Angin berembus semilir, menerbangkan dedaunan yang jatuh ke tanah. Juga rambut gadis itu yang basah oleh keringat. Ia biarkan melayang dimainkan oleh sang bayu. Terasa sangat segar saat seluruh tubuhnya yang panas terasa sejuk kembali berkatnya.
Saat ini, ia tengah beristirahat setelah mendapatkan pelatihan khusus dari kekasihnya. Perkembangan belajar Aurora sangat cepat. Semua ilmu yang Kai berikan, gadis itu serap dengan baik. Pria itu sampai kagum dan sangat bangga pada gadis lugu dan polos tersebut. Kai semakin yakin kalau Aurora adalah gadis yang paling cocok untuk menjadi pendampingnya. Semua kriteria yang ia inginkan ada pada gadis itu.
"Kai!" panggil gadis itu ragu-ragu pada pria yang kini tengah duduk di sampingnya.
"Hm?" jawab pria itu tanpa menoleh, terkesan tak acuh. Kai sibuk menatap birunya langit di atas sana.
"Ada yang perlu aku katakan padamu." Aurora menggigit bibirnya, ia tidak tahu harus mulai dari mana.
"Katakan saja! Aku akan mendengarkanmu." Bukannya bercerita, gadis itu malah menunduk dalam-dalam dan membisu.
Kai menoleh saat suasana menjadi hening. Gadis yang baru saja bilang ingin mengatakan sesuatu itu justru membisu, belum mengucapkan sepatah kata pun. Kai memandang wajah gadis yang ia cintai dengan bingung. "Ada apa, Rora? Apa ada masalah?"
Gadis itu mengangguk lemah. Membuat Kai sangat mengkhawatirkannya.
"Apa Kamu sakit? Apa saudara-saudaramu menyakitimu lagi? Katakan padaku dan akan aku beri pelajaran pada mereka," ucap Kai geram.
"Bukan begitu. Mereka tak menyakiti aku lagi, kok."
"Lalu apa? Coba katakan dengan jelas agar aku paham," perintah Kai.
"Sebenarnya ...." Aurora masih meragu, akan mengatakannya pada Kai atau tidak.
"Iya, katakan saja, Rora. Jangan membuat aku penasaran," ucap Kai tak sabar.
"Begini, Kamu pasti sudah tahu tentang kompetisi pemilihan putri mahkota," ucap Aurora dengan hati-hati.
"Iya, kenapa?" tanya Kai.
"Tunggu dulu sampai aku selesai bicara." Aurora kesal karena Kai seperti tak sabar sementara ia kesulitan untuk mengungkapkannya.
"Iya iya, maka dari itu cepat katakan."
"Begini, mengenai hal itu ... ayah memintaku untuk mengikutinya. Padahal aku sudah menolaknya dan berkata tidak akan ikut dalam kompetisi tersebut. Akan tetapi, ayah mendesakku agar tetap ikut. Aku bukannya ingin mengkhianati janjiku padamu dan ingin menikah dengan putra mahkota, Kai. Aku hanya tidak bisa menolak permintaan ayahanda. Aku tidak ingin membuatnya bersedih. Jadi bisakah Kamu izinkan aku mengikutinya?"
Kai tersenyum senang mendengar ucapan Aurora. Ternyata gadis itu tidak pernah melupakan janji untuk menikah dengannya. Ia bahagia, saat menyadari bahwa Aurora memang sangat berbeda dengan gadis-gadis yang selama ini ia kenal. Aurora memandangnya murni sebagai sosok Kai, bukan karena hal yang lainnya.
"Ikutlah!" ucap Kai dengan wajah yang datar. Padahal, di dalam hatinya, ia bahagia. Memang hal itu yang sangat ia inginkan. Ia ingin Aurora berkompetisi untuk mendapatkan dirinya.
"Benarkah Kamu tidak apa-apa? Aku janji, Kai. Aku akan tetap menjaga hatiku untukmu. Aku akan mengikutinya, tetapi aku janji tidak akan bersungguh-sungguh. Aku janji tidak akan memenangkan kompetisi tersebut," bujuk Aurora.
Kai sangat bahagia mendengar ada seseorang yang bahkan ingin mengorbankan impian ayahnya hanya demi dirinya. Bahkan itu adalah impian yang sangat besar. Sesuatu yang diimpikan oleh seluruh rakyat di negeri ini. Namun, Kai tidak akan membiarkan Aurora mengalah. Ia harus mendorong gadis itu agar mengikuti kompetisi dengan semaksimal mungkin. Ia ingin Aurora yang memenangkan kompetisi tersebut.
"Rora, dengarkan aku. Aku ingin Kamu melakukannya. Aku ingin Kamu mengikuti pemilihan putri mahkota. Tapi, aku tidak ingin Kamu melakukan dengan asal-asalan atau bahkan sengaja ingin mengalah. Aku, Kai kekasihmu ini ingin Kamu bersungguh-sungguh dan berjuang agar Kamu menjadi pemenangnya," ucap Kai dengan lembut.
Ucapan Kai berhasil membuat bibir Aurora menganga lebar. Di luar dugaannya, yang mengira bahwa Kai akan marah kalau ia mengikuti kompetisi. Justru pria itu ingin ia ikut. Terlebih pria itu menginginkan kemenangannya.
"Tapi, Kai. Kamu tahu sendiri apa yang akan terjadi jika sampai aku memenangkan kompetisi. Itu artinya aku akan menikah dengan orang lain," ucap Aurora sedih.
"Rora, takdir jodoh dan maut adalah rahasia Yang Maha Kuasa. Jadi, apa yang perlu kita khawatirkan? Jika memang kita berjodoh, aku yakin kita akan bersatu suatu saat nanti. Entah bagaimana caranya," ucap Kai dengan senyuman. "Aku sudah mengajarimu banyak hal, jadi aku tidak ingin Kamu mengecewakan aku. Aku ingin Rora-ku menang."
Aurora tidak menyangkal bahwa apa yang Kai katakan benar adanya. Namun, ia bingung dengan pola pikir pria itu. Bukankah mengharapkan kemenangannya sama saja menyerahkan dirinya pada pria lain. Sungguh, gadis itu tak mengerti.
"Ah ya, mulai besok aku ingin Kamu lebih giat melatih tenaga dalammu. Aku juga akan membawakan Kamu buku-buku yang bermanfaat. Dalam waktu seminggu ini aku ingin Kamu menguasai semuanya," ucap Kai.
"Itu sangat mustahil. Bagaimana caranya aku menguasai buku tersebut sementara kita hanya belajar dalam waktu yang sangat singkat?" Mata Aurora membelalak tak percaya. Baginya, ucapan Kai adalah sesuatu yang sangat mustahil.
"Kamu lupa? Ada aku di sini. Aku yang akan membuatmu mampu melakukannya. Mengenai tugasmu, bukankah ada Aurora palsu yang pandai dan penurut?" ucap pria itu seraya menaik-turunkan alisnya penuh maksud.
"Kamu memang selalu berhasil memaksaku. Baiklah, aku akan menuruti semua kata-katamu," ucap Aurora.
"Bagus!" Kai mengacak poni gadis itu. "Aku tidak mau tahu. Kamu harus menang. Tidak ada alasan apa pun."
Kamu harus menjadi putri mahkota, Rora. Karena aku hanya menginginkan Kamu, gadis baik hati yang tidak haus kekuasaan dan harta, batin Kai penuh harap.
***
Sementara itu di kediaman Athura, Aurora yang dibuat oleh Kai dari cahaya tengah membantu memasak di dapur. Sosok itu sangat rajin, tidak ada bedanya dengan Aurora. Hanya saja, sosok itu jarang bicara kalau tidak diperlukan. Terlihat dingin dan kurang bersahabat.
Aurora palsu telah mengerjakan semua pekerjaan tuannya dengan sempurna dan cekatan. Sampai-sampai pelayan di rumah itu dibuat takjub karenanya.
Brakk!
Dua orang gadis itu datang saat Aurora tengah memotong sayur-sayuran. Mereka memandang rendah kepada Aurora yang mereka perlakukan seperti b***k.
"Wah, lihatlah Aurora kita. Begitu rajin dan pintar. Sampai-sampai tidak memerlukan apa pun lagi agar bisa ikut kompetisi," sindir Alodia.
"Benar, Kak. Sepertinya dia merasa sangat pandai hingga memilih membantu pelayan alih-alih mempersiapkan diri. Percaya diri sekali dia," timpal Alora diikuti dengan tawa.
Aurora palsu terus saja melakukan pekerjaannya seolah tidak mendengar. Sosok itu benar-benar mengabaikan kedua gadis yang ingin mengerjainya tersebut.
Prang!
Alodia sangat kesal karena Aurora tak terpengaruh oleh ucapannya. Gadis itu dengan kasar menepis tangan Aurora yang sedang memotong sayuran hingga benda tajam itu jatuh ke lantai.
Pelayan rumah itu ketakutan melihat kekasaran yang dilakukan Alora dan Alodia. Tubuh wanita itu gemetar, rasanya ia ingin pergi saja dari sana. Namun pelayan itu memilih diam dan tetap berada di sisi Aurora.
"Heh! Kalau ada orang yang sedang bicara, dengarkan. Jangan mengabaikan seperti itu. Dasar tidak sopan!"
Aurora palsu hanya diam saja seraya menatap tajam kedua gadis itu. Dari kilatan matanya, tak tampak sedikit pun ketakutan yang biasanya terlihat jelas. Membuat emosi kedua gadis itu meluap.
Alora mengangkat tangannya, ingin memukul wajah Aurora agar gadis itu menundukkan kepala dan tak lagi berani menatap tajam dirinya. Namun, usahanya sia-sia saat Aurora dengan cekatan menangkap pergelangan tangannya. Benar-benar berani, bukan seperti Aurora yang biasanya.
"Lepaskan tanganku! Berani sekali Kamu menangkap tanganku," ucap Alora panik. Ia berusaha menyembunyikan kesakitan yang ia rasakan. Karena Aurora palsu menekan urat nadinya dengan begitu kuat. Terasa sakit dan nyeri juga mengacaukan denyut nadinya.
"Jangan pernah berani mengganggu aku lagi! Atau aku akan membuat pergelangan tanganmu ini patah dan berfungsi lagi. Kalau hal itu terjadi, maka Kamu tidak akan bisa mengikuti kompetisi itu. Kalau Kamu peduli sekali pada kompetisi itu, lebih baik Kamu belajar serajin mungkin daripada terus menggangguku." Aurora yang tadinya hanya diam saja akhirnya bersuara. Gadis itu melepaskan tangan Alora dan mengempaskan begitu saja.
Kedua gadis itu sangat terkejut. Aurora yang biasanya akan menurut dan akan ketakutan jika diancam kini berani mengancam dan melawan. Bahkan Aurora berani memelototkan matanya.
"Pergi! Atau aku akan membuat pergelangan tanganmu benar-benar patah," ancam Aurora dengan wajah gelap tanpa senyuman.
"Awas saja, Kamu. Aku akan melaporkanmu pada Kak Althea. Biar Kamu tahu rasa," ancam Alodia.
"Lakukan saja. Aku tidak pernah takut pada ancamanmu itu." Dengan tenang Aurora menjawab.
Aurora berdiri dan mengambil pisau potong yang tergeletak di lantai itu. Lalu ia sengaja mengacungkan pisau itu pada kedua gadis itu. Tubuh Alora dan Alodia gemetar ketakutan. Detik berikutnya, kedua gadis itu pergi dari sana. Lari terbirit-b***t karena ketakutan.
"Bagus sekali, Nona. Sesekali, mereka memang harus diberi pelajaran. Agar mereka tak menindas Nona Rora lagi," puji pelayan rumah itu.
Aurora hanya tersenyum manis dan mengangguk. Sungguh, gadis yang mengerikan bisa mengubah ekspresi secepat itu. Tentu saja mudah bagi sosok itu, karena ia tercipta dari cahaya. Ia tidak memiliki hati maupun perasaan.