Hati yang terluka

2000 Kata
Giska memandangi Dokter Albert yang kini sedang duduk dihadapannya. Dokter yang sudah menyandang gelar profesor ini adalah seniornya yang ia kenal semenjak ia di Amerika. Albert juga yang membantu Giska mendapatkan pekerjaan di Global Hospital. Dokter Albert jelas mengenal Elea dan Jake karena dulu pria itu sering ikut menghabiskan waktu bersama dengan mereka. Dalam hidup Reika kecil ada dua pria yang mengisi hari-harinya, Jake dan Albert. Namun Albert lebih dulu kembali ke Indonesia karena dijodohkan oleh orang tuanya. Giska tidak buta, Albert sejak dulu menaruh perasaan padanya. Giska tau kalau pria ini terus mencoba mendekatinya. Namun Giska menarik garis batas yang tegas antara dirinya dan Albert. Giska menghela nafas lega saat Albert akhirnya menyerahkan sebuah undangan pernikahan padanya. Albert akhirnya menikah dengan pilihan orang tuanya namun pernikahan itu kandas. Kini status Dokter Albert adalah seorang duda. Status Albert semakin membuat Giska tidak mau terlihat terlalu dekat dengan Albert. Giska tidak mau ada gosip apapun antara dirinya Dokter Albert beredar di rumah sakiy sehingga sehingga Giska kembali memberi jarak tegas antara dirinya dan Dokter Albert. Giska sudah menutup hatinya karena wanita itu tidak mau masa lalunya terulang. Giska merasa ia tidak bisa mempercayai lagi sebuah cinta romansa antara seorang pria dan wanita. Dulu Giska pernah mempercayai adanya cinta yang tulus. Giska pernah mencintai seorang pria begitu dalam dan pria itu adalah Reiner. Giska pernah mencintai Reiner begitu dalam hingga kini ia terluka dengan sama dalamnya. Reiner adalah pria pertama yang berhasil memperkenalkan sebuah perasaan baru dalam hidup Giska yang monoton. Reiner yang ia percaya kalau saat itu pria itu mendekatinya karena memang benar-benar tertarik padanya dan mencintainya. Saat itu Giska masih naif. Hidupnya memang hanya diisi dengan fokus pada pendidikannya sehingga ia tidak mempunyai pengalaman apapun mengenai romansa antara pria dan wanita. Giska pun memberikan semua yang ia punya. Hati dan dirinya namun sebuah kenyataan pahit menghantamnya. Reiner tidak pernah mencintainya. Saat itu Giska lebih hancur dari pada orang yang patah hati. Pengalaman pahit itu membuat Giska memilih hidup sendiri tanpa ada seorang pria pun yang menempati hatinya. "Are you okay? Aku gak pernah liat Reika main lagi ke rumah sakit. Apa Reika sakit?" Albert bertanya dengan nada khawatir. Giska pun spontan menggelengkan kepalanya. "She is okay. Reika sehat dan sekarang masuk bimbel math. Dokter tau sendiri bagaimana sukanya Reika sama pelajaran math." Albert spontan tersenyum teringat akan antusiasnya Reika setiap ia membahas mengenai semua hal yang berbau dengan math. "Dia bisa jadi pebisnis handal. Dia pasti pandai dalam masalah angka-angka." Giska mengangguk. Giska berusaha menyingkirkan rasa tidak nyaman yang ia rasakan saat ini. Kenyataan tentang Reika yang semakin mirip dengan Reiner membuat Giska merasa takut. Ya, Reiner adalah ayah kandung Reika. Namun sayangnya Reiner tidak menginginkan kehadiran Reika. Suatu saat nanti saat Reika dewasa, mungkin Reika akan mengetahui mengenai kebenaran tentang jati dirinya dan untuk mengobati luka itu Giska berusaha menyematkan jejak Reiner dengan memberikan nama pria itu menjadi bagian kecil nama Reika. "Ka... Kamu banyak melamun.." Giska tersenyum tipis, "Saya cuma kecapekan, Dok. Saya pulang duluan ya, Dok." Albert menghela nafas panjang dan hanya bisa mengangguk. Giska pun dengan segera kembali ke ruangannya untuk mengambil barang-barangnya. Giska tadi duduk bersama Albert untuk menghormati ajakan pria itu. Berkali-kali Albert mengajaknya untuk sekedar duduk minum kopi bersama namun ia selalu menghindar dengan memberikan berbagai macam alasan. Giska hanya tidak ingin Albert salah paham dengan responnya. Giska meninggalkan rumah sakit setelah memastikan semua urusannya sudah selesai. Kali ini Giska pulang lebih malam. Jam sudah menunjukan pukul sebelas malam namun Giska memilih untuk duduk sejenak di taman sebelum kembali ke apartemennya. Reika pasti sudah tidur dan kopi yang ia minum tadi pasti akan membuatnya terjaga. Giska mengadahkan kepalanya menatap langit malam sebelum menghela nafas panjang. Hari-hari Giska terasa semakin berat karena kehadiran Reiner. Reiner menambah beban pikirannya. Giska dipenuhi ketakutan dan kekhawatiran takut Reiner bertemu dengan Reika namun untungnya hingga saat ini Reika lebih banyak berada di apartemen bersama dengan Neni dan hal ini Giska ketahui dari laporan Neni dan pengakuan Reika. Giska benar-benar terjaga karena kopi yang ia minum bersama Albert tadi. Seharusnya ia tidak mengikuti Albert tadi. Kini satu jam berlalu dan Giska masih duduk ditempatnya sambil menatap langit malam yang gelap. Ia pun memutuskan mengambil ponselnya dan menghubungi Elea. Jakarta dan Boston memiliki selisih waktu dua belas jam. Saat ini di jakarta jam dua belas malam artinya di Boston saat ini sedang jam dua belas siang. "Lo belom tidur Gis?" Giska spontan memutar bola matanya, Kalimat pertama yang masuk ke dalam telinga Giska adalah pertanyaan dari Elea. "Kalo orang angkat telepon itu halo dulu, Le." Di sebrang sana Elea terkekeh, "Halo, Gis." Giska dengan sengaja mendengus kencang agar Elea mendengar dan Elea malah tertawa lalu bertanya, "Kenapa lo badmood malem-malem. Banyak pasien hari ini? Kecapekan habis Cito?" Giska menghela nafas panjang. "Enggak ada. Pasien hari ini juga gak banyak." "Lo ketemu dia lagi?" Elea bertanya dengan nada terdengar khawatir. "Enggak juga. Cuma sedikit kepikiran masalah Reika." "Reika baik-baik aja kan?" Kali ini Elea bertanya dengan nada terdengar khawatir. "Baik, dia semakin mirip dengan ayahnya." "Dan elo gak suka itu. Itu yang bikin mood lo keganggu sampe jam segini belum tidur?" Giska menghela nafas panjang lagi. "Itu bener tapi selain itu karena tadi gue terima ajakan Dokter Albert untuk minum kopi. Gue udah terlalu sering nolak ajakan dia jadi gue pikir kali ini gue terima ajakannya tapi sialnya gue malah seger begini." "Soal Dokter Albert, Elo gak mau coba kasih kesempatan ke dia? Dia konsisten deketin elo selama ini." "Kita udah bahas ini jutaan kali mungkin." "Dan udah jutaan kali itu juga gue kasih tau kalo mungkin Albert berbeda dengan Reiner." "Kita akan ada terus dilingkaran pembahasan yang sama kan?" "Lo emang keras kepala, Gis." "Itu gak diragukan lagi." Elea berdecak. "Jake kangen elo dan Reika." "Sama, Gue juga kangen Jake. Gue akan atur waktu buat pulang lagi. Reika pasti seneng ketemu Jake." Percakapan antara Giska dan Elea pun berakhir. Giska memasukkan ponselnya ke dalam tasnya dan kembali menatap langit malam. Entah samapai kapan Giska harus merasakan semua perasaan tidak nyaman ini. *** Setelah interaksi Giska dan Reiner malam itu, wanita itu memang meminimalisir dirinya berkeliaran di area rumah sakit. Giska memang tidak mau bertemu dengan Reiner. Kedua orang tua Reiner masih dirawat di rumah sakit ini dan masih ada kemungkinan untuk Giska bertemu dengan pria itu. Giska menitip pesan pada suster bahwa untuk sementara waktu ia tidak ingin diganggu kecuali untuk kasus urgent. Giska kaget dan pandangannya tidak bisa meninggalkan Reiner saat pria itu masuk ke dalam ruangannya dan duduk di kursi pasien yang ada di hadapannya. "Kamu menghindariku." Giska memasang sikap dingin. "Saya rasa saya tidak memiliki urusan apapun dengan anda. Silahkan keluar karena saya sedang menunggu pasien." Giska kembali fokus pada layar komuternya. Reiner tersenyum sinis, "Suster didepan kamu sedang memeriksa pasien tapi ternyata di dalam kemu sedang sendirian. Lalu sekarang kamu bilang kamu sedang menunggu pasien? Bukankah ada ketidaksamaan informasi disini? Apakah ini sebuah tindakan tidak profesional seorang dokter? Kamu menjadikan profesi kamu sebagai alasan untuk menghindariku." Giska menghela nafas panjang. "Sepertinya anda salah paham. Saya tidak menghindari anda," Giska mengucapkan hal itu sambil sibuk dengan mouse dan menatap layar komputernya. Reiner pun tertawa. "Sepuluh tahun tidak bertemu ternyata ada beberapa perubahan dalam diri kamu. Kamu semakin pandai membuatku tertawa tapi kamu tidak pernah pandai berbohong, Ka." Giska spontan mengeratkan cengkramannya pada mouse yang sedang ia pegang. Giska menghela nafas panjang dan berusaha terlihat biasa saja. Giska melepaskan mouse yang ia pegang dan menyenderkan punggungnya ke kursi lalu bersedekap sambil menatap Reiner. "Sebenarnya apa mau Anda?" Pertanyaan yang Giska lontarkan membuat Reiner tersenyum manis menatap Giska. "Aku hanya ingin tau alasan kamu pergi meninggalkan aku dulu, Giska. Aku harus tau karena..." "Karena rencana balas dendam anda pada saya saat itu belum selesai. Itu kan maksud anda?" Giska memotong ucapan Reiner dengan cepat. Reiner terdiam mendengar ucapan Giska. "Kamu..." Giska menghela nafas panjang. Ternyata hari ini datang juga. "Saya sudah mengetahui semuanya, Bapak Reiner yang terhormat. Rencana anda yang ingin membuat saya hamil dan dengan sengaja akan menggugurkan janin yang saya kandung nantinya. Anda akan membayar orang membuat saya keguguran saat saya hamil nanti. Maka dari itu anda sering menyentuh saya supaya saya cepat hamil dan rencana anda berjalan dengan sempurna. Begitu kan?" Giska mengeluarkan sedikit rasa pahit dari luka yang selama ini ia rasakan. Giska berusaha sekuat tenaga tidak memberikan tatapan terluka pada pria itu. Giska tidak ingin pria itu tau bahwa ia masih terluka. Reiner terdiam. "Jika inti maksud dari rencana anda saat itu adalah untuk menyakiti saya, tanpa rencana itu selesai pun anda berhasil menyakiti saya waktu itu. Jadi apakah informasi yang saya berikan barusan sudah cukup? Apakah mulai sekarang bisa kita akhiri semuanya? Saya benar-benar tidak mau lagi bertemu dengan anda. Alasan saya cukup jelas kan?" Giska mengucapkan seluruh kalimatnya dengan tatapan lurus ke arah kedua mata yang dulu selalu membuatnya terpesona. Sementara itu disisi lain Reiner hanya diam sambil menatap kedua mata Giska lekat-lekat. Ada luka yang mengintip dari sorot mata Giska. Sialnya Reiner malah kehilangan fungsi otaknya saat ini melihat bagaimana mata itu berucap dengan genangan air yang perlahan tapi pasti muncul. Reiner merasa seakan seluruh inderanya mati saat itu juga. Ia bagaikan patung yang hanya mampu terdiam. Kini sebuah pertanyaan muncul dalam kepalanya memang sedalam apa luka yang wanita itu miliki sehingga mata itu terlihat seperti itu? Giska yang sekuat tenaga menahan segala emosi yang berkecamuk dalam dirinya pun hanya tersenyum tipis. "Saya sungguh harap setelah ini anda tidak lagi mengganggu saya. Lebih baik untuk kita tidak saling bersinggungan. Kalau pun tidak sengaja berpapasan mari bersikap seperti orang asing yang tidak saling mengenal." Reiner tidak melakukan pergerakan apapun selain menatap dirinya. Giska pun sudah merasa tidak memiliki energi lagi. Energinya terkuras habis untuk mengungkapkan apa yang ia pendam selama ini padahal belum semuanya ia ungkapkan namun ia merasa sudah kelelahan. Giska mengambil tasnya dan dengan segera meninggalkan ruangannya dengan segera. Giska menuju mobilnya. Tanpa sadar air mata mengaliri wajah Giska. Giska perlu menenangkan diri. Giska pun memutuskan pergi ke Ancol. Pantai akan selalu menjadi tempatnya melepas segala beban berat yang ia rasakan. Reiner masih berada di dalam ruangan Giska, Reiner mengambil ponselnya yang bergetar dan mengangkat panggilan Reno itu, "Pak, Mbak Giska pergi meninggalkan rumah sakit." "Ikuti." Giska benar-benar pergi ke pantai ancol. Ia tidak mungkin pulang dengan perasaan yang campur aduk seperti ini. Reika pasti akan bertanya dan ia tidak mungkin mengatakan yang sebenarnya pada Reika. Giska tau kalau mungkin suatu hari nanti ia akan bertemu dengan Reiner kembali dan membicarakan mengenai masalah mereka yang belum selesai namun Giska tidak menyangka kalau hari ini adalah waktunya. Perpisahannya dengan Reiner memang tidak baik. Ia yang pergi meninggalkan pria itu namun ia memiliki alasan kuat yang tidak mungkin ia beberkan pada pria itu. Giska sungguh berharap kalau Reiner sudah cukup mengerti ucapannya tadi. Giska duduk di tepian yang terbuat dari batu memandangi laut sambil menikmati semilir angin laut. Panas yang menyengat kulit tidak menjadi masalah bagi Giska. Ia hanya perlu waktu sendiri. Segala sesuatu yang berkaitan dengan Reiner akan selalu membuat Giska berada ditepian lukanya yang masih basah. Luka yang ia pikir mulai mengering seiring berlalunya waktu nyatanya masih basah saat ia kembali bertemu dengan orang yang menorehkan luka itu dalam hidupnya. Giska sepenuhnya sadar bahwa masa lalu tidak akan pernah bisa terhapuskan dalam kehidupan seseorang. Giska sadar bahwa cerita antara dirinya dan Reiner tidak akan lenyap walau sekeras apapun Giska mencoba melupakannya. Apa lagi ada Reika yang menjadi bukti nyata bahwa pernah ada cinta diantara dirinya dan Reiner. Ah, salah. Pernah ada cinta dihatinya untuk Reiner karena dihati Reiner tidak pernah ada cinta untuknya. Hanya ada dendam dihati pria itu untuk Giska dan sialnya Giska tidak tau apa kesalahannya. Giska tidak tau siapa Eliza yang menjadi alasan Reiner menghancurkan hidupnya. Mungkin seharusnya Giska mempertanyakan mengenai Eliza, orang yang menjadi penyebab Reiner menghancurkan hidupnya namun mengungkap fakta bahwa ia mengetahui rencana pria itu saja sudah membuatnya merasa sakit yang luar biasa. Mungkin memang lebih baik menutup semua dan memulai yang baru.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN