BAB 23

1268 Kata
"Wah, ini bagus sekali," puji Alodia. "Ini juga bagus, kainnya lembut," puji Alora tak mau kalah. Gadis itu sangat suka menyentuh kain yang lembut dan dingin itu. Sementara itu, Althea dengan tenang melihat sepatu berwarna krem yang terbuat dari sutera. Sepertinya gadis itu juga tertarik seperti para adik-adiknya. Suasana pasar siang itu cukup ramai. Althea dan adik-adiknya juga sedang berjalan-jalan di tempat itu. Melihat pakaian bagus, juga pernak-pernik perhiasan yang cantik. Bahkan tak jarang mereka menghabiskan uang yang diberikan oleh sang ayah untuk membeli semua barang yang mereka inginkan. Mata mereka begitu termanjakan oleh barang-barang yang hanya bisa dimiliki kaum bangsawan itu. Membuat para putri harus memilikinya. Hingga akhirnya tanpa pertimbangan mereka membeli barang yang mereka inginkan. Mereka hanya berlima saja, karena si bungsu mereka perintahkan untuk pergi mencuci di sungai sementara sang kakak sulung masih marah dan belum berbaikan dengan mereka. Kelima gadis yang sedang melihat kain sutera dan barang lain seraya bercanda itu menghentikan langkah mereka saat melihat kerumunan di depan sana. Kelimanya saling pandang, bertanya-tanya ada apa gerangan hingga para penduduk berkumpul di depan papan pengumuman. "Ada apa ya, Kak?" tanya Agni pada Althea. "Entahlah, aku juga tidak tahu. Mari kita lihat saja. Sepertinya seru, sampai mereka begitu tertarik. Aku jadi penasaran juga," ajak Althea. Keempat gadis itu lantas mengikuti langkah Althea yang berjalan di depan. Mereka membelah keramaian tanpa peduli dengan orang lain. Mereka tak segan berteriak meminta semua orang minggir. Semua orang lantas menyingkir, memberi jalan, saat tahu para putri Athura yang datang. Para penduduk tidak ingin terkena masalah jika sampai melawan para putri congkak itu. "Tepi, tepi! Beri kami jalan!" ucap Apsara dengan angkuh dan sombong. Keempat gadis yang lainnya pun tak kalah sombong, mereka berjalan dengan membusungkan d**a. Seolah mereka adalah putri yang terhormat. Seolah mereka berada di kasta yang berbeda dengan para penduduk desa. Mereka berempat sibuk membanggakan diri, atau kadang mereka berdebat untuk hal yang sepele, sementara Althea mulai membaca papan pengumuman. Senyum manis terbit di bibir gadis itu setelah ia tahu isi pengumuman tersebut. Ia sangat bahagia karena hari yang ia nantikan akhirnya tiba juga. "Diamlah! Mari kita baca pengumuman!" ucap Agni. Akhirnya mereka berhenti berdebat dan membaca dengan seksama. Senyum pun ikut tersungging di bibir gadis itu saat mengetahui bahwa isi pengumuman itu adalah tentang kompetisi pemilihan putri mahkota. "Wah, seminggu lagi? Aku bahkan belum mempersiapkan apa pun," keluh Alora. "Aku juga apalagi, Kak. Sama sekali belum belajar. Aku jadi tidak yakin dengan diriku sendiri." Alodia turut mengiyakan. "Kalau aku tentu sudah. Karena setiap hari aku diam-diam mengintip Kak Amayra yang dibimbing oleh ibu. Jadi, ada banyak hal yang bisa aku pelajari darinya," ucap Apsara dengan bangganya. "Wah, ternyata Kamu curang ya. Pantas saja aku sering melihatmu naik di atas pohon setiap senja tiba. Rupanya Kamu mencuri ilmu dari Kak Amayra ya. Kalau begitu, ajari aku," perintah Agni, sang kakak ketiga. "Ah, bagaimana caranya aku mengajari Kakak. Aku lupa mencatat semua yang ibu katakan," ucap Apsara seraya mengerucutkan bibirnya. "Alasan saja! Meskipun Kamu tidak mencatatnya, aku yakin Kamu pasti ingat apa yang ibu ajarkan!" ucap Agni sinis. "Tapi ilmu itu sudah terlanjur masuk di otakku, mana bisa dibagi-bagi dengan yang lainnya," ucap Apsara seraya menyengir kuda. "Dasar pelit! Bilang saja, Kamu hanya mau pintar sendiri!" Agni menoyor kepala adiknya. "Aduh! Itu Kakak tahu." Agni terkikik geli. "Tapi aku tak suka Kakak menyentuh kepalaku yang berharga. Jangan berani menyentuh kepalaku apalagi memukulnya. Karena otak ini yang akan membawaku ke pelukan putra mahkota." "Cih! Mimpi saja! Ada Kak Amayra, ada Kak Althea. Bahkan gadis keluarga lain yang lebih pintar darimu cukup banyak. Kau pikir bisa mengalahkan mereka?" ejek Agni. "Yang penting aku akan berusaha. Siapa yang tahu jika nanti ada suatu keajaiban yang mewujudkan mimpi-mimpiku," ucap Apsara tak mau kehilangan semangat. Baginya, yang penting ia bermimpi dulu. "Terserah! Asal jangan sampai Kamu kecewa dan menangis saat kalah nanti," ejek Agni lagi. "Kakak!" rengek gadis itu. "Sudah, sudah! Kalian jangan bertengkar terus. Baca pengumumannya baik-baik. Pelajari apa yang sekiranya perlu, untuk kita berkompetisi nanti. Jangan sampai ada kesalahan," nasihat Althea dengan tenang. "Kak Thea benar juga. Mari kita baca secara seksama." Akhirnya kelima gadis itu membaca sekali lagi dengan tenang. "Yah, aku tidak bisa menjahit," ucap Alora. "Aku bisa, tetapi aku tidak bisa memainkan kecapi," ucap Alodia. "Aku hanya bisa sedikit menjahit dan memainkan kecapi. Tapi tidak terlalu bagus hasilnya, kemampuanku di bidang itu sungguh tidak dapat diandalkan. Sepertinya aku harus belajar dan berusaha lebih keras," ucap Apsara. Mereka kembali berdebat seusai membaca kriteria kompetisi. Sementara itu, Althea tersenyum tenang. Ia tidak perlu mengkhawatirkan apa pun. Karena ia menguasai semua keahlian itu. Althea bertambah yakin jika ia bisa menang saat kompetisi nanti. Itu artinya keinginannya untuk hidup bersama pangeran Kairos akan menjadi kenyataan. Tiba-tiba saja, wajah Althea memerah karena malu. Sungguh, gadis itu telah jatuh hati kepada sang putra mahkota. *** "Apa Kalian sudah melihat pengumuman yang terpasang di setiap sudut kota?" tanya Athura pada para putrinya setelah makan malam selesai. "Iya, sudah, Ayahanda." Althea menjawab dengan sopan. "Tadi saat Kami pulang dari sungai dan melintas dekat pasar Kami melihat kerumunan. Rupanya mereka melihat pengumuman yang dipasang oleh pengawal kerajaan." Althea menyelipkan sedikit kebohongan. Karena pada kenyataannya, ia membuat si bungsu ke sungai sendirian sementara ia dan para putri yang lainnya bersenang-senang di pasar. "Bagus kalau kalian sudah melihatnya. Ayahanda harap Kalian semua bisa mengikuti kompetisi itu. Ayah juga berharap akan ada yang menang salah satu di anak kalian. Entah siapa pun itu ayah tak peduli," ucap Athura. "Ayah, Amayra pergi ke kamar ya. Sepertinya Amayra merasa tak enak badan," pamit gadis itu. Sebenarnya Amayra merasa muak membicarakan tentang kompetisi itu. Sungguh, ia tidak suka saat adik-adiknya akan ikut berpartisipasi. "Tapi kita sedang membicarakan hal yang ...." "Biarkan saja Amayra beristirahat, Kanda. Nanti Bunda yang akan sampaikan padanya. Apa pun yang Kanda sampaikan," ucap Gaia merayu suaminya demi si putri sulung. Karena Gaia tahu hati Amayra akan terluka jika mengingat kegagalan pernikahannya dengan putra mahkota. "Kamu selalu memanjakan putri-putrimu," gerutu Athura. "Baik, pergilah!" Amayra membungkukkan badan, sebagai bentuk penghormatan bagi sang ayah. Lalu dengan cepat gadis itu pergi dan kembali ke kamarnya. Selepas kepergian Amayra, Athura kembali membicarakan tentang kompetisi itu. Ia mengharuskan semua putrinya mengikuti kompetisi itu, tanpa terkecuali. "Ayah tidak mau tahu. Kalian semua harus ikut!" ucap Athura. Tiba-tiba saja si bungsu mengangkat tangannya, meminta kesempatan agar bisa berpendapat. "Iya, Rora. Ada apa?" Athura tidak menyangka putrinya yang paling penurut ingin mengeluarkan pendapat. "Ayahanda, sepertinya ... Rora tidak ingin mengikuti kompetisi tersebut," ucap gadis itu takut-takut. Athura mengernyitkan keningnya. "Memangnya kenapa, Rora?" "Rora merasa tidak pantas ikut. Ilmu Rora masih sangat sedikit," ucap gadis itu berusaha memberikan alasan yang tepat. Athura mengembuskan napas kasar, pria itu lalu tersenyum dan mengelus kepala sang putri kesayangan. "Kamu harus percaya diri, Nak. Meskipun Kamu masih harus banyak belajar, jangan putus asa sebelum mencobanya. Justru ayahanda akan sangat malu jika Kamu tidak mau berusaha dan mencoba. Buktikan bahwa Kamu adalah putri kebanggaan Athura." "Ba-baik, Ayah." Aurora sangat bingung. Di satu sisi, ia memiliki janji pada Kai bahwa ia harus menikah dengan pria tersebut. Di sisi lain, ia tidak bisa menolak permintaan sang ayah. Namun, jika ia ikut kompetisi, itu artinya ia telah mengkhianati janjinya pada pria yang ia cintai. 'Rora, ada begitu banyak peserta kompetisi. Mustahil kalau Kamu akan jadi pemenangnya. Jadi apa yang perlu Kamu khawatirkan? batin gadis itu. Aurora merasa lega. Sepertinya ia tidak perlu mengkhawatirkan apa pun. Ia hanya perlu minta izin pada Kai untuk mengikuti kompetisi. Ia akan berjanji pada pria bahwa ia tidak akan memenangi kompetisi dan akan tetap menikah dengan pria itu. Karena ia hanya melakukan semua itu demi permintaan ayahnya. Demi kehormatan Athura yang perkasa.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN