Masih orang yang sama

1764 Kata
Reiner sedang memacu dirinya mengejar kepuasannya disebuah kamar hotel. Seperti biasanya Reiner pergi ke club malam dan melakukan one night stand dengan wanita yang dengan suka rela melemparkan dirinya sendiri ke atas tempat tidur Reiner. No strings attach kira-kira begitu konsep hubungan Reiner. Ia tidak mau terikat dengan wanita manapun lagi. Ia hanya membutuhkan seorang wanita untuk mengejar kepuasannya. Masa lalunya mengajarkannya untuk tidak lagi terikat dengan seorang wanita. Cukup dua wanita yang masuk dalam kehidupannya dan dua-duanya berhasil mengacak-acak hidupnya. Reiner sempat berada dititik terendah dalam kehidupannya beruntung ada Ghandi dan kedua orang tuanya yang membantunya untuk bangkit. Kini dua minggu sudah Reiner menunggu namun belum ada tanda-tanda Giska kembali. Reiner frustasi akan kenyataan itu dan satu-satunya pelampiasannya adalah kehidupan bebasnya. Reno setiap hari memberi kabar bahwa informan mereka memberi kabar bahwa wanita itu belum kembali. Reiner hanya mengetahui bahwa Giska kembali ke Amerika namun saat di Amerika ia kehilangan jejak kemana wanita itu pergi karena tidak ada petunjuk apapun. Reiner sendiri sudah berkali-kali mencoba mencari tau informasi tentang Giska dari suster rumah sakit namun tidak mendapatkan hasil. Giska masih belum kembali dan belum memberikan kabar pada pihak rumah sakit. Reiner selesai mendapatkan kepuasannya. Reiner melepaskan pelindung karet yang ia kenakan ke tempat sampah dan membersihkan diri. Wanita yang menemaninya mengejar kepuasannya sudah terkulai kelelahan. Reiner yang sedang merasa tidak baik-baik saja pun segera mengenakan pakaiannya dan pergi meninggalkan kamar hotel itu dengan tidak lupa meniggalkan selembar cek dengan nominal yang ia yakin cukup untuk wanita itu bersenang-senang selama sebulan kedepan. Reiner memilih kembali ke apartemen barunya. Sebuah apartemen yang ia beli secara impulsif karena Giska memiliki unit apartemen di sini. Unit apartemen yang tidak terisi banyak furniture ini pun sudah beberapa hari belakangan menjadi tempat Reiner mengistirahatkan dirinya. "Cari orang untuk mengatur apartemen ini, Ren. Beli beberapa furniture baru," Reiner berucap pada Reno yang sedang berada di apartemen itu saat ia sampai. Reno kini tengah membereskan barang-barang Reiner. Reno mengangguk mendengar ucapan bosnya yang baru sampai itu. "Pak, Mbak Giska dan anaknya sudah kembali ke Jakarta. Mereka baru saja meninggalkan bandara Soekarno Hatta," Reno memberi informasi setelah membaca pesan yang dikirimkan informannya. Reiner menyeringai. Yang ia tunggu-tunggu akhirnya tiba. "Ren, coba cari tau bagaimana cara membeli apartemen ini," Reiner berucap dengan nada santai. Reno membulatkan matanya, "B-beli apartemen ini Pak? Maksudnya seluruh gedung apartemen?" Reiner mengangguk. "Kita perlu lini usaha baru dan sepertinya mengelola apartemen tidak buruk." Reno menelan ludahnya sendiri. Reiner dan pemikiran-pemikiran gilanya kadang membuat Reno kerepotan namun permintaan-permintaan gila itu pada akhirnya bisa Reno penuhi karena ia mendorong dirinya sendiri untuk memenuhi tugas dan pekerjaan yang diberikan oleh Reiner. "Akan saya coba cari tau, Pak." "Good. Kamu boleh pulang atau kamu bisa tidur dikamar yang kosong. Lakukan mana yang kamu mau." Reno mengangguk. "Saya akan kembali ke tempat saya saja, Pak. Terima kasih." Reiner mengangguk dan meninggalkan Reno seorang diri. Reiner melepas pakaiannya dan menggantinya dengan kaos serta celana training. Ia merebahkan dirinya di atas tempat tidurnya. Malam semakin larut namun ia belum merasakan kantuk. Ia tengah merasa antusias karena Giska dan anaknya sudah kembali ke Jakarta. Reiner harus memikirkan apa yang akan ia lakukan pada Giska. Kali ini Reiner akan membuat Giska mengakui apa yang sudah terjadi dimasa lalu dan melanjutkan dendamnya yang belum tersampaikan dengan sempurna. *** Mama Fina yang tidak lain adalah Mama Reiner kini akhirnya ditangani oleh Dokter Albert sesuai rujukan Giska. Seorang dokter jantung dengan gelar profesor yang Reiner pikir sudah tua nyatanya adalah seorang pria yang nampaknya seusia dengannya atau lebih tua darinya beberapa tahun. Reiner pun sudah beberapa kali bertemu dengan Dokter Albert terkait kondisi mamanya. Reiner baru saja melihat Dokter Albert keluar dari ruang rawat inap mamanya diikuti beberapa orang suster. Reiner yakin kalau Dokter Albert baru saja memeriksa kondisi mamanya dan pria itu bertemu dengan Giska yang berada di nurse station. Wanita itu tersenyum pada Dokter Albert membuat Reiner semakin ingin membuat senyum itu hilang dari wajah Giska. Seharusnya Giska tidak tersenyum selebar itu setelah apa yang wanita itu lakukan dalam hidupnya. Yang Reiner menginginkan Giska sama hancurnya dengan dirinya. Reiner pun spontan mendekati keduanya. Reiner ingin melihat reaksi wanita itu melihat dirinya. "Selamat pagi Dokter Albert, Dokter Giska." Dokter Albert dan Giska pun spontan menoleh menatap ke sumber suara. Dokter Albert menjawab dengan nada welcome berbeda dengan Giska yang memasang wajah ramah yang dipaksakan saat menjawabnya. "Bagaimana kondisi mama saya, Dok?" Reiner pun berusaha terlihat ramah dan menyenangkan dimata semua orang. Ia bertanya dengan wajah santai pada Dokter Albert. Reiner sadar bahwa Giska tidak nyaman dengan kehadirannya. Sebelas tahun berlalu namun Giska ternyata tetaplah Giska yang sama dengan Giska yang ia kenal sebelas tahun yang lalu. Giska akan mengetuk-ngetukan jarinya saat ia merasa tidak nyaman dan saat ini Giska sedang membaca berkas dengan jari yang menegetuk-ngetuk kertas yang ia baca. Di sisi lain Giska sudah tidak bisa menahan diri. Ia merasa tidak nyaman dan ia memilih pergi dari tempatnya berdiri saat ini. Reiner sedang berbicara dengan Dokter Albert dan ia sudah tidak ada urusan lagi dengan pria itu. Giska pun pergi meninggalkan keduanya namun sial tidak dapat di bendung saat Reiner malah memanggilnya. "Dokter Giska..." Giska menarik nafas dalam-dalam saat berhenti melangkah dan memasang wajah datar saat menatap pria itu. "Siang ini ada acara? Saya mau mengundang Dokter Albert dan Dokter Giska makan bersama sebagai ucapan terima kasih sudah merawat mama saya," Reiner berucap dengan nada ramah bersahabat. Giska berusaha tersenyum formal. "Tidak perlu repot-repot, Pak. Sudah menjadi tugas saya untuk merawat pasien yang membutuhkan bantuan saya. Saya yakin Dokter Albert pun sependapat dengan saya," Giska menolak dengan sopan dengan nada formal lalu di akhir kalimat wanita itu menatap Dokter Albert. Dokter Albert pun mengangguki ucapan Giska dan membenarkannya, "Betul kata Dokter Giska, Pak Reiner. Tidak perlu repot-repot. Kami dengan senang membantu." Reiner tersenyum santai. "Tidak repot. Anggap saja sebagai ucapan perkenalan. Saya senang kalau Dokter Albert dan Dokter Giska mau menjadi teman saya. Saya belum mempunyai teman dekat dari kalangan Dokter. Bukankah punya teman banyak jauh lebih menyenangkan?" Giska tersenyum kaku sambil mengumpat dalam hatinya. Rupanya Reiner tidak mau menyerah dengan mudah. Jelas Reiner tidak ingin ditolak dan Dokter Albert juga menyadari hal ini dan langsung mengiyakan ajakan Reiner. Giska pun akhirnya terjebak. Ia pun ikut mengiyakan ajakan itu karena Dokter Albert mengajaknya. Ia merasa akan aneh jika ia terus kekeuh menolak. Dokter Albert dan para suster tidak mengerti masa lalunya dengan Reiner. Reiner sendiri tersenyum puas. Giska dan Dokter Albert memenuhi ajakannya. Reiner memang akan selalu mendapatkan apapun yang ia mau dan Reiner mempunyai agenda tersembunyi dari makan siang bersama ini. Tepat pada jam makan siang Giska menuju restoran dekat rumah sakit. Giska masuk ke dalam ruangan private dan terkejut karena baru ada Reiner disana. "Ayo, silahkan masuk," Reiner berucap sambil tersenyum dan bernada ramah. Giska menghela nafas perlahan dan duduk dihadapan Reiner. Giska memasang wajah datar pada Reiner dan mengambil ponsel disakunya. "Jika kamu ingin menanyakan dimana Dokter Albert maka jawabannya dia tidak akan datang. Dia ada operasi dadakan," Reiner berucap dengan senyum lebar diwajahnya. Giska pun menghela nafas panjang, memasukan ponselnya ke sakunya kembali. "Kalo begitu saya permisi." Reiner masih tersenyum. "Belasan tahu tidak bertemu ternyata kamu berubah menjadi wanita yang dingin dan tidak sopan, Giska. Padahal seingatku dulu kamu begitu panas dan menyenangkan." Reiner tersenyum miring diakhir kalimatnya. Giska mengerti maksud ucapan terakhir Reiner. Giska pun bersedekap sambil menyenderkan punggungnya, "Apa lagi yang anda inginkan? Jika anda masih ingin membahas mengenai masa lalu. Saya sudah dengan tegas katakan waktu itu. Masa lalu sudah berlalu dan saya tidak ingin membahas apapun mengenai masa lalu." Reiner tersenyum hingga lesung pipinya terlihat. "Baiklah. Kita tidak akan membahas mengenai masa lalu. Mari berbagi cerita tentang kehidupan kita saat ini. Aku begitu ingin mengenal Reika." Giska menegang ketika Reiner menyebut nama Reika. Semua syarafnya seakan waspada ketika Reiner menyebutkan nama putrinya, "Untuk apa kamu mau tau tentang Reika?" Reiner masih terus tersenyum. Giska tetaplah Giska yang ia kenal dulu. "Bukankah kamu sendiri yang bilang tidak ingin membahas mengenai masa lalu? Kita baru bertemu lagi jadi jika tidak membahas masa lalu bukankah kita harus membahas mengenai kehidupan kita saat ini?" Giska mengepalkan tangannya erat, "Apa yang anda rencanakan?" Reiner justru tertawa mendengar pertanyaan Giska. Nada bicara Giska yang begitu defensif penuh permusuhan membuat Reiner semakin semangat melanjutkan rencananya. "Aku hanya ingin tau. Aku penasaran siapa ayahnya. Kamu berselingkuh dengan pria lain saat kita masih bersama?" Giska melihat wajah Reiner berubah ketika mengucapkan kalimat terakhirnya. Giska kini mengerti. Reiner pasti menuduhnya berselingkuh saat mereka masih bersama. "Ayah Reika sudah mati." Giska melihat tubuh Reiner membeku saat mendengar jawabannya. Reiner terlihat terkejut. Namun apa yang ia ucapkan adalah sebuah kenyataan. Baginya Ayah Reika sudah mati. Saat pria itu berencana menyingkirkan Reika bahkan saat anaknya masih berada di dalam kandungannya, Giska sudah menganggap Reika tidak memiliki seorang ayah. Seorang ayah yang normal adalah ayah yang melindungi anaknya sendiri bukannya sebaliknya. Sehingga Giska memilih menganggap ayah Reika sudah mati dibandingkan mengakui kenyataan bahwa pria itu masih hidup namun beresiko menyakiti perasaan putrinya sendiri saat putrinya tau bahwa kehadiranya sempat ditolak dan bahkan ia ingin disingkirkan dari dunia ini. "Anak yang malang.. Sekecil itu ia harus merasakan kejamnya dunia," Reiner berucap dengan nada yang sulit Giska artikan. "Anda tidak perlu merasa kasihan. Walau ayahnya sudah mati tapi ia hidup dengan penuh kasih sayang. Jadi apa pertanyaan anda mengenai putri saya sudah selesai? Saya permisi kalau pembicaraan ini sudah selesai." Reiner menyenderkan punggungnya dan menatap Giska lekat-lekat, Reiner tersenyum pada Giska. Ya, Reiner menjadi pria yang banyak tersenyum saat ini karena rencananya berjalan mulus, "Kenapa kamu begitu ingin menjauh dari aku? Seingatku dulu kamu sangat suka berada di dekatku. Kita bahkan sering berbagi kehangatan. Bukankah menyenagkan bisa mengulangi apa yang terjadi di masa lalu?" Giska mengepalkan tangannya. "Saya pikir belasan tahun berlalu akan mengubah anda. Nyatanya anda masih tetap menjadi orang yang sama." Reiner pun tertawa lepas mendengar ucapan Giska. Giska pun mengerutkan alisnya melihat respon Reiner. Reiner pun berusaha menghentikan tawanya dan menatap Giska lekat-lekat, "Aku pikir hanya aku yang memiliki pemikiran itu. Ternyata kamu pun memiliki pemikiran yang sama. Ternyata kita sama-sama masih orang yang sama walau sudah belasan tahun berlalu." Giska mengerutkan alisnya mendengar ucapan Reiner. Reiner sendiri menatap lekat-lekat Giska, "Kalau kamu bisa menilai aku adalah orang yang sama dengan yang ada di masa lalu, berarti seharusnya kamu tau kalau aku adalah orang yang pantang menyerah. Saat aku menginginkan sesuatu maka aku akan berusaha mendapatkannya. Terlebih lagi di masa lalu kita masih punya cerita yang belum kita selesaikan." Tubuh Giska menegang. Giska mengerti maksud Reiner. Tanpa sadar tangan Giska gemetaran. Giska pun spontan menautkan kedua tangannya. Kini apa yang harus ia lakukan?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN