Bab. 15 - Informasi Penting

1351 Kata
“Kang Juki, Kang Rudin di mana atuh, kok gak kelihatan?” tanya Lastri, sejak tadi dia terus melihat ke arah perkumpulan lelaki desa. Namun, tak dia temukan Rudin di sana. Perasaan wanita itu jadi tak tenang, dia takut Rudin memang sengaja menjauhinya sebab kesalahpahaman yang terjadi seamalam. Sementara Asep, dilihatnya tengah berbincang-bincang dengan para jomlo lainnya, apa lagi yang sibuk mereka obrolkan, pastilah mereka itu iri-dengki tak berkesudahan terhadap Kiayi Safi’i yang berhasil mengawini si seksi Angela. Juki yang belum lama hadir memenuhi undangan Pak RT yang menyuruh seluruh warga desa berkumpul, menjawab pertanyaan Lastri dengan ketus. “Rudin lagi sakit, semalam habis pingsan!” “Hah, pingsan kunaon, Kang?” Lastri terperanjat. Dia sama sekali belum tahu soal itu. Kenapa lagi Rudin pakai pingsan segala? Pikir Lastri, namun tak bisa dipungkiri, dia merasa cemas sekarang. “Gara-gara Neng Lastri kan, kata Rudin semalam Neng berduaan sama Asep,” timpal Juki lagi. Lastri terdiam, dia menggigit bibirnya, merasa tak enak hati dnegan ucapan Juki. Beberapa kali dia melihat sekeliling, berharap tak ada yang mencuri dengan obrolannya dengan Juki. Memang suasana di balai desa ramai, sekelompok bapak-bapak dan sekelompok ibu-ibu yang masih menunggu informasi dari Pak RT, mengisi waktu menunggu, sebagian dari mereka mengobrol santai, ada juga yang ghibahin Kiayi, julidin si Angela, bahkan ada pula yang sibuk ngobrolin dedemit sampai arisan perabot. Hanya beberapa orang yang terlihat diam, diam-diam kentut sambil molor. “Kang, saya teh gak ada hubungan apa-apa sama Kang Asep. Sumpah. Kang Rudin Cuma salah paham. Semalam, Kang Asep datang ke rumah mau antar pesanan sayur dan daging buat saya, sebab saya ada rencana mau piknik bareng adek-adek, eh, ternyata batal.” Lastri mencoba menjelaskan, dia pun sebenarnya kecewa, sudahlah Rudin ngambek, eh jalan-jalan malah batal. “Serius?” Juki menatap wajah manis Lastri. Wanita itu mengangguk. “Serius, Kang. Kang Asep memang begitu, kalau ketemu juga pasti ajak ngobrol walau sebentar, tapi saya mah gak ada perasaan apa-apa sama dia. Kan Akang tahu sendiri, kalau saya teh sukanya sama Kang Rudin aja.” “Hmm, nah, kalau gini kan berarti salah paham, Neng. Nanti saya sampaikan ke Rudin, nyak. Neng jangan sedih.” Juki jadi paham sekarang, dalam hati dia pun ikut lega, padahal sebelumnya dia juga sempat mengumpat Lastri yang iya-iyak. “Tapi, Kang, beneran Kang Rudin pingsan semalam gara-gara saya?” Lastri masih penasaran. Tetapi belum sempat Juki menjawab, seseorang datang. “Aa’!” panggil Hesti, menggamit bahu Juki. Tetapi bola matanya melototi Lastri. “Ternyata Aa’ buru-buru ke sini tadi mau nemuin janda ini?” Lastri terkejut, bisa-bisanya Hesti jadi cemburuan begini. Padahal sebelumnya, dia tak pernah se-posesif ini terhadap suaminya. Mau Juki ngapain aja terserah. Bahkan gak pulang-pulang ya bodo amatan. Tapi sekarang, sikap Hesti jadi aneh, seakan ketakutan kalau Juki main serong dengan wanita lain. “Ngomong itu ya dipikir dulu atuh, Hestiii,” ucap Juki gemas, dipelototinya istrinya yang berbadan gembul itu. “Sudah dipikir-pikir sampai saya gak bisa mikir lagi, A’. Perempuan itu pilingnya selalu benar, Aa’ ke sini katanya buru-buru mau dengar inpo dari Pak Rete, eh ternyata ngobrol-ngobrol sama janda,” sengit Hesti, bikin Juki geleng-geleng kepala. Rasanya mau dia karungin istrinya itu. “Pilak-piling, bibirmu!” Juki kesal, lalu dia meninggalkan Hestri dan Lastri begitu saja menuju di mana kelompok para lelaki. Hesti menghentakkan kakinya kesal dengan bibir muncung. “Bu Hesti, punten, ya. Jangan salah paham dulu, jangan berpikir macam-macam tentang saya. Saya ini walaupun janda, tapi masih punya harga diri, saya gak akan sudi merebut suami orang lain, saya bukan pelakor. Bener kata suami ibu, kalau ngomong itu dipikir dulu, takutnya malah jadi pitnah,” ujar Lastri dengan nada tegas, dia paling tak suka direndahkan dengan statusnya sebagai janda. Di mana-mana, kalau ada lelaki yang lagi ngobrol dnegannya, pastilah dia dicap sebagai janda gatal atau pelakor. Serendah itukah seorang janda? Lastri menghela napas panjang, kemudian meninggalkan Hesti begitu saja. Ucapan Lastri begitu menohok bagi Hesti, hingga wanita berbadan subur itu terdiam di tempatnya, dia mulai merasa malu pada diri sendiri, dan menyadari ada yang aneh dalam dirinya. Dia tak pernah secemburu itu pada Juki sebelumnya. Dia bahagia tanpa dibebani pikiran buruk, dia bahagia dengan hidupnya yang apa adanya. Tanpa di sadari badannya menggemuk, dia hidup tanpa beban pikiran. Hesti pandai menyenangkan diri sendiri dengan caranya sendiri. Yang penting, Juki masih mencintainya, bertanggung jawab sebagai suami dan menyayangi anak-anaknya. d**a Hesti terasa sakit. “Ah, mungkin selama ini saya sudah termakan alur pilem sinetron yang selalu bahas soal pelakoor,” dengkus Hesti dalam hati, menyalahkan sinetron yang akhir-akhir ini gencar dia tonton. *** Dirasa semua sudah tenang dan siap mendnegarkan pidatonya, Pak Sholihin kembali berbicara di hadapan para warga yang sejak tadi menunggunya. “Tes,” suara Pak RT di mikropon. “Tes, tes, satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh, delapan, sembilan ....” “Sepuluuuh!” teriak warga serempak. “Pinterr!” sambut Pak Sholihin dengan senyum lebar. “Masih ada yang belum hadir?” tanya Pak Sholihin lagi. “Ada. Pak RT!” Tiba-tiba suara Asep terdengar kencang, “perasaan dia ke saya, sampai saat ini belum hadir-hadir.” “Huuuu!” Serempak warga mencibir Asep, lalu terdengar gelak tawa. “Bisa wae kamu, Sep. Candaan khas lelaki jomlo,” canda Pak Sholihin. “Iya, jomlo karatan!” Dayat penuh semangat. “Hush! Sesama karatan gak boleh saling pitenah!” Asep menoyor kepala Dayat. Seperti biasa, Pak Sholihin selalu sabar dalam menanggapi tingkah pola warganya. Apa pun acaranya, tak pernah dia sampaikan dengan tegang. Rileks dan menenangkan dengan bahasa yang ringan, mudah dipahami, namun tetap berkharisma seorang RT yang dibanggakan warga. “Sudah ya, bercandanya, saya senang kalian semua akhirnya bisa berkumpul di sini dalam rangka silaturahmi antar warga desa. Tujuan berkumpulnya kita di sini yaitu mempererat tali silaturahmi, sharing, dan mencari solusi dari apa yang terjadi terhadap desa kita belum lama ini.” Pak Sholihin menatap warganya menyeluruh. “Sebelumnya, saya sudah sampaikan pengumuman penting, yang wajib bapak-bapak ketahui dan ibu-ibu ketahui pula, bahwa Neng Angela sudah dinikahi siri oleh Kiayi Safi’i, beliau sendiri yang ingin saya umumkan soal ini setelah saya sampaikan banyak keluhan ibu-ibu mengenai para suami-suami. Punten, saya mah hanya menyampaikan saja ya bapak-bapak, karena demo tadi malam cukup membuat saya kaget. Lebih kaget lagi saat saya dituduh yang bukan-bukan. Nah, info selanjutnya, yang mungkin sebagian sudah ada yang tahu, kalau Neng Angela adalah saudari dari mayat yang pernah kita temukan tempo lalu di kebun saya.” Mendengar itu, warga menjadi ramai. Mereka benar-benar tak tahu soal ini, kalau Angela adalah keluarga mayat wanita yang mati mengenaskan itu. “Tujuannya ke sini ngapain, Pak Rete?” Hesti bertanya, seketika dilirik oleh Bu Wati dan kawan-kawannya. “Nah, ini yang ingin saya sampaikan. Neng Angela ini sebelumnya mencari-cari keberadaan saudarinya yang sudah mati, hingga akhirnya dia melaporkan kepada polisi tentang kehilangan orang. Neng Angela akhirnya tahu kalau saudarinya meninggal di sini, setelah beberapa hari ditemukannya mayat Dewi.” “Ooh, namina Dewi toh dedemit yang terus ganggu warga desa kita.” Lagi-lagi Asep bersuara. “Kita doakan saja semoga arwah Dewi tenang di sana. Mulai besok, desa kita akan mengadakan pengajian atas kematian Dewi, saudarinya Neng Angela di rumahnya Kiayi Safi’i,” jelas Pak Sholihin. “Bagi warga yang berkenan datang, mangga datang nyak. Tetapi kalau belum bisa datang sebab berbenturan dengan kegiatan lain yang lebih penting tidak datang juga tidak apa-apa. Apa yang saya jelaskan apakah sudah paham, Pak, Bu?” tanya Pak Sholihin lagi. Seseorang mengangkat tangannya tinggi-tinggi. “Iya, Bu Ratna?” “Pak RT, saya teh gagal paham ya, kenapa Kiayi tiba-tiba ngawinin si Anjeli?” Bu Irma bertanya, diiringi cekikikan para ibu-ibu dan bapak-bapak. Kalau Bu Hesti korban sinetron pelakor, Bu Irma ini korban drama India. “Angela, Bu Irma,” kata Pak Sholihin membetulkan. “Ah, sama ajalah, Pak RT.” “Ya, beda dong, Bu. Kalau Neng Angela ganti nama, bakal ada nasi tumpeng di desa kita.” “Ya, ya, seretah Pak RT ajalah,” Bu Irma menutup mulutnya menahan senyum. “Terserah, Bu. Bukan seterah.” “TERSERAH, PAK RETEEE!” kompak warga seperti dikomando mmbenarkan ucapan Pak Sholihin. Haduh!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN