Karena luka yang ia derita, Aurora terpaksa harus tinggal di istana untuk sementara waktu. Ratu Selena tidak mengizinkan pulang Aurora yang masih terluka sebelum keadaan gadis itu membaik.
Setelah luka Aurora sudah mulai mengering dan bisa bergerak dengan leluasa, ia mulai dipindahkan ke kamar khusus untuk putri mahkota. Tempat yang seharusnya ia tinggali dan akan ia tinggali di masa mendatang.
Di sana Aurora diobati dengan baik. Bukan hanya satu, melainkan tiga atau empat tabib didatangkan khusus untuk menyembuhkan lukanya. Dan hasilnya pun begitu menakjubkan, luka yang begitu parah itu sama sekali tidak meninggalkan bekas luka. Kulit punggungnya mulus kembali hanya dalam hitungan hari. Aurora sampai takjub karenanya. Kehidupan di istana memang sangat berbeda dengan rakyat biasa.
Selama di istana, Ratu Selena memperlakukannya dengan begitu istimewa. Sang ratu sangat menyayanginya seperti anaknya sendiri. Maklum saja, ratu hanya mempunyai seorang putra saja. Sudah lama ia menginginkan seorang putri tetapi ternyata Tuhan tidak mengabulkannya.
Ratu membelikan Aurora banyak perhiasan juga pakaian mewah. Ratu selalu datang untuk berbicara dengan Aurora meski hanya sebentar karena kesibukan wanita itu untuk mengurus kerajaan. Namun, perhatian wanita itu begitu besar hingga sulit untuk Aurora gambarkan. Ratu Selena bagi Aurora sudah seperti ibunya sendiri.
Setiap keinginan Aurora selalu terpenuhi hanya dengan menjentikkan jari. Semua akan tersedia sesuai dengan keinginannya. Sungguh kehidupan yang sempurna, yang diinginkan dan didambakan oleh setiap gadis di Nirvana ini. Namun, hal itu berbeda bagi Aurora. Gadis itu justru tidak menyukai apa yang ia dapat selama di istana. Ia merasakan kebosanan karena ia tidak boleh melakukan apa pun selain membaca buku dan belajar tentang ilmu rumah tangga kerajaan. Ia bahkan seperti boneka yang tidak perlu melakukan apa pun. Karena ada dayang dan pelayan yang melakukan semua hal untuknya.
Selama seminggu gadis itu tinggal di istana, ia tidak pernah melihat wajah putra mahkota. Entah ke mana pria itu pergi. Setiap kali makan bersama, pria itu tidak hadir. Bahkan setiap ratu berjanji untuk mempertemukan Aurora dengan pria itu, ada-ada saja hal yang membuat pertemuan itu batal.
Setiap ia datang menemui untuk mengucapkan terima kasih atas bantuan pria tersebut, dayangnya akan selalu menolak dengan alasan putra mahkota sedang sibuk. Begitulah seterusnya. Sungguh, Aurora sangat bingung. Benarkah pria itu ingin menikahinya sementara ia merasa pria itu seperti terus menghindar darinya. Tidak mungkin, selama dua puluh empat jam pria itu sibuk dan terus bekerja.
Aurora telah mencoba beberapa kali mencoba menemui putra mahkota, tetapi tak sekali pun usahanya berhasil. Akhirnya, gadis itu menyerah. Ia hanya menuliskan sepucuk surat untuk calon suaminya dan menyerahkannya pada kepala kasim sebagai bentuk ucapan terima kasihnya.
Hal aneh yang lainnya, Kai juga tidak pernah datang menemuinya. Pria itu lenyap bak hilang ditelan bumi. Aurora mengira pria itu mungkin kesulitan untuk menyelinap masuk karena penjagaan yang sangat ketat. Namun, hatinya meragu ketika ingat jika pria itu berhasil menyelinap masuk ke istana berkali-kali.
Alhasil, Aurora begitu kesepian dan merindukan segala hal yang biasa ia lakukan. Ia rindu kamar kecilnya. Ia rindu para kakak yang selalu menyuruhnya. Ia rindu pada ayah bundanya yang selalu melimpahinya dengan banyak kasih sayang. Ia juga rindu main air sambil mencuci di sungai. Segala kesederhanaan saat menjadi rakyat dulu sangat ia rindukan.
***
Kabar tentang kemenangan Aurora menyebar begitu cepat, hingga sampai ke telinga para saudara dan ayah ibunya. Athura dan Gaia merasa lega dan bahagia dalam waktu bersamaan. Sementara Amayra dan adik-adiknya merasa sangat kesal dan kecewa. Mereka menilai kompetisi sangat tidak adil. Karena pemenang diumumkan bahkan sebelum mereka menunjukkan kemampuan di babak ketiga.
Berita itu bukan hanya didengar oleh kaum bangsawan dan keluarga kerajaan. Kabar itu juga merebak ke seluruh penjuru negeri. Semua penduduk sudah mengetahui perihal kemenangan Aurora. Banyak orang yang ikut bersuka cita, karena mereka tahu, Aurora adalah gadis yang sangat baik. Mereka menilai Aurora adalah gadis yang paling layak untuk menjadi ratu mereka. Namun, banyak pula yang merasakan kebencian karena iri.
Para peserta lain merasa iri dan kecewa akan keberhasilan Aurora. Mereka juga merasa tidak adil, tetapi mereka tidak bisa melakukan apa-apa. Karena ratu yang memutuskan kemenangan Aurora dengan dukungan penuh dari raja dan putra mahkota. Bahkan putra mahkota yang biasanya tidak mau tahu tentang kompetisi atau apa pun itu, mendukung penuh kemenangan Aurora. Beliau yang meminta agar kemenangan jatuh di tangan Aurora karena berhasil menyembuhkan sang ratu.
Semenjak berakhirnya kompetisi dan Aurora ditetapkan sebagai pemenang, hubungan Amayra dan Althea pun telah membaik. Keduanya kembali bersatu menjadi satu kubu pembenci Aurora. Seolah tidak pernah terjadi apa pun, mereka kembali dekat dan bersiap untuk membuli Aurora lagi jika gadis itu telah kembali dari istana. Baik Althea maupun Amayra tidak terima jika gadis itu yang akan menjadi pendamping putra mahkota.
Kini, Aurora telah kembali ke rumah setelah seminggu lamanya ia ditahan di istana. Ratu Selena sendiri yang tak membiarkannya pergi karena luka yang ia derita. Wanita cantik itu baru mengizinkan Aurora pulang saat luka gadis itu benar-benar telah sembuh.
Athura dan Gaia menyambut putrinya dengan bahagia. Sementara para saudaranya ikut menyambut seadanya. Atau lebih tepatnya mereka hanya bersandiwara, hanya berpura-pura manis demi menjaga reputasi mereka di depan sang ayah dan ibu.
Begitu menginjakkan kaki di rumahnya, Athura dan Gaia langsung memeluknya seolah telah bertahun lamanya tidak berjumpa. Mungkin terlihat berlebihan, tetapi mereka melakukan karena ada alasan yang kuat. Yaitu karena Gaia dan Athura sempat mengkhawatirkan putri bungsunya yang mendapatkan hukuman berat.
"Kamu tidak apa-apa, Nak?" Gaia memeriksa satu per satu bagian tubuh sang putri. Memutar tubuh Aurora, memeriksa setiap sudut tanpa terkecuali.
"Bunda, Rora baik-baik saja. Tabib kerajaan telah mengobati Rora dengan baik. Bahkan, tak ada bekas luka sedikit pun di tubuh Rora," ucap gadis itu seraya tersenyum manis.
"Syukurlah, kalau Kamu baik-baik saja, Nak. Selamat atas kemenanganmu, Rora. Kamu hebat, Nak! Semoga Tuhan selalu memberkahimu," ucap Gaia seraya memeluk kembali sang putri bungsu yang baru saja kembali. Ibu tujuh orang gadis itu sangat merindukan anak bungsunya. Karena hampir sepuluh hari, mereka tidak berjumpa. Mungkin ini pertama kalinya Gaia terpisah dari putrinya dalam waktu yang cukup lama.
"Terima kasih, Bunda. Bunda, Rora sangat merindukan ayah dan bunda. Rasanya begitu menyesakkan tinggal di istana tanpa keluarga," ucap gadis itu.
"Tapi, Kamu harus membiasakan diri, Nak. Karena dua bulan lagi sampai nanti Kamu tua dan tiada, Kamu akan tinggal di istana untuk mendampingi sang raja," ucap Gaia dengan perasaan bercampur aduk. Wanita itu sedih karena sebentar lagi akan berpisah dengan putri bungsu yang sangat ia manja. Namun, ia juga bahagia karena putrinya akan menjadi ratu di masa depan.
"Tidak bisakah Rora tinggal di sini saja, Bunda? Tidak bisakah sesekali saja Rora pergi ke istana setelah pernikahan nanti?" tanya Aurora.
Gaia tertawa. Sadar jika putrinya benar-benar belum dewasa. "Tidak, Nak. Kamu nanti akan jadi putri mahkota, jadi Kamu harus selalu mendampingi suamimu. Kamu harus selalu tinggal di istana. Jika Kamu rindu, maka kami akan datang berkunjung."
"Tidak bisakah Kalian ikut tinggal di istana? Istana kan sangat besar. Tentu tidak akan masalah kalau kalian ikut tinggal di sana," rengek Aurora. Gaia semakin tertawa geli mendengar permintaan putrinya.
"Kalian ini para wanita terlalu cerewet. Pernikahan masih lama lagi. Bahkan hari pertunangan masih jauh, kalian sudah membicarakan hal seserius itu. Seolah-olah Kalian akan berpisah esok hari," potong Athura.
"Kanda! Apa salahnya jika aku membicarakan ini sejak sekarang? Putri kita harus mulai membiasakan diri dengan kehidupan di istana," ucap Gaia membela diri.
"Iya, iya. Tapi bisa kan kita bicarakan lagi nanti. Biarkan dia beristirahat. Putrimu pasti sangat lelah setelah perjalanan jauhnya," ucap Athura.
"Kanda benar, mari masuk, Nak. Bunda sudah masak banyak makanan kesukaanmu." Gaia merangkul Aurora dengan penuh kasih sayang, sementara saudaranya yang lainnya memandang dengan penuh kebencian. Mereka menganggap Aurora telah merenggut semua dari mereka. Mereka menganggap Aurora selalu menghalangi kebahagiaan mereka. Termasuk merebut kasih sayang kedua orang tuanya.