pelarian yang terbaik bagi Reiner. Reiner memang perlu pengalihan sebelum ia berlari ke unit apartemen Giska dan berbuat yang tidak-tidak pada wanita itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN