BAB 22

1313 Kata
Matahari bersinar dengan terik saat gadis itu tengah sibuk dengan begitu banyak pakaian yang harus ia cuci sampai bersih. Ia terus saja menggerakkan jemarinya, mengucek, membantingnya ke bebatuan dan memerasnya hingga kadar air berkurang. Hal itu sudah ia lakukan sejak setengah jam yang lalu, dan masih ada empat bakul lagi yang harus ia kerjakan. Peluh yang menetes di dahinya tak ia hiraukan. Pun dengan pipinya yang merah merona karena sang surya ia abaikan. Ia harus cepat-cepat menyelesaikannya sebelum senja datang. Hari itu ia pergi sendiri lagi. Kali ini lebih parah dari biasanya. Ia harus membawa semua pakaian saudaranya ke sungai sendirian. Sungguh sangat melelahkan bagi Aurora. Berjalan dengan begitu banyak bakul di gendongannya saja sudah membuat ia sangat penat apalagi ia harus mencuci semuanya sendirian. Baru setelah dua jam ia berkutat dengan air dan ramuan untuk mencuci, pekerjaannya hampir selesai. Tinggal sebuah selendang kesayangan Amayra yang belum ia cuci. Aurora sengaja mengerjakannya paling akhir. Karena benda itu sangat berharga dan membuatAurora sangat berhati-hati karenanya. Namun, malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Hembusan angin yang cukup kencang berhasil menerbangkan selendang berwarna merah muda itu. Membuatnya melayang-layang di udara. Aurora berusaha meraihnya, tetapi selendang itu terbang terlalu tinggi dari jangkauannya. Semakin menjauh dan akhirnya jatuh ke sungai. Aliran arus yang cukup kuat membuat selendang itu sekejap mata saja menghilang bahkan sebelum Aurora sempat menyelamatkannya. Alhasil, gadis itu menangis sesenggukan mengingat betapa pentingnya selendang itu. "Huhuhu, apa yang harus aku katakan pada Kak Amayra? Dia pasti akan sangat kecewa padaku. Bukan! Sudah pasti dia sangat marah," gumamnya di sela isakan tangis. "Kamu bodoh, Rora! Kamu bodoh! Kenapa Kamu membiarkan selendang itu terbang. Kenapa Kamu tidak segera meraihnya tadi." Gadis itu memukuli keningnya karena kesal. Aurora yakin, jika ia pulang nanti Amayra akan mengamuk jika tahu selendang kesayangannya ia hilangkan. Bukan hanya amukan, bahkan mungkin ia juga akan menerima hukuman yang cukup berat. "Daripada aku menangis terus, lebih baik aku menyusuri sungai untuk mencarinya," ucapnya seraya menghentikan tangis. Diusapnya matanya yang memerah dan basah dengan ujung lengan baju. Lalu, Aurora segera menyimpan semua pakaian bersih itu di tempat yang aman. Tanpa ragu, gadis itu kembali masuk ke dalam sungai. Ia terus saja berjalan menyusuri sungai seraya bertahan di tengah derasnya aliran air. Masih dengan air mata yang bercucuran, ia terus saja mencarinya, mengedarkan pandangan ke segala arah. Berharap benda berwarna merah jambu itu tersangkut di bebatuan atau di ranting kayu yang mengambang di sungai. Namun, harapan tinggal harapan. Sudah satu jam lamanya ia mencari. Ia juga sudah berjalan cukup jauh, tetapi ia tidak melihat selendang itu sama sekali. "Huhuhu, pasti selendang itu sudah hanyut cukup jauh, atau mungkin sudah sampai hilir atau laut," ucap Aurora sedih. "Hiks! Aku harus bagaimana? Di tengah derasnya air sungai, ia menutup wajah dengan telapak tangan. Air mata terus saja bercucuran meski tak ia pinta. "Jangan menangis lagi. Kamu akan terlihat jelek dengan air mata dan hidungmu yang memerah itu." Suara yang sangat Aurora kenali menyapa telinganya. Gadis itu membuka telapak tangannya. Melihat pria itu dengan mata yang sembab dan memerah. "Benarkan kataku? Kamu jelek dengan hidung merahmu ini," ledek Kai. Ternyata pria itu datang dan mengikuti langkah Aurora. "Bagaimana Kamu bisa tahu aku ada di sini?" tanya Aurora. "Karena aku mengikutimu sejak tadi," ucap pria itu santai. "Jadi Kamu ... mengikutiku! Lalu, kenapa Kamu tidak membantu aku?" tanya Aurora kesal. Sementara itu, Kai malah senyum-senyum sendiri, seolah meremehkan gadis itu. "Kamu menertawakan aku? Kamu senang kalau aku dihukum oleh kakak-kakakku?" tuduh Aurora. Pria itu menggeleng. "Tidak! Bahkan aku belum mengatakan apa pun. Bagaimana Kamu bisa menuduh aku seperti itu?" "Kalau Kamu bersimpati, Kamu bisa bantu aku. Atau paling tidak hibur aku bukannya menertawakan aku," ucap gadis itu penuh emosi. "Aku tidak menertawakanmu," sangkal Kai. "Itu tadi ...," tuduh Aurora. "Aku hanya tersenyum, Rora. Bagaimana aku bisa menertawakan kesedihan orang yang aku cintai?" ucap Kai dengan lembut. "Kalau begitu bantu aku menemukannya," pinta Aurora. "Kalau aku berhasil menemukannya, apakah ada imbalan istimewa yang akan Kamu berikan padaku?" tanya Kai. "Imbalan? Aku bahkan tidak memiliki apa pun yang bisa aku berikan," ucap gadis itu sedih. "Ada! Kamu memiliki sesuatu yang sangat berharga dan sangat aku butuhkan," ucap Kai. "Apa itu?" tanya Aurora yang kesulitan memahami setiap ucapan pria tersebut. "Hatimu! Berikan hatimu padaku, aku akan menemukan benda yang Kamu cari secepat-cepatnya," janji Kai. "Kai, apakah menurutmu ini waktu yang tepat untuk bergurau? Aku sangat sedih." Aurora kesal karena mengira Kai terus menggodanya. "Aku tidak bergurau, Rora. Aku bersungguh-sungguh. Aku janji akan mencarinya untukmu asalkan Kamu memberikan hatimu untukku. Asal Kamu menikah denganku," ucap Kai serius. "Kamu membahas pernikahan lagi?" gumam Aurora tak seberapa jelas. Ia bingung, pria itu selalu membicarakan pernikahan yang bahkan tidak pernah ia bayangkan. "Mau atau tidak mau!" tantang Kai. "Iya, mau." Tak ada jalan lain untuk Aurora. Lagipun mungkin menikah dengan pria itu bukan hal yang buruk. Karena ia juga menyukai Kai. "Aku pegang janjimu. Apa pun yang terjadi nanti, Kamu harus menikah denganku saat aku memintanya. Aku akan menanti sampai saat itu tiba dan tidak menerima segala bentuk penolakan. Kamu harus menepati janjimu," ucap Kai. "Iya, baiklah. Aku berjanji padamu, Kai. Aku akan menuruti semua perkataanmu asalkan Kamu menemukan selendang itu." "Bagus, aku akan segera mencarinya. Tunggulah di batu itu aku akan menemukannya untukmu." Pria itu lantas membawa Aurora ke tepian. Menyurut gadis itu duduk di atas batu besar berwarna hitam lalu pergi mencari selendang itu. "Semoga Kai berhasil menemukannya," ucap Aurora seraya menggigit bibir bawahnya. Sungguh, hatinya tidak akan tenang sebelum selendang itu kembali padanya. *** Dengan gelisah ia menunggu Kai yang tak kunjung datang. Waktu telah berlalu, tetapi pria itu belum menampakkan batang hidungnya. Dalam hati, Aurora hanya bisa berdoa agar Kai segera kembali dengan selendang Amayra. Senyum gadis itu mengembang saat akhirnya pria itu datang dengan selendang yang ia cari. Kai benar-benar menepati janjinya untuk menemukan selendang untuknya. "Kamu berhasil membawanya kembali?" Aurora sangat terharu ketika Kai menyerahkan selendang itu. "Iya, tentu saja demi janji yang akan aku tagih suatu hari nanti." Ucapan pria itu terdengar begitu menyebalkan di telinga Aurora. Fakta bahwa pria itu melakukannya demi mendapatkan sesuatu darinya membuat kebahagiaan Aurora menghilang. "Mulai saat ini, Kamu harus menuruti semua keinginanku dan tidak dapat menolak. Karena Kamu sudah memberikan hatimu padaku, maka semua bagian dari dirimu adalah milikku," ucap pria itu posesif. "Mana mungkin bisa begitu ...," protes Aurora tak terima. "Bisa karena aku yang membuat peraturannya. Ayo, ikut aku!" ucap pria itu seraya meraih jemari Aurora. "Mau ke mana lagi?" tanya Aurora. "Ke tempat yang sama dengan waktu itu," ucap Kai. "Tidak mau!" tolak Aurora cepat. Ia merasa ngeri saat membayangkan harus terbang di angkasa lepas. "Tidak ada penolakan, Rora. Ingat, Kamu harus menepati janjimu." "Tapi aku takut terbang seperti itu." Akhirnya, Aurora harus mengatakan alasannya menolak. "Tidak masalah. Kamu bisa memeluk aku dan memejamkan mata. Serahkan sisanya kepadaku," ucap pria itu dengan senyuman misterius. "Sebenarnya apa yang akan kita lakukan di sana? Kenapa harus jauh-jauh ke sana?" Aurora masih berharap bahwa Kai akan melepaskannya. "Seperti kataku. Kamu harus belajar banyak hal. Ilmu bela diri, magis, dan pengobatan baik dalam maupun luar," ucap Kai. "Apa gunanya aku belajar seperti itu?" "Sudahlah, tidak perlu banyak tanya! Mulai hari ini sampai sebulan ke depan, aku akan mengajarimu banyak hal. Banyak ilmu pengetahuan yang bahkan tidak dapat Kamu dapatkan di mana pun. Aku yakin, suatu saat nanti Kamu akan sangat bersyukur karenanya," ucap Kai. Dan nyatanya, ucapan Kai benar adanya. Sebulan ke depan, Aurora harus membiasakan diri dengan segala hal baru yang Kai ajarkan padanya. Kai benar-benar menempanya dengan begitu keras. Pria itu bersikap layaknya seorang guru yang tegas. Beruntung gadis itu cukup pintar dan cepat belajar. Dalam waktu sebulan, Aurora dapat menguasai segala ilmu yang Kai ajarkan. Dari ilmu bela diri, ilmu pedang dan pengobatan luar dalam. Ia juga tak takut lagi saat Kai membawanya terbang ke angkasa. Bahkan ia mulai berani terbang sendiri. Aurora bisa melakukannya seperti yang pria itu ajarkan kepadanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN