Pertemuan warga dicukupkan hari itu, pembahasan lembih lanjut akan Pak Sholihin sampaikan di pertemuan selanjutnya jika diperlukan, namun sepertinya masalah sudah selesai. Warga diharapkan untuk tidak melakukan hal-hal diluar batas kesopanan terhadap perempuan mana pun, saling menjaga privasi, kehormatan keluarga dan yang terpenting kerukunan dalam bermasyarakat. Itu pesan Pak RT kepada warganya.
Pertanyaan Bu Irma sebelumnya tentang perkawinan Kiayi dan Angela, Pak Sholihin meminta maaf sebab dia tak bisa menjelaskan alasannya mengapa, ada privasi yang harus dijaga. Yang terpenting, warga sudah mengetahui bahwa Angela sudah jadi milik Kiayi.
Satu persatu warga Desa Ramah Tamah kembali pulang ke rumah masing-masing.
“Eh, Hesti. Kamu teh tadi kenapa pake acara nanya segala ke Pak RT tentang tujuan si Enjela datang ke desa kita?” Juki penasaran apa yang ada di kepala istrinya itu. keduanya jalan bersisian menuju arah pulang.
Ditanya begitu, Hesti melirik suaminya tak suka. “Memangnya kenapa, A’? salah ya kalau saya nanya begitu ke Pak RT. Trus saya tanya siapa? Kambingnya si Dayat?” cerocos Hesti.
“Bukan. Harusnya kamu tanya tuh sama tiang tenda!” sungut Juki.
“Dih, gak jelas pisan kamu A’. Aneh, deh.” Hesti mencibir.
Keduanya masih melanjutkan perjalanan pulang dalam diam, di depan dan di belakang mereka beberapa warga yang satu arah terlihat sibuk berbincang-bincang, entah memperbincangkan apa.
“A’, memangnya kamu gak merasa aneh, gitu. Itu yang namanya Angela, katanya saudaranya Dewi, si mayat yang ditemukan itu, tapi kok ke sini malah kawin sama Kiayi?” Hestie seolah berpikir keras. Juki menoleh, lalu melihat sekeliling.
“Bukan urusan kita atuh Hesti, mikirin Kiayi dan perempuan itu. Biarkeun we lah dia mau kawin sama siapa juga, Aa’ mah gak peduli.” Juki setengah malas menanggapi Hesti. Lagipula, dia tak enak jika ucapan istrinya didengar orang lain.
“Ya, itu sih, memang terserah mereka A’, maksud saya teh, tujuannya ke sini itu sebenarnya mau cari saudara apa mau cari suami, kan gitu.”
Juki menggaruk kepalanya yang tidak gatal, kekepoan Hesti mulai tak terkendali.
“Jangan tanya Aa’, atuh Hesti. Sanah, kamu tanya kambing aja!” Juki benar-benar tak menghiraukan istrinya lagi, dia melangkah lebih cepat, lebih lebar, tanpa sadar kakinya tersandung.
“Rasain kamu A’, kualat sama istri. Ngobrol sama janda aja betah berlama-lama, sama istri sendiri semenit sudah gak tahan!”
***
Malam kembali datang, meski bukan jadwalnya meronda malam ini, tetapi Juki memilih menghabiskan malam di pos kamling. Menikmati cahaya rembulan, memandang taburan bintang sambil menyeruput kopi hitam dan sepiring keripik pisang, rasanya lebih nikmat ketimbang harus mendengar pertanyaan-pertanyaan Hesti yang tersayang.
Kondisi Rudin sudah membaik, dia ikut bergabung bersama Juki di pos kamling, dan dua orang yang memang dijadwalkan meronda. Arman suaminya Bu Wati dan Sopian suaminya Bu Ratna.
Arman dan Sopian tipikal laki-laki yang tak banyak bicara, tapi sekali ngomong langsung pinjam uang. Terbukti saat Arman mulai mendekati Rudin untuk dipinjami modal untuk dagang. “Semenjak sakit kemarin, saya sama sekali gak dapat masukan, Din. Untung istri saya kerja di rumah Pak RT bantuin Kartika nyuci sentrika.” Arman curhat, sembari menyeruput kopi.
“Hemm, maneh mah masih beruntung, Kang. Sakit, masih ada istri yang bantu cari rejeki, sedangkan saya? Istri aja malah pergi.”
Ditimpali begitu, Arman jadi malu sendiri. Tetapi dia masih tak ingin berputus asa, kali ini dia berharap Juki mau membantunya.
“Kalau kamu, Kang?” tanyanya pada Juki yang tengah menatap bintang gemintang.
“Ah, Kang Arman ini seperti gak tau aja kalau saya kerjanya serabutan. Akhir-akhir ini sepi borongan, belum ada ajakan buat nguli lagi.” Juki mendesah.
“Gimana kalau ngojek aja, Kang?” Sopian yang terus menyimak sejak tadi kini menyumbangkan ide untuk Arman.
“Motor saya belum diservis, Kang. Belum ada uangnya. Ini juga ke mana-mana jalan kaki, kadang saya kasihan sama anak-anak, mana sekolah mereka lumayan jauh kalau jalan kaki.”
“Jangan ngojek lah, Kang. Apalagi malam-malam.” Rudin masih bergidik mengingat kejadian kemarin malam.
“Kenapa, Din?” tanya Sopian, dia memang agak kudet mengetahui informasi-informasi tentang warga desa, semua informasi biasanya dia tahu dari istrinya yang suka menggosip.
“Bukannya manusia yang numpang bonceng, tapi dedemit, Kang.”
“Ah, gak percaya saya!” Halau Sopian, “mana ada sih makhluk begituan,” kilahnya.
“Hemm, didatengin baru tahu rasa kamu, Cup!” seloroh Arman, dia sendiri pun pernah mengalami apa yang Rudin alami.
“Ya kalau didatengin nanti saya ajak ngopi, Kang, hehee.” Sopian terkekeh, sementara Rudin, Arman dan Juki hanya bisa nyengir melihat gaya Sopian.
Malam semakin larut, Juki dan Rudin sudah menarik sarungnya menutupi tubuh, meringkuk di pojok pos untuk tidur. Biasa ngeronda, keduanya lebih nyaman tidur di pos kamling daripada di rumah. Sekarang tingga Arman dan Sopian yang masih harus berjaga, membuka mata mereka agar tidak terlelap sampai pagi.
“Keliling yuk, Kang,” ajak Sopian, dia melirik jam di pergelangan tangannya. Sebagai orang kantoran, dia sedikit berbeda dengan lelaki desa lainnya, dia sangat mementingkan penampilan, dari sisiran rambut yang rapi dan klimis, memakai wangi-wangian, baju rapi, mengenakan aksesoris untuk melengkapi penampilannya yang macho. Hanya satu yang Arman tidak sukai dari Sopian, lelaki itu agak pelit menurutnya.
“Maaf, Kang, saya bukannya gak mau pinjamin Akang modal, tapi bulan ini saya juga lagi banyak sekali pengeluaran. Yaah, kalau ada mah, pasti saya pinjami, Kang.” Begitu alasan Sopian saat Arman meminta dipinjami uang. Seribu satu alasan seseorang menolak memberi utang, sama halnya beribu-ribu alasan seseorang dikeluarkan agar mendapat pinjaman.
“Ayo, maneh ke arah sana, saya ke arah sini, Kang.” Arman membagi tugas, dia memilih untuk keliling desa yang mengarah ke rumah Pak RT, ketimbang harus berkeliling ke arah rumah Kiayi yang harus melewati kebun Pak Sholihin.
Tanpa protes, Sopian menjalankan tugasnya. Dia berjalan membawa senter, dan alat tabuh dari bambu kecil, jika ada kenapa-kenapa dia akan membunyikan benda itu beberapa kali.
Jalana sepi, udara semakin gelap dan dingin. Sopian terus menyusuri jalan yang minim penerangan, hanya cahaya rembulan yang bisa dia andalkan.
Awalnya, Sopian berjalan biasa saja, mata terus memeriksa beberapa sudut untuk memastikan semuanya baik-baik saja. Tidak ada yang aneh, atau pun mencurigakan, dia terus memeriksa tanpa dihantui rasa takut.
“Duh, kebelet lagi,” desis Sopian, sambil melipat kakinya. Hasrat ingin kencing tak bisa dielakkan. “Masa harus pipis di pohon pisang itu,” gumamnya, seraya menatap serumpun pohon pisang di ujung jalan. Tetapi tak ada pilihan lain selain ‘ngumpet di balik pohon pisang itu.
“Aahh,” desah Sopian sambil membenarkan resleting celananya, lega rasanya.
Baru saja Sopian ingin meninggalkan serumpun pohon pisang itu setelah selesai buang hajat, tiba-tiba ada yang memanggilnya dengan suara parau.
“To-long.” Suara itu begitu mengerikan.
Tengkuk Sopian merinding, tetapi dia tak ingin terlihat lemah.
“Siapa kamu?” tanya Sopian, agak keras.
Tidak ada jawaban.
Sopian mundur beberapa langkah, kemudian hendak memutar badan meninggalkan tempat itu jauh-jauh.
“Tolong saya,” ucap suara itu lagi, kali ini smabil terkikik.
Kaki Sopian mendadak berat. Napasnya tak beraturan.
“Si-siapa kamu, hah?” ulang Sopian, kali ini terbat-bata, tenggorokannya terasa sangat kering. Kakinya berat, dan suaranya seperti menghilang.
“Saya Dewi Anggraini, Hihiiii!”
Sopian terkejut bukan main, dia masih ingat informasi dari Pak Solihin siang tadi kalau mayat yang dulu ditemukan itu bernama Dewi. Ya, mungkin nama panjangnya Dewi Anggraini.
Sopian ingin berteriak minta tolong, tapi tak ada suara yang keluar dari mulutnya. Dia hanya bisa membulatkan mata, berdiri tegak di tempat dengan tungkai kaki terasa lemas. Dalam hati dia berharap ada seseorang yang datang menolongnya, membawanya jauh-jauh dari tempat itu.
“Tolongin saya.” Lagi, Sopian harus mendengar rintihan Dewi.