BAB 4 - AWAL BAGIAN 2

1801 Kata
        Cathriona mencoba menahan gejolak yang sedang berkecamuk dipikirannya. Ucapan pria itu tak juga berhasil membuatnya tenang. Ia tahu ada sesuatu yang tersembunyi dari getaran nada yang terucap dari bibir pria yang masih dapat ia rasakan hangat tubuhnya itu.             Ia melepaskan tangan kekar yang memeluknya itu. Dengan satu putaran, tubuhnya kini berhadapan dengan pria yang memeluknya sedari tadi. Mata Cathriona mengerjap melihat Sam yang menatapanya dengan tatapan tak terdefinisi dan dari bibirnya Cathriona mendengarnya mengucapkan hal yang sama.             “Ibumu tidak ada disana…             “Lalu dimana dia?” ujar Cathriona sambil terus melemparkan pandangannya ke segala arah. Namun yang dilihatnya hanya kerumunan warga yang mencoba memadamkan api dan berdiri menyaksikan bencana itu, beberapa diantaranya terlihat sangat gusar bahkan menangis meraung-raung saat mengetahui keluarga mereka masih didalam kebakaran itu. Hingga akhirnya pandangan Cathriona terhenti saat melihat Pamanya Felix yang berdiri menatapnya dari kejauhan.             Tanpa mengucapkan apapun, Sam mengangkat tubuh Cathriona dan menggendongnya. Sebelum Cathriona protes akan tindakan sahabatnya itu Sam terlebih dahulu mengucapkan argumennya. “Kakimu terluka Cat.. Akan lebih baik jika kau tak memaksa dirimu untuk berjalan sendiri atau ia akan bertambah parah..”             Cat hanya terdiam mendengar ucapan sahabatnya itu. Kini ia menatap kedua kakinya yang terlihat sangat kotor dan sudah menjadi semakin bengkak. Ia baru menyadari betapa sakitnya pergelangan  kakinya itu. ***             “Cat…” ujar sedih Paman Felix sambil memeluk Cathriona.             “Dimana ibu ?”             Paman Felix tidak menjawab apapun, namun raut kesedihan diwajahnya dan arah pandangannya menjawab pertanyaan itu.             Mata Cathriona menatap searah tatapan pamannya itu dan tatapannya itu berhasil menemukan sosok yang dicarinya sejak tadi.             Ia melangkah berlahan menuju sosok wanita yang sangat dikenalinya itu. Tubuh wanita itu terbujur kaku dengan luka di dahinya yang mengalirkan darah hingga  mengotori dressola kuningnya.             Cathriona melangkah dan terus menatap wanita itu. Tubuhnya bergetar hebat, dia bahkan tak sanggup menghilangkan gemetar di tangan dan kakinya yang terasa sangat sakit. Pikirannya kali ini benar-benar kosong, air mata yang beberapa saat lalu sudah berhenti kini mengalir kembali bahkan tanpa seijinnya. Tangan gemetarnya lalu berlahan menyentuh wajah wanita itu. Dingin… tak ada lagi tanda-tanda kehidupan pada wanita itu dan detik itu juga tubuh Cathriona terasa oleng dan kakinya tidak mampu lagi meyangga tubuhnya. Ia jatuh terduduk tidak mempercayai apa yang ada dihadapannya.             “Ibu…Ibu…….” ucapnya pelan, suaranya kini terasa tenggelam oleh tangisannya.             “Bu…..” air mata terus membanjiri wajahnya. Tak ada lagi kata-kata yang mampu ia ucapkan. Otaknya terasa membeku dan tenggorokannya terasa tercekat. Tubuh basahnya lalu memeluk jasad wanita itu dengan sangat erat. “Bu.. Ibu……..” hanya itu kata-kata yang mampu keluar dari bibir kemerahannya. Isakan tangisan yang sangat mendalam membuatnya sangat lemas tak berdaya namun ia tetap memeluk erat wanita yang sangat dikasihinya itu. “Bu, ulang tahunku beberapa bulan lagi. Kau sudah berjanji untuk menjahitkanku dressola. Aku berjanji bu, aku akan menggunakannya, aku berjanji akan berhenti menggunakan celana lagi, aku berjanji tidak akan menggunakan pedangku lagi tapi kumohon bukalah matamu, jangan tinggalkan aku bu… Kumohon…” Cathriona berusaha menahan rasa sakit di dadanya dan mengucapkan setiap kalimat yang ada di otaknya yang sedari tadi tak mampu ia keluarkan  berharap ibunya akan mendengarkannya dan terbangun lagi walau itu sangat mustahil. “Ibu…….” itulah ucapan terakhir yang mampu menggambarkan kesedihannya saat itu, ia terus memeluk tubuh dingin tak bernyawa tanpa mengucapkan apapun hanya dengan air matanya yang ia tahu tak akan dapat mengubah apapun. ***             Cathriona terduduk diam tanpa banyak berucap, raut wajahnya menunjukan betapa lelah dan hancurnya ia, dengan mata yang masih bengkak karena tangisannya semalaman. Ia masih terus menatap kearah kuburan ibunya yang masih dipenuhi bunga. Ini terasa benar-benar tidak adil untuknya. Ia benar-benar belum siap untuk ditinggal ibunya. Sudah cukup hancur hatinya dibesarkan tanpa banyak mengingat sosok ayahnya, dan kini ia harus menjalani hidupnya tanpa seorang ibu. Bukankah ini sangat tidak adil untuknya? Beberapa orang mendatanginya, memeluknya erat. Mereka tak banyak berkata-kata selain mencoba menyemangati gadis bermata biru sembab itu. Cathriona berusaha tersenyum berterima kasih kepada mereka yang mendatanginya. Namun tersenyumpun terasa sama beratnya dengan berbicara. Alhasil, ia hanya diam, mematung hingga sebuah kalimat yang tanpa sengaja ia dengar membuatnya mampu untuk bergerak kembali. Denga cepat ia mengambil pedang di tangan pamannya Felix yang berdiri tak jauh darinya. Hatinya kini terasa sangat panas dan pikirannya dikuasai oleh kemarahan yang tak dapat dibendungnya lagi. Ia dengan jelas mendengar bahwa para pembenrontak itu sudah ditangkap dan dikumpulkan di alun-alun Deloxa.             “Hentikan Cat…!” teriak pamannya mencoba menghentikan keponanakannya itu.             Bukan Cathriona namanya jika ada yang mampu menghentikan kemarahannya yang sudah berkecamuk itu. Ia benar-benar tidak bisa berpikir jernih lagi. Diotaknya kini hanya ada satu tujuan, menebas leher para pembrontak jahanan yang menjarah beberapa rumah di kampungnya tadi malam dan tanpa belas kasihan  membakar rumah-rumah dari orang-orang  tak bersalah. Ia tidak peduli hal apa yang akan ditanggungnya nanti atas perbuatannya. Hidupnya sudah cukup hancur, tidak ada hal lain lagi yang bisa menghancurkannya.             Dengan setengah berlari Cathriona menuju Alun Desa yang tak jauh dari tempat penguburan ibunya.             Kini dia dapat menatap langsung wajah pria-pria j*****m itu. Dia tidak perduli dengan wajahnya yang sangat berantakan, dia bahkan tidak perduli dengan pakaian duka yang masih ia gunakan setelah mengantarkan jasad ibunya ketempat peristirahatan terakhirnya. Yang ia perdulikan adalah, pemberontak-pemberontak itu harus menerima hukuman yang setimpal dari luka yang ia rasakan bahkan kesedihan dan ketakutan yang penduduk desanya rasakan.             Dengan cepat ia megarahkan pedang pamannya itu ke leher seorang pemberontak yang wajahnya dipenuhi luka-luka pukulan dan tersandar tak berdaya bahkan nyaris mati pada sebuah tiang besi dengan ikatan tali tambang yang meliliti tubuhnya.             “Kau….” ujar gemetar penuh kemarahan dari bibir Cathriona. Api kemarahan terasa sudah benar-benar membakar emosinya dengan tangan bergetar tetap mengarahkan pedang itu keleher pria itu, Cathriona mencoba membunuh rasa belas kasihannya. Ia mengangkat pedangnya tinggi dan menutup matanya  mengarahkan pedang itu dengan sangat cepat hingga…..             Bayangan wajah ibunya sedang tersenyum kearahnya terlihat jelas olehnya.             “Prannggggg…” pedang itu terjatuh dari tangannya saat nyaris akan mengenai leher pemberontak itu dan untuk pertama kali dalam hidupnya, ia membenci dirinya sendiri. Ia membenci dirinya yang masih memiliki belas kasihan itu pada orang yang tak pantas menerimanya. Ia membencinya! Tubuh Cathriona terjatuh berlutut ditanah, air matanya mengalir kembali dengan deras. Ibunya pasti akan sangat marah padanya seadainya dia memutuskan untuk membalaskan dendamnya kepada para pemberontak itu.             “Cat… mereka akan mendapatkan hukuman yang setimpal! Percayalah!” ujar paman Felix sambil menepuk pundak Cathriona yang masih terduduk kaku menatap para pemberontak yang terlihat setengah sadar itu.             “Iya, memang harus begitu! Kalau tidak, aku sendiri yang akan membuat mereka tak dapat bernafas lagi!” ujar dingin Cathriona sambil mengusap air matanya. Ia berlahan bangkit dibantu pamannya Felix dan berlalu meninggalkan para pemberontak b******k dan j*****m itu. ***             Hari sudah senja da Cathriona masih terduduk diam didepan beranda rumah pamannya Felix. Pamannya memintanya untuk menginap disana  selama beberapa hari hingga keadaannya lebih membaik. Ketika ia akan masuk kedalam rumah, langkahnya terhenti saat menyadari ada beberapa sosok yang tak dikenalnya sedang menatap kearahanya. Cathriona mempertajam tatapannya yang masih kabur karena air matanya tak henti mengalir hari itu. Ia seperti mengenal sosok wanita tua yang terlihat sangat berwiba dan anggun itu. Dari raut-raut diwajahnya, masih terlihat jelas sisa-sisa kecantikannya yang membuat Cathriona terpana. Rambut pirangnya tertata sangat rapi dengan hiasan seperti permata dikepalanya dan dari pakaian yang digunakannya, Cathriona tahu wanita tua itu bukan wanita sembarangan ditambah ada belasan pria yang terlihat seperti prajurit kerajaan yang menjaganya di belakang. Cathriona mengarahkan pandangannya kearah lain dan tatapannya menangkap sosok pria dan wanita tua yang terlihat rapi dengan pakian hitam yang digunakannya. Mereka terlihat seperti pelayan wanita kaya itu.             Wanita tua bergaun sederhana namun sangat indah itu tersenyum kearah Cathriona dan saat itu juga Cathriona menyadari siapa wanita yang ada di hadapannya itu. Dia Ratu Rossandria! Ratu kerajaan Deluxia. Tanpa menunggu perintah, Cathriona membungkukkan tubuhnya sebagai tanda hormatnya.             “Cat…. bagaimana mungkin kau sampai tidak menandai wajah ratumu sendiri!!” cerutu Cathriona sambil menggigit bibir bawahnya karena kesal.             “Oh… semoga dia tidak tersinggung, karena aku sudah menatap menyelidik kearahnya …!” doa Cathriona dalam hati.                  Wanita yang di kenal masyarakat sebagai Ratu Rossandria itu berjalan berlahan kearah Cathriona diikuti kedua pelayanannya itu. Saat beberapa prajuritnya mengikutinya dari belakang, tangan ratu itu terangkat keatas dan detik itu juga para prajurit itu menghentikan langkah mereka.             Kini Ratu itu hanya berjarak 1 meter dihadapan Cathriona yang berdiri kikuk karena tidak tahu harus berbuat apa lagi.             “Selamat malam ratu..” ujar paman Felix tiba-tiba sambil menunduk kearah ratu Rossandria. Entah sejak kapan pamannya itu sudah berada dibelakang Cathriona.             Seakan memperoleh jawaban dari kekikukannya, Cathriona melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan pamannya.             Cathriona terkejut saat tangan Ratu yang terlihat  keriput itu menyentuh pipi kanannya. “ Kau sekarang sudah sangat besar Cathriona Belshada Arresthox.” ujar ratu itu dengan senyuman tulus kearahnya.             “Arresthox? Maksudnya apa? Arresthox bukan nama keluarganya, nama keluarganya Borshambux."tanyanya dalam hati.             “  Maaf, tapi namaku Cathriona Belshada Borshambux bukan Cathriona Belshada Arresthox..” ujarnya menekankan kata Borshambux dengan sesopan mungkin dan tatapan penuh kebingungan.             Seakan tak mendengar ucapan Cathriona, Ratu Rossandria berjalan menuju kereta kudanya yang terlihat sangat mewah dan meminta Cathriona untuk mengikutinya. Cathriona yang tampak ragu, akhirnya mengikuti ratu itu juga setelah diperintahkan oleh pamannya. ***             Cathriona menatap ruangan disekelilingnya. Ini pertama kalinya ia memasuki ruangan yang setahu dia hanya orang kerajaan yang boleh menggunakannya itu. Ruangan besar itu memang merupakan salah satu ruangan dari  tempat peristirahatan keluarga kerajaan.   Ranjang besar yang terlihat sangat empuk dan nyaman, kursi-kursi kayu dengan ukiran yang sangat menawan dan pemandangan diluar sana yang langsung terarah pada kebun bunga lavender yang ia tahu berada tak jauh dari desanya itu membuat         Dirinya sontak terkejut menatap pantulan sosok wanita yang terlihat sangat berantakan dengan pakaian serba putih yang merupakan pakaian duka di desanya pada cermin besar di dekat jendela. Dengan cepat ia merapikan rambutnya dan mengusap wajahnya namun kegiatannya itu terhenti saat Ratu Rossandria memasuki ruangan itu.     Ratu Rossandria berjalan berlahan dan duduk tepat disebelah Cathriona.     “Baiklah, sekarang hanya ada kita berdua ditempat ini. Cathriona…..” ujar Ratu dengan suaranya yang terdengar sangat lemah, sambil menggenggam kedua tangan Cathriona Ratu Rossandria menatap lekat kemata cathriona.         “Matamu sangat mirip dengan mata ayahmu. Biru penuh keberanian.” ujarnya dengan senyuman bahagia.     “Kau mengenal ayahku?” tanya Cathriona ragu. Bagaimana mungkin Ratu mengenal ayahnya? Ia sendiri bahkan belum pernah melihat ayahnya selain dari lukisan yang ada dirumahnya. Ibunya mengungkapkan kalau ayahnya sudah meninggal sejak usianya baru menginjak 2 tahun karena penyakit yang diderita ayahnya dan dia tahu kalau ibunya mengatakannya yang sebenarnya karena pamannya Felix yang merupakan sahabat dekat ayahnyapun mengatakan demikian walaupun tidak dikatakan secara detail penyakit apa yang berhasil merenggut nyawa ayahnya itu.     “Ibu….” tiba-tiba Cathriona teringat lagi pada sosok ibunya itu. Ia masih merasa kepergian ibunya seperti mimpi dan hal itu membuat matanya memanas kembali.     Ingatan tentang ibunya langsung menghilang saat Cathriona mendengar ucapan Ratu Rossandria.     “Libertho, ayahmu adalah putraku Cathriona…” ujar Rossandria dengan suara yang seperti tercekat. Ada penyesalan tergambar jelas dimata dan wajah Ratu Rossandria seakan ada sebuah hal menyakitkan yang ia pendam dan membuatnya sangat menyesal.     "..dan kau Cathriona Belshada Arresthox, kau adalah cucuku, pewaris kerajaan Deluxia....."  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN