Bab. 10 - Kenangan Masa Lalu

1395 Kata
Dayat belum juga kembali sedari mengantar wanita seksi ke rumah sewaan. Di pos kamling tinggal lah Juki dan Rudin saja, sedangkan Asep sudah meninggalkan kedua sahabat itu dengan muka masam. “Din, kalau saya perhatikan, Asep itu sedang berusaha pedekate sama Neng Lastri. Apa kamu teu takut direbut?” Juki bertanya serius, dia sudah melihat dengan mata kepalanya sendiri kalau Asep modus ingin mendekati Lastri di hari dia sakit tempo lalu. Diingatnya betul Asep yang ingin dimanja Lastri, betul-betul membuatnya geli sekaligus emosi. Rudin mengatur napasnya dengan baik, jelas dia tak pernah takut akan hal apa pun yang menimpa hubungan dia dengan Lastri. Trauma ditinggal istri karena lelaki lain pasti ada, Rudin merasa sakit luar biasa saat wanitanya tega pergi demi lelaki beruang, sementara dirinya hanya pekerja serabutan. “Saya pasrahkeun sama Gusti Allah saja, Kang. Kalau jodoh teu kamana. Kalau pun nanti di tengah jalan Lastri memilih pergi, saya pun teu memaksa.” Penuh keikhlasan Rudin mengatakannya, maksudnya baik, tak ingin memaksakan kehendak diri. Jika memang sudah tak cinta, mau diapakan lagi? Bukannya meninggalkan lebih baik daripada bertahan. “Tapi kamu kan berhak dicintai juga kan Din. Kamu berhak untuk bahagia. Jangan pasrah, Din, kita teh sebagai lelaki kudu bisa mempertahankan harga diri, tegas dalam mengatur rumah tangga,” saran Juki sedikit emosi, dia tau Rudin tidak salah, tetapi pasrah begitu saja juga bukan hal baik. “Trus saya harus gimana, Kang? Soal rasa suka, semua orang berhak punya, semuanya tergantung pada diri masing-masing. Kalau Neng Lastri setia, berarti memang rezeki saya.” “Saya mah ini cuma wanti-wanti aja, Din. Saya takutnya si barokokok itu usilin Neng Lastri, yang namanya cinta kadang buta, gak ada logika kata Neng Agnes mah, hehee.” Juki nyengir memamerkan gigi-giginya yang sedikit maju. Rudin tak menanggapi lagi, angannya jauh melayang akan kenangan pahit yang pernah dia rasakan sebelumnya bersama mantan istri. Namanya Linda, dia gadis cantik yang berhasil Rudin nikahi dengan mas kawin sepasang jepit rambut. Linda sangat bahagia hari itu, dan dia mengatakan akan setia pada Rudin walau hidup serba pas-pasan. “Aa’ Rudin, Neng akan selalu setia sama Aa’, akan Neng berikan cinta dan ketulusan ini hanya untuk Aa’ seorang,” kata Linda, di malam pertama pernikahan mereka. Sebagai pengantin baru, rumah sederhana Rudin banyak dipenuhi bunga dan kupu-kupu. “Ah, yang bener, Neng?” colek Rudin di dagu Linda, gemas dia melihat wajah imut istrinya itu. “Bener atuh, A’. Kapan coba Neng bohong, Neng mah henteu suka bohong orangnya. Beneran Neng sayaaang Aa’.” Linda menggelayuti lengan Rudin, seakan tak ingin berpisah tuk selamanya. d**a Rudin berdesir saat disentuh Linda, dia pun terharu dengan ketulusan wanita itu. Sungguh bahagianya dia bisa mendapatkan Linda, wanita idaman sekali pikirnya. Malam pertama yang aduhai. Linda yang berparas cantik dan imut. Memiliki kulit putih bersih dan bertubuh montok. Tatapannya tajam dan penuh gairah membuat Rudin tak sabar untuk berkelana menyusuri gunung dan lembah. Cup! Dikecupnya kening Linda, satu kali. “Kok satu kali sih, A’. Yang banyak dong iyumnya,” kata Linda manja. Sekali lagi dikecupnya dahi Linda, wanita itu tersenyum lebar. Lalu kecupan-kecupan Rudin berpindah ke pipi, hidung, lalu ... bibir Linda yang lembut. “Aahh,” lenguh Linda, dia seakan menikmati sentuhan lembut bibir Rudin. Memang dasar Linda bernafsu dan tak sabaran, dia akhirnya memulai duluan. Linda cukup ganas di ranjang, dilumatnya bibir Rudin dalam dan nikmat, hingga Rudin terpancing untuk melakukan lebih. Malam pertama yang penuh keringat, lenguhan dan erangan nikmat menggema ke seluruh sudut kamar tidur mereka. Malam itu, malam terindah Rudin bersama Linda, yang kini sudah menjadi mantan istri. “Anying!” desis Rudin, kesal. Kenapa pula dia harus mengingat romantisme pernikahannya dengan Linda, bukankah sekarang wanita itu berkhianat? Rudin geram. “Aa’, Neng minta cerai!” teriak Linda, setelah beberapa bulan pernikahan mereka berlangsung. Tentu saja Rudin terkejut mendengar ucapan Linda. “Cerai?” Rudin kebingungan. Tak ada api, tak ada rotan, Linda tiba-tiba minta cerai. “Iya, Neng teh sudah bosan sama Aa’, Neng mau pergi dari sini.” “Bosen kenapa, sih Neng? Kita baru berapa bulan berumah tangga, Aa’ salah apa sama Neng?” Rudin meminta penjelasan. “Salah Aa’ karena Aa’ teh kismin! Neng mau beli skinker teu bisa. Mau jalan-jalan ke emol teu bisa. Mau beli baju baru juga teu bisa. Bisanya cuma beli kangkung seiket sama tempe tiap hari. Bosen!” Rudin melongo. Tak habis pikir Linda bisa bicara seperti itu. “Lha, bisa beli sayuran juga udah sukur atuh, Neng. Aa’ kan sekarang nganggur, Cuma kerja serabutan. Nanti kalau Aa’ sudah kerja menetap dan banyak uang, jangankan bedak atuh Neng, Neng mau rumah gedongan juga bakal Aa’ kabukeun.” “Halah, mimpi! Pokokna, Neng teu sudi lagi jadi istri Aa’. Makan cinta aja ternyata gak kenyang!” Lastri meraih tas ranselnya yang sudah dipenuhi pakaiannya beberapa lembar, lalu melangkah keluar rumah. “Neng, tunggu atuh. Neng teh gak bisa main pergi itu aja. Neng harus nurut kata suami, Neng gak boleh pergi.” Rudin berusaha menghalangi, tetapi Lastri bersikeras. “Jangan halangi Neng, A’. Aa’ silakan cari perempuan lain aja. Mulai sekarang, Neng akan gugat cerai Aa’.” “Astagfirullah, Neng. Nyebut. Itu mah gak baik. Kekayaan bisa dicari Neng, tapi kebahagiaan susah carinya. Apalagi cari pengganti yang kayak Neng.” “Bukan urusan Neng!” Linda tak bisa dihentikan, sebelum pergi, dia sempat meludah di hadapan Rudin. Seperti jijik sekali dia terhadap suaminya itu. Hati Rudin hancur lebur. Potek parah. Berderak patah. Berserak menjadi kepingan-kepingan tak berbentuk. Perih. Terluka begitu dalam. Linda pergi, Rudin hanya bisa meratapi diri. Dia sempat mengutuk diri, menyalahkan Tuhan, mengapa hidupnya miskin, kenapa Linda harus bosan lalu pergi. Kenapa dia berkhianat, kenapa dia harus menjomblo sekarang. Diingatnya lagi saat dia mendekap tubuh montok Linda, mengecup leher dan bahu wanita itu mesra. Mengecup pucuk gunung kembar, membajak sawah hingga berlumpur dan berkeringat. Linda adalah wanita super hot, Rudin tak akan bisa melupakan betapa ganasnya dia akan mencapai kenikmatan. “Sue kamu, Lin, Lin. Senengnya kok mempermainkan perasaan saya.” Rudin terus meratap. Rudin pikir, Linda pergi memang karena bosan hidup miskin, seperti yang dia ucapkan, ternyata bukan itu saja, setahun setelah Linda pergi, barulah Rudin tahu ternyata Linda butuh lelaki yang lebih perkasa dari Rudin. Kabar burung mengatakan kalau Linda jadi istri kedua seorang pengusaha di kota Jakarta. Seorang bule yang bisa terus memuaskannya. Memuaskan hasrat ingin beli ini-itu, dan juga hasrat bercocok tanam. Wanita, memang terlihat lemah, pikir Rudin. Malu-malu. Tetapi dia perkasa dan kadang tak punya urat malu! *** “Eh, pada melamu aja.” Dayat tiba-tiba muncul, ditepuknya pundak Rudin yang sejak tadi melamukan masa lalu. “Udah selesai?” tanya Rudin refleks. “Apanya?” Dayat mengangkat alis. “Itu, anter awewe geulis. Apalagi, Nying!” Rudin mendengkur kesal. Dayat tertawa, ditatapnya Rudin dengan tatapan nakal. “Beres, Din,” jawab Dayat sembari menarik bagian lingkar celananya yang agak kedodoran. “Awewe tea namina saha, Yat?” Juki ikut penasaran. Sudah satu jam lebih Dayat mengantar wanita seksi itu, Juki pikir Dayat sudah banyak berbincang. “Duh, Saha euy. Mendadak lupa.” Dayat nyengir. “Susah diinget, kalo teu salah, en ... enjel ... Enjela. Yak itu, Enjela!” seru Dayat senang. Akhirnya dia ingat juga nama gadis itu. Angela. “Oh, Enjel Kamoray?” Juki menambahi. “Karamoy!” Teriak Rudin membetulkan. “Ih, bukan atuh. Dia teh bukan artis yang itu. Awewe eta teh katana dia mau tinggal di desa kita tuk sementara karena ada urusan di sini,” jelas Dayat, dan langsung diberi tanggapan ‘ooh’ yang panjang dari Juki dan Rudin. “Kalian sudah keliling belum? Sudah malem euy, hayuk atuh ngeronda keliling desa,” ajak Dayat, mengingatkan kedua teman rondanya. “Kamu aja, Yat. Saya lagi lemas pisan ini,” tolak Rudin, “saya nunggu pos aja lah.” “Ya sudah atuh, kalau gitu saya sama Juki yang keliling.” Dayat beralih menatap Juki yang mulai mengerutkan sarung ke tubuhnya. Bukannya beranjak ingin berkeliling, Juki malah menguap. “Kamu sendirian aja, Yat. Ngantuk aing.” “Yee, saya juga ngantuk tau. Tapi ini kan tugas kita. Nanti kalau ada apa-apa di desa kita, kita juga yang disalahkeun Pak RT.” “Benar itu. Sana Ki, kamu teh ikut keliling!” suruh Rudin. Dipaksa-paksa, akhirnya Juki mau juga. “Hayuk lah, semoga saja teu ketemu yang alus-alus,” gumam Juki, entah kenapa sebelum berangkat keliling saja bulu kuduknya sudah merinding.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN