Desa Ramah Tamah kedatangan warga baru, namanya Angela. Dia seorang penyanyi yang datang dari Jakarta. Entah apa tujuan sebenarnya dia datang ke Desa Ramah Tamah, untuk saat ini hanya Pak Sholihin yang tahu.
Sudah beberapa hari adanya Angela di desa itu, para lelaki desa terlihat bersemangat. Bersemangat menggosipkan biduan seksi yang montok, bersuara emas, dan nada bicaranya yang suka mendesah-desah. Kadang terdengar serak-serak basah. Jangankan para bujang, bapak-bapak saja tak bisa berbohong kalau terangsang setiap kali mendengar Angela bicara. Tak terkecuali Pak Sholihin sendiri sebagai seorang yang bijak.
“Jrit, ponakan saya selalu keras kalau liat dia mah,” ucap Dayat dengan suara keras di hadapan teman-temannya. Kali ini mereka tidak sedang meronda, tetapi sedang duduk-duduk di teras rumah Rudin. Rumah Rudin memang kerap dijadikan base camp para lelaki kesepian, para bujang lapuk, atau bahkan para suami yang memang senang kumpul-kumpul layaknya bujangan. Sebut saja Juki, dia punya istri dan anak, tapi gayanya sudah seperti duren, alias duda keren.
“Parah!” timpal Rudin. Menurutnya Dayat sudah tidak waras lagi, lelaki itu memang sering ‘ngacengan’ setiap kali melihat perempuan. Padahal Rudin sendiri juga begitu, tetapi untuk saat ini dia tak ingin bertingkah aneh-aneh, takut Lastri mendadak menjauhinya.
“Memanglah mantap si Enjela itu, sudahlah punya suara oke, body-nya pun oke oke seribu kali.” Juki mengacungkan jempol.
“Ingat, Kang Juki, tau istri kamu memuji perempuan itu, bisa-bisa kena pasal nanti. Hihiii.” Dayat terkikis.
“Halah, istri saya itu orangnya cuek, teu pernah cemburu. Dia sibuk urus diri sendiri. Mau saya kawin lagi juga dia mah persilakan,” sinis Juki, terdengar santai tetapi hatinya terluka.
“Serius, Kang?” Dayat tak percaya.
“Serius, makanya ini saya mau mencoba deketin Neng Enjela, siapa tau dia mau jadi istri kedua.” Sekarang Juki yang terkikis, menggoda Dayat.
Rudin menggaruk rambutnya yang tidak gatal. Dayat dan Juki kini memperebutkan Angela.
“Eh, Kang, menurut saya, mah. Istri satu sudah cukup. Riweh kalau punya istri dua. Belum lagi harus berlaku adil. Akang bisa teu berlaku adil? Kata Pak Kiayi Sapi’i teh begitu.” Dayat mengingatkan Juki, yang sebenarnya dia tak mau ada saingan.
“Ya bisa adil dong, bukan Juki namanya kalau teu adil.” Juki menepuk d**a, lagaknya luar biasa.
“Ngapunten, Kang. Jangan sombong. Setahu saya ini mah, teu ada orang yang benar-benar bisa adil. Walau pun sudah adil, tetapi yang namanya perempuan itu teu mau dimadu. Cemburuan.”
“Eh, seperti kamu udah ngalamin punya istri aja, Yat, Yat. Sudah saya jelaskeun kalau istri saya mah gak pernah cemburuan. Nih, tanya Rudin, Rudian tau gimana Hesti. Henteu pernah cemburu, mau heran tapi itu istri saya.”
Rudin membenarkan, dia hanya mengangguk-angguk saja. Pikirannya saat ini, bagaimana caranya biar bisa bertemu Lastri, hatinya sudah sangat rindu rasanya.
Tapi Dayat masih ingin menyingkirkan si Juki dari daftar saingan, dalam hati, dia ingin melaporkan keinginan Juki pada Hesti, istri Juki yang tidak pernah cemburu.
***
Di tempat lain, di rumah Pak Sholihin, Danang dan Edi juga sibuk membicarakan Angela, perempuan itu memang besar daya pikatnya.
“Beuh, aing kalau jadi suaminya itu perempuan, yakin, bakal betah di rumah,” kata Danang, penuh semangat.
Edi membenarkan, dia juga tak mau kalah membayangkan gimana jadi suaminya Angela. “Aing juga, Nang. Bikin anak teros sampai mengalir jauuhh!” Air liur Edi muncrat ke wajah Danang, saking semangatnya bicara.
“Buset, jigong kamu kena muka aing!” Danang kesal, sudah jadi kebiasaan si Edi, kalau ngomong liur bahkan jigong ikut berpartisipasi ke mana-mana.
“Ya, mangap, Nang. Namanya juga bersemangat.”
“Semangat sih semangat, Ediii. Tapi bau!”
“Ya mangap lagi, mana ada jigong teu bau.”
“Ada, nih jigong aing!”
“Iiihh, teu sadar diri pisan,” ejek Edi, menurutnya, jigongnya Danang, tiga kali lipat lebih baik daripada jigongnya. Yang kalau orang kena jigongnya Danang bisa langsung pingsan.
“Assalamu’alaikum,” salam Pak Sholihin, mengejutkan Danang dan Edi. Pak Sholihin datang bersama Kiayi Safi’i, dan juga Angela.
“Wa-waalaikum salam,” jawab Danang dan Edi bersamaan. Sama-sama gugup saat melihat senyum manis Angela. d**a mereka pun ikut berdegup kencang.
“Nang, tolong bikinin minuman,” suruh Pak Sholihin.
Danang sigap melaksanakan perintah, sebagai asisten sudah jadi tugasnya melayani boss. Tapi kali ini lebih semangat, karena tamunya cantik dan seksi seperti Angela. Melihat senyumnya saja, Danang sudah terbius rasanya.
Danang masuk ke ruang belakang untuk membuatkan minuman untuk tamu, dua kopi hitam dan satu cangkir teh manis hangat untuk Angela yang manisnya ngalahin gula.
“Sini, saya bantu, Nang,” tawar Bu Wati, yang kebetulan melihat Danang di dapur.
“Ah, gak usah, Bu Wati. Saya mah sudah biasa buat minuman untuk tamu. Bu Wati kerjakeun yang lain aja nyak.” Danang tak ingin Bu Wati mengambil alih pekerjaanya.
“Nyetrika mah sudah beres dari tadi, sini atuh saya bantu bawa.”
“Gak usah!” sewot Danang, “sudah, sudah, ini kerjaan saya. Kalau sudah beres semua kamu boleh pulang, Bu Wati. Gak apa-apa.” Danang memegang nampan yang berisi minuman, meninggalkan Bu Wati di dapur sendirian. Di belakang Danang, Bu Wati meleletkan lidah. “Huuu, dasar genit. Pasti si Danang lagi cari perhatian sama itu perempuan yang putus urat malunya!” cibirnya sambil melirik kesal.
Angela duduk menyilangkan kakinya, dia mengenakan legging ketat dengan tunik yang agak panjang. Kali ini wanita itu tidak begitu memperlihatkan lekuk tubuh seperti biasa. Namun bagi Danang, kecantikannya tetap sempurna, leher panjang putih mulus, membuat pikirannya jauh berkelana.
Danang meletakkan secangkir teh di atas meja di hadapan Angela, tak lupa mngedipkan mata. “Mangga, diminum Neng susunya, eh maksud saya tehnya.”
“Ah, terima kasih, Bang, repot-repot banget buatin teh segala,” kata Angela, sedikit mendesah.
Edi sibuk membenarkan bagian tertentu celananya, sementara Danan mendadak tenggorokannya terasa kering. Lalu dia cepat-cepat menyuguhkan minuman untuk Pak Sholihin dan Kiayi.
Pertemuan hari ini antara Pak Sholihin dan Kiayi Safi’i, ingin membahas sesuatu yang penting. Sebagai ketua RT, dia berhak menyampaikan pada warga tentang apa yang jadi tujuan Angela datang ke desa mereka.
***
“Kok pulangnya cepat, Bu Wati?” tanya Bu Ratna, yang kebetulan lagi sibuk menyapu teras rumah.
“Kerjaan selesai ya pulang atuh, Bu. Saya teh kerjanya enak, ringan, mana digajinya lumayan.” Bu Wati berhenti melangkah, lalu melipir di teras Bu Ratna.
“Wah, enak, ya. Tapi yang namanya kerja ya tetap aja capek kan nyak,” sahut Bu Ratna, nyapu sudah bolak-balik tapi gak selesai-selesai.
“Ah, teu juga. Biasa kalau nyuci nyetrika mah, teu berat. Kan sudah biasa kita kerjakan di rumah. Tapi yang bikin kesal itu si Danang. Ih, kalau ingat menantunya Pak RT satu itu, rasanya saya mau laporkan ke istrinya biar tau rasa!”
“Aduh, memangnya si Danang teh kenapa, Bu? Apa dia melecehkan Bu Wati? Kalau itu mah ya wajib lapor atuh, Bu. Jangan cicing wae, si Danang harus ditegur,” cerocos Bu Ratna, bola matanya mendelik-delik menatap Bu Wati.
“Bukan melecehkan saya, Bu Ratna. Eh, tau teu, itu si Danang lagi cari perhatian sama perempuan seksi itu. Saja nyak naminya, lupa saya juga.”
“Warga baru itu? Yang seksi bahenol?” Mata Bu Ratna membulat.
“Siapa lagi Bu Ratna, itu dia. Perempuan itu sekarang lagi di rumah Pak RT!” Bu Wati merendahkan nada suaranya, takut para tetangga dengar.
“Ah, yang bener Bu Wati?”
“Bener atuh, masa saya bohong.”
Bu Ratna berdecak-decak tak percaya. Mau gak percaya yang ngomong si Wati, pikirnya.
“Kira-kira ngapain nyak tuh perempuan di sana, setahu saya teh, si Neng kerja, saya jadi curiga.”
“Heh, Bun Ratna. Yang namanya perempuan gatal, bisa di mana aja. Siapa tau aja Pak RT mau kawinin itu perempuan.” Bibir Bu Wati semakin lemes. Dan Bu Ratna semakin penasaran.
“Iiih, dasar ya, Pak RT. Mentang-mentang lama menduda, jadi teu sabar mau kawin deik. Tapi saya mah khawatir, nanti yang dikawinin Pak RT yang menggoda malah menantunya, hihii.”
“Hush, jangan kencang-kencang atuh ngomongnya apalagi ngomongkeun si awewe gatel itu. Bisa-bisa suamik-suakik kita juga bakal kepincut.” Bu Wati mengibaskan tangannya.
Bu Ratna membekap mulut. Dia juga tak ingin suaminya ikut gatal melihat wanita yang meresahkan kaum ibu-ibu itu.
“Tapi saya teh setuju kalau Pak Sholihin memperistri perempuan itu, Bu. Biar para lelaki desa kita teu ada deik yang ganjen cari perhatian sama itu perempuan!”
“Betul! Saya teh juga setuju!” timpal Bu Wati, yang tanpa dia sadari, pembicaraannya dengan Bu Ratna jadi perhatian ibu-ibu penggosip yang lain.