Suasana begitu sepi, sunyi dan senyap. Malam itu, saat semua orang terlelap tidur, enam orang gadis itu terlihat berjalan mengendap-endap menuju kamar yang paling kecil dan sederhana. Mereka berjalan meraba-raba di tengah kegelapan. Sikap mereka terlihat begitu mencurigakan. Melirik ke sana-kemari seolah takut ada yang melihat mereka.
Salah seorang yang sepertinya bertugas mengawasi situasi memberikan sebuah kode yang entah artinya apa. Namun, dari gerak-gerik mereka sepertinya kode itu memiliki arti bahwa situasi aman. Seorang lagi tampak berjaga di pintu belakang, bersiap-siap membuka pintu demi kelancaran misi mereka.
Semuanya tampak mengangguk-angguk dan saling membagi kode lagi. Lalu, tanpa permisi, ke empat orang itu lantas masuk ke kamar yang cukup kecil itu. Satu lagi berjaga di depan, sementara yang satunya mengamankan jalur yang akan mereka gunakan.
"Malam ini kita beri dia pelajaran yang tidak akan pernah dia lupa sepanjang hidupnya," ucap seorang di antara mereka penuh dendam.
"Benar, Kak. Kita harus membuatnya menggigil ketakutan hingga ia memohon di kaki kita. Kita buat dia tidak berani menatap mata apalagi melawan kita," ucap seorang lagi membenarkan.
"Bagaimana persiapan kereta di belakang?" tanya gadis itu.
"Semua oke! Orang yang kita bayar juga telah datang dan menunggu di tempat yang kita tentukan," ucap seorang lagi.
"Tapi aku rasanya ingin ikut ke tempat eksekusi. Rasanya tidak akan puas kalau tidak melihat dengan mata kepalaku sendiri," ucap gadis itu seraya menyeringai. Rupanya gadis itu adalah Amayra si sulung yang berhati hitam.
"Aku juga, Kak. Aku mau melihat rengekan dan air mata manjanya itu," ucap Althea menimpali.
Gadis itu juga menyeringai. Dendam yang begitu besar membara di dadanya semenjak Aurora dinyatakan sebagai pemenang kompetisi. Sampai sekarang, Althea belum mau menerima kekalahannya. Ia tidak akan pernah bisa ikhlas jika gadis itu mendapatkan putra mahkota. Pria yang sangat ia cintai sejak beberapa tahun yang lalu.
"Baiklah, malam ini kita akan sedikit bermain-main dengannya," ucap Amayra.
"Ayo! Jangan buang waktu kita! Atau kita akan ketahuan," ucap Althea mengingatkan.
Alora maju dengan sebuah sapu tangan di genggaman. Dengan gerakan cepat, gadis itu membekap mulut dan hidung adiknya. Sementara yang lainnya dengan sigap memegang kaki dan tangan Aurora yang meronta-ronta. Hingga beberapa detik kemudian gadis itu berhenti bergerak dan tak sadarkan diri akibat obat bius yang mereka beli di pasar.
"Rasakan itu!" ucap Amayra saat Aurora tidak berdaya.
Mereka segera bergerak, keempat gadis itu memasukkan Aurora ke dalam karung besar. Lalu mereka bekerjasama untuk mengangkat gadis itu sampai ke belakang rumah.
Mereka kepayahan membawa bungsu yang berada di dalam karung. Hingga tubuh mereka basah oleh keringat di malam yang dingin itu. Maklum saja, mereka adalah kaum wanita. Apalagi, mereka tidak pernah mengerjakan pekerjaan apa pun. Jadi, mengangkat Aurora yang tak berapa besar pun terasa melelahkan bagi gadis-gadis itu.
Akhirnya, setelah susah payah mereka mengangkat gadis dalam karung itu mereka sampai di pintu belakang rumah. Begitu pintu terbuka ada seorang pria berbadan besar dan kekar yang sudah bersiaga di sana. Pria itu langsung mengambil alih karung itu dari tangan ke empat gadis itu.
"Aku ingin ikut," ucap Amayra pada pria itu.
"Aku juga ingin ikut," ucap Althea. Ia belum puas jika belum melihat gadis itu celaka.
"Aku juga mau ikut, kita semua ingin ikut," ucap gadis yang lainnya.
"Tidak bisa! Akan mencurigakan jika kalian semua ikut. Hanya dua orang atau tidak sama sekali," ucap pria bertubuh besar dan kekar yang tengah mengangkat karung itu di bahunya.
"Baiklah, aku dan Thea. Sudah diputuskan. Kalian kembali ke kamar dan buat seolah-olah aku dan Thea tengah tidur nyenyak. Pokoknya kalian harus melindungi kami apa pun yang terjadi," ucap Amayra.
"Baiklah." Alora dan yang lainnya terpaksa menyetujui meski sebenarnya mereka sangat ingin ikut.
Amayra, Althea dan pria itu segera menuju ke kereta. Sementara ke empat gadis yang lainnya segera menutup pintu dan kembali ke kamar mereka. Mereka akan kembali tidur dan bersikap biasa saja seolah tidak ada apa pun yang terjadi.
***
Perjalanan yang harus mereka lalui begitu jauh. Melewati rimba dan semak belukar yang cukup lebat. Cukup lama mereka harus bersabar menunggu sampai ke tempat tujuan. Hingga kedua gadis itu terkantuk-kantuk seiiring berjalannya kereta. Maklum saja, saat itu hari masih malam. Harusnya mereka saat ini tengah menikmati mimpi indahnya tetapi demi misi kotor itu mereka rela meninggalkan kenyamanan kasurnya untuk malam ini saja.
Setelah beberapa lama kereta melaju, kereta yang mereka tumpangi berhenti di dekat sungai. Amayra dan Althea segera turun, sementara pria itu segera mengangkat karung itu ke pundaknya. Mereka bertiga berjalan cepat menuju ke tepi sungai. Sebelum ada orang yang memergoki perbuatan keji ketiga orang tersebut.
"Mau jatuhkan dia di sini?" tanya pria yang tak terlihat wajahnya itu.
"Iya, di sini cukup ekstrim. Aku suka!" girang Amayra. Ia membayangkan betapa menderitanya bungsu saat dijatuhkan dari tempat tinggi tersebut. Gadis itu berharap jika adik kandungnya itu tidak akan selamat dan tidak akan pernah kembali ke rumah.
"Tapi, aku mau dia dibangunkan dulu. Aku mau dia sadar dari pingsannya. Aku mau dia merasa kesakitan, merasa sangat menderita hingga putus asa," ucap Althea dengan kejam.
"Bagaimana kalau dia melarikan diri?" tanya penjahat bayaran itu.
"Ada Kami dan Kamu yang kuat. Masa Kamu masih takut dan khawatir?" ucap Althea dengan nada meninggi.
"Baiklah. Terserah kalian saja. Aku tidak takut apalagi khawatir. Aku tahu kalau aku bisa mengatasinya," ucap pria itu yakin.
"Ayo buka karungnya, cepat!" perintah Amayra tak sabar.
Pria itu meletakkan karung tersebut di atas bebatuan tebing lalu membuka tali yang mengikat karung tersebut. Amayra dan Althea tampak puas melihat wajah pingsan Aurora yang tak berdaya.
"Maafkan kami adikku, aku terpaksa harus menyingkirkan benalu menyebalkan sepertimu," ucap Amayra dengan wajah dinginnya yang kejam.
"Tidak perlu merasa bersalah, Kak. Dia pantas mendapatkannya," ucap Althea.
"Ayolah! Jangan membuang waktu atau seseorang akan datang menggagalkan pekerjaan kita," ucap pria menyeramkan itu tak sabar.
"Iya, iya," ucap Amayra seraya mengerucutkan bibirnya. "Thea! Siram dia!"
Althea mengeluarkan tempat minuman yang terbuat dari keramik itu. Dibukanya penutup benda itu, lalu tanpa perasaan Althea menyiramkannya pada Aurora.
"Uhuk! Uhuk!" Gadis itu terbatuk-batuk saat wajah cantiknya diguyur dengan air dingin.
"Heh! Bangun!" ucap Amayra dengan kasar.
Gadis itu berusaha membuka matanya yang terasa berat akibat pengaruh obat bius itu. Pandangannya berkunang-kunang dan buram tidak jelas. Namun, dari suara yang ia dengar, Amayra mengenali jika itu adalah suara kakaknya.
"Kak! Kita di mana?" tanya Aurora saat merasakan hawa dingin mulai menyergap seluruh tubuhnya. Ia juga merasa tempat itu begitu gelap dan menyeramkan. Hanya sebuah obor besar yang Althea pegang, yang menerangi tempat asing itu.
"Kamu tidak perlu tahu. Yang perlu Kamu ketahui, malam ini adalah malam terakhir untukmu," ucap Amayra.
"Maksud Kakak?" tanya Aurora dengan tubuh gemetar.
"Kami terpaksa harus membuatmu lenyap dari dunia ini. Kamu dengar suara air di bawah sana? Sebentar lagi Kamu akan tenggelam dengan tenteram di bawah sana," ucap Amayra disertai tawa.
"Maksud Kakak ... Kakak ingin mencelakaiku?" tanya gadis malang itu.
"Wah, Aurora-kita ternyata sekarang sudah pandai," jawab Amayra dengan seringaiannya.
"Apa salah Rora, Kak? Apa salah Rora hingga kalian melakukan ini padaku? Kenapa kalian sangat membenciku? Padahal Rora sangat menyayangi kalian," ucap Rora dengan suara bergetar. Air mata mulai mengalir di kedua pipinya.
"Salah Kamu? Salah Kamu banyak hingga tak terhitung. Hingga aku kesulitan untuk menyebutkannya satu per satu. Salahmu karena bersikap sok baik dan polos. Salahmu karena telah merebut kasih sayang orang tua kita untukmu sendiri. Salahmu karena merebut posisi putri mahkota yang seharusnya menjadi milikku. Dan masih ada banyak lagi, tak terhitung kesalahanmu," ucap Amayra.
"Sudah, Kak. Jangan buang waktu kita yang berharga dengan bicara dengan gadis menyebalkan seperti dia. Cepat lempar dia ke sungai. Entah-entah ada binatang buas yang sudah menunggunya di bawah sana. Anggap saja kita berbuat baik pada binatang kelaparan itu dengan memberikan makanan lezat untuk mereka," ucap Althea sembari tertawa.
"Tebs! Lempar sekarang!" perintah Amayra.
"Jangan! Aku mohon!" pinta Aurora memohon belas kasih sang kakak.
"Terlambat! Kamu tidak bisa memohon lagi. Kesempatan hidupmu sudah habis," ucap Amayra.
"Hidup mati kita Tuhan yang tahu, Kak," ucap Aurora.
"Tidak usah banyak bicara. Lempar dia, Tebs!" perintah Althea.
Pria bertubuh kekar itu segera mendorong kuat-kuat tubuh Aurora yang terbungkus karung.
"Kyaaa!!" jerit Aurora memecah keheningan tempat yang sunyi dan gelap gulita itu seiring tubuhnya yang meluncur ke bawah dan berguling-guling tanpa bisa ia kendalikan.
Air mata gadis itu berderai. Mengalir tanpa bisa ia bendung. Bukan ia takut pada kematian, bukan ia takut pada malam yang mencekam. Akan tetapi ia takut saat menghadapi kenyataan bahwa para saudaranya membencinya. Ia sangat takut pada kenyataan, bahwa para saudaranya tidak akan pernah bisa menyukainya meski segalanya telah ia lakukan untuk mereka.
Byur!
Tubuh Aurora jatuh ke sungai dalam kondisi terikat. Gadis itu tak dapat bergerak apalagi menyelamatkan diri. Kali ini, ia hanya bisa memasrahkan nasibnya pada Yang Kuasa.
Ketiga orang itu tertawa puas layaknya iblis yang tidak memiliki belas kasih. Alih-alih merasa bersalah, ketiga orang itu justru merasa bahagia karena berhasil menyingkirkan satu nyawa demi obsesi mereka.