Lastri menunggu Asep dengan gelisah. Di rumahnya hanya ada dia dan putra semata wayangnya yang masih balita. Ditidurkannya si anak di kamar lalu dia keluar rumah duduk di teras sembari menghitung daun mangga yang jatuh di halaman. Tak terasa waktu berlalu begitu cepat baginya, rasanya baru kemarin dia ditinggal sang suami pergi untuk selamanya, kini sudah ada saja yang mau melamarnya. Tentu saja bukan Asep, tetapi Rudin. Lelaki yang setahun lalu ditinggal pergi istrinya itu kini mengatakan siap akan meminang dirinya sebagai istri. Entah kenapa Lastri tak menolak, dia melihat ada kesungguhan dalam diri Rudin dan dia memang laki-laki baik di desa ini meski sebagian orang menganggap sinis soal Rudin yang masih bekerja serabutan.
Banyak lelaki desa yang berusaha mendekati Lastri semenjak menjanda, sehingga dia menjadi bahan gosip sana-sini, dikatai ‘ganjen’ atau wanita tebar pesona, kadang Lastri ditegur secara terang-terangan karena dikira tengah menggoda suami orang. Sungguh nasib, menjadi janda sebukanlah inginnya, Lastri kerap menangis menyesali kemalangan hidup, dan dia berpikir ingin menikah lagi agar terhindar dari fitnah atau pun prasangka. Rudin, adalah penyelamat baginya. Selama ini Lastri tahu Rudin menyimpan rasa padanya semenjak lama hidup sendiri ditinggal istri. Namun lelaki yang sering menghabiskan malam di pos kamling itu masih ragu, dia tak yakin Lastri mau menerima perasaan cintanya.
Kedatangan Lastri waktu itu, adalah sebuah jawaban untuk Rudin. Bahwa Lastri pun memiliki perasaan yang sama. Memang tak ada ungkapan rasa berlebih, tetapi sikap Lastri cukup membuat Rudin yakin akan perasaannya. Tetapi kini, sepertinya Lastri memiliki masalah baru dengan kehadiran Asep di rumahnya.
“Neng, Akang datang,” kata Asep, tanpa Lastri sadari dia telah berdiri di depan Lastri yang duduk melamun di teras.
“Eh, iya, Kang. Silakan duduk atuh, didieu wae, ya.” Lastri mempersilakan Asep duduk di teras saja, dia enggan menerima tamu laki-laki masuk ke rumahnya. Banyak pasang mata memperhatikan, pikirnya, takut nanti jadi gosip baru nanti.
Asep duduk bersila, bau wangi semerbak menguar dari tubuhnya, mungkin satu botol minyak wangi sudah dia tumpahkan ke seluruh tubuhnya itu. rambut Asep disisir rapi, tak lupa gel rambut agar semakin sempurna dilihat. Sengaja, dia ingin Lastri terpana akan ketampanannya, meski sebagai tukang sayur keliling tetapi dia cukup percaya diri untuk mengungkapkan cinta.
“Langsung wae atuh, Kang, Akang mau bicara hal penting naon?” tanya Lastri, ditatapnya Asep yang mulai tegang.
“Anu, Neng. Hemm, kedatangan Akang teh ke sini mau ... mau ....”
“Mau naon, Kang?” Lastri tak sabar, meski hati kecilnya sudah mengatakan bahwa Asep akan mengungkapkan perasaannya.
“Akang teh sayang sama Neng Lastri. Mau teu Neng jadi pacar Akang.” Akhirnya terungkap juga perasaan Asep yang selama ini dia pendam. Dadanya terasa lebih lega sekarang, beban di hatinya terangkat ke permukaan.
“Aduh, punten pisan atuh, Kang. Neng menghargai perasaan Akang Asep, tapi kan Neng sekarang sudah serius sama Kang Rudin.” Lastri menatap Asep iba, bagaimanapun dia salut akan kegigihan Asep untuk mendapatkannya, dia pun tahu sebenarnya Asep menyukainya sejak lama, tetapi hati tak bisa dibohongi, Lastri belum ada rasa apa pun terhadap penjual sayur itu.
“Akang mohon, Neng. Terima Akang, ya. Akang janji akan membahagiakan Neng, anak Neng juga. Akang sangat cinta dan sayang sama Neng Lastri.” Suara Asep mulai berubah, sedikit serak seperti menahan rasa sakit dan tangis.
Lastri menarik napas dalam dan panjang, sulit menjelaskan pada Asep kalau dia tidak memiliki perasaan apa pun padanya. Bagaimana caranya agar Asep mau menerima kekalahan?
“Kang. Saya teh sekali lagi minta maaf, ya. Cinta kan teu bisa dipaksakan. Saya sudah memilih Kang Rudin sebagai suami saya nanti, minta doanya supaya hubungan kami selalu baik-baik saja. Soal perasaan Akang teh, saya yakin, lama-lama pasti akan hilang dan digantikan dengan keikhlasan. Banyak atuh gadis-gadis desa di sini yang geulis pisan, mungkin juga mau sama Akang. Kenapa harus saya yang sudah janda ini. Saya sarankan Akang memilih gadis lain saja.”
“Tapi Akang maunya sama Neng Lastri, kumaha?” sahut Asep masih keras kepala.
“Kang, bukannya teu baik ya, jadi orang ketiga? Akang tau saya seneng sama orang lain, tapi Akang ngotot mau sama saya. Teu baik atuh, Kang.” Lastri mulai sewot.
“Kan Neng belum resmi jadi istrina si Rudin, siapa tahu Neng jadi berpindah haluan,” seloroh Asep lagi, “selagi janur kuning belum melengkung, boleh lah Akang berusaha merebut Neng dari dia.”
Kini giliran Lastri yang terdiam. Dia ingin menyangkal tetapi rasanya percuma. Berdebat dengan Asep tak tahu ke mana ujungnya.
“Terserah Akang saja lah,” ucap Lastri pada akhirnya, “yang penting saya teh sudah tegaskeun ke Akang kalau saya menolak cinta Akang. Bukannya saya sombong atau gimana ya, Kang, Akang sudah tahu kalau saya memilih Kang Rudin. Kang Rudin bukan sekedar mau saya jadi pacar, tapi jadi istri.”
“Heleh, Akang kan juga begitu atuh, Neng. Akan sangat siap kalau pun Neng Lastri sudah siap saya persunting. Hari ini? sok atuh, kita kawin sekarang, eh kamsud Akang kita menikah. Detik ini juga teu apa-apa.” Asep merasa tertantang, dia tak ingin Lastri terus membanggakan Rudin di hadapannya, apalagi membandingkan dengan dirinya.
Lastri hanya geleng-geleng kepala mendengar ucapan Asep. Memanglah lelaki itu selalu tak ingin kalah.
“Saya mah tidak meragukan kesungguhan Akang, tapi masalahnya saya tidak CINTA!”
“Akang akan buat Neng jatuh cinta.”
“Teu bisa.”
“Bisa. Pasti.”
Lastri merengut.
“Akang lebih baik pulang sekarang, saya mau istirahat,” usir Lastri, dia sudah malas menghadapi Asep yang menurutnya tidak mengerti-mengerti apa yang dia katakan sejak tadi.
“Belum juga ngopi,” kata Asep, sejak tadi dia berharap Lastri menyuguhkan secangkir kopi hitam padanya. sepanjang jalan sebelum datang, dia sudah membayangkan betapa nikmatnya menyesap kopi buatan Lastri. Pasti sangat mantap!
“Maaf, Kang, saya teu punya kopi di rumah. Habis,” kata Lastri ketus.
“Kalau begitu, teh juga gak apa-apa, Neng,” tawar Asep.
“Habis juga, Kang.”
“Air putih?”
“Kebetulan galonnya habis dan saya belum masak air buat minum.”
“Nyusu, boleh?”
Pletak!
***
Asep kembali patah hati. Ingin dia berteriak sekuat tenaga tetapi tenaganya sudah habis. lalu dia ingin berlari ke hutan, sayangnya sudah tak ada hutan lagi, adanya kebun milik Pak Sholihin. Jadilah Asep berjalan-jalan tak tentu arah, ke mana saja dia suka tuk menghilangkan sesak di d**a.
Hingga malam datang, Asep masih belum ingin pulang. Akhirnya melangkah menuju pos kamling, di sana ternyata sudah ada Juki, Rudin, dan Dayat bertuga meronda malam ini. melihat kedatangan Asep, ketiganya mengerutkan dahi.
“Kusut amat, Sep. Kunaon?” tanya Juki, dilirknya Rudin di sampingnya yang seakan tak berminat dengan segala sesuatunya tentang Asep.
“Sep, cicing wae, kunaon?” tanya Juki lagi, disikutnya tangan Asep agar dia mendapat jawaban.
“Gak apa-apa,” jawab Asep lemas, dia tak bersemangat untuk bercerita saat ini. jangankan bercerita, menatap ke arah Juki, Rudin dan Dayat saja rasanya malas.
“Cerita atuh, kamu habis dari mana?” Kali ini Dayat bersuara, tak biasanya Asep berpenampilan rapi tetapi dengan tampang ‘lecek’ seperti itu.
Asep masih diam.
“Mau ngopi, teu?” tawar Juki, kebetulan dia tengah memasak air dalam teko listrik. Air sudah matang, Juki mulai sibuk menyedu kopi hitam, aroma kopi menguar nikmat, membuat Asep tertarik untuk menyesap kopi dan menghilangkan rasa sesak sejenak. Tetapi saat melihat ada Rudin ada di sana, mendadak perutnya mulas.
“Mau ngopi teu, Sep? Aing bikinin nih kalau mau,” tanya Juki lagi, serasa mengaduk kopi.
“Mau deh, Kang,” jawab Asep, sambil menahan mulas. Lalu dia menatap Rudin, ingin mengatakan sesuatu namun dia urungkan.
“Kunaon, Sep?” Rudin yang sejak tadi merasa terus ditatap Asep seketika bertanya, dia merasa risih Asep menatapnya lekat. Jangan-jangan, naksir aing nih, kang sayur, dalam hati Rudin.
Asep menggeleng. Rasanya dia tak mampu tuk mengatakan kepada Rudin ‘tolong jauhi Lastri’. Asep tahu, kalau dia ngomong, Lastri pasti marah. Sementara Rudin, curiga Asep terus meliriknya terus, dia mulai geli membayangkan Asep naksir dirinya dan jatuh cinta. Dih, amit-amit! Gumam Rudin lagi dalam hati.
Juki dan Dayat ngobrol berdua, sambil meminum kopi. Asep dan Rudin saling diam, berkelana dengan pikiran masing-masing.
“Eh, aya awewe geulis euy!” Dayat tiba-tiba menunjuk seorang wanita cantik yang berjalan lenggak-lenggok menuju pos kamling. Juki, Rudin, dan Asep seketika melompat, mengambil posisi jongkok.
“Awewe apa dedemit eta?” Rudin dan Asep nyaris bersamaan, rupanya mereka masih trauma melihat penampakan wanita cantik di malam hari.
Dayat, salah satu warga desa yang terkenal pemberani, katanya dia juga mengaku Indigo, jadi tahu mana orang asli mana yang bukan. Kali ini dia menenangkan Rudin dan Asep, kedua lelaki itu tak sengaja saling berpelukan.
“Eh, itu mah orang benaran, bukan demit, tenang we, ntar saya yang hadapi,” kata Dayat. Terlihat sekali wajahnya yang terlihat biasa saja, tidak merasakan takut sama sekali. Wanita yang tadi dilihatnya sudah hampir sampai, Dayat semakin yakin wanita itu bukan hantu.
“Mau kamana, Neng?” tanya Dayat, sesantai mungkin. Wanita itu terlihat montok berisi, mengenakan tengtop dan rok mini, rambutnya pirang bergelombang, dengan riasan wajah sgak tebal.
“Bang, maaf, saya boleh tanya. Di sini ada rumah yang mau disewakan gak, ya?” tanya wanita itu dengan sopan, logat bicaranya seperti bukan orang pribumi yang memiliki loga khas Sunda. Dayat pikir, wanita ini datang dari Jakarta.
Dayat melihat ketiga temannya yang masih menatap wanita itu takut-takut. Dia meminta bantuan apakah ada rumah di desanya yang disewakan, sepertinya wanita itu butuh tempat tinggal.
“Ki, kamu teh tau tidak?” tanya Dayat.
“Eh, anu, lupa saya ada teu, ya?” Juki gelagapan. Begitu juga dengan Rudin, dia menggeleng kuat-kuat.
“Kamu, Sep?” Dayat kembali bertanya.
Asep yang kesehariannya memang keliling kampung dagang sayur keliling, dia sudah hapal betul rumah mana saja yang dihuni dan yang tidak, mana yang disewakan dan yang tidak. akhirnya Asep memberitahukan kalau ada sebuah rumah yang disewakan oleh pemiliknya.
“Ada satu, Yat. Tapi ... rumahna ada di dekat rumah Kiayi, kalau mau ke sana harus melewati kebunnya Pak RT.”
“Tuh, Neng, katanya ada. Gimana, mau diantar ke sana?” tanya Dayat menawarkan, betapa baik hatinya dia soal ini, menurut Dayat kesempatan tidak datang dua kali. Lagipula, sebagai warga desa yang baik, sudah seharusnya membantu orang desa atau pendatang yang meminta bantuan. Wanita itu pun tampak senang, dia mau diantar Dayat menuju rumah yang disewakan.
“Nuhun nyak, Bang,” kata Wanita seksi itu pada Dayat. Lalu Dayat berpamitan kepada ketiga temannya untuk mengantar wanita itu.
“Hati-hati, Yat. Jangan lupa rumahnya ada di belakang rumah Kiayi,” ingat Asep lagi. Dayat mengangguk dan melambaikan tangan. Dia berjalan di samping wanita itu menjauhi pos kamling, dalam remang malam, Asep sempat melihat Dayat mencoba tuk menggandeng wanita itu.
“Asem!” gumam Asep, “kenapa orang lain mudah gaet cewek, tapi saya? Janda aja teu nolak.”
Sekarang barulah Juki dan Rudin paham setelah tak sengaja mendengar gerutuan Asep. Rupanya Asep tengah patah hati ditolak seorang janda. Janda mana lagi kalau bukan si Lastri.
“Sep, kamu teh habis ditolak Lastri?” Juki to the poin.
“Hah? Henteu lah, mana mungkin aing ditolak.” Asep mencebikkan bibirnya. Tetapi Juki dan Rudin sangat tahu meski berpuluhkali Asep mengelak.
“Pantes kamu ngelihat saya seperti itu, saya pikir kamu itu naksir saya,” kata Rudin sambil tertawa.
“Dih, najis! Gelay aing naksir sesama punya batang!” Asep bergidik, “Mending aing ngejomlo seumur hidup daripada suka sama kamu, Rudin!”
Juki dan Rudin tak tahan lagi, keduanya tergelak, sementara Asep kembali cemberut, rasa sakit hati ditolak cinta belum hilang, sekarang jadi bahan tawaan. Duh, Gustiii!