Bab. 8 - Cari Teman, Bukan Lawan

1210 Kata
Sudah tidak ada polisi saat Asep kembali ke rumah Pak Sholihin. Di sana hanya ada Pak Sholihin, Danang dan Edi, juga Bu Wati yang sibuk bekerja di rumah. Asep datang tergopoh sambil mendorong gerobak sayurnya dengan penuh amarah. Melihat tampang Asep yang sedang tidak senang itu, Pak Sholihin mengerutkan dahi, ditatapnya pemuda dewasa itu penuh seksama. “Kunaon, Kasep?” tanya Pak Sholihin akhirnya. Asep menghentikan gerobak sayur di halaman rumah lalu dia duduk di teras lalu menghadap Pak Sholihin. “Pak RT, tolong saya, Pak. Gawat, Neng Lastri dalam bahaya!” kata Asep berapi-api. Mendengar ucapan Asep, semakin bingunglah Pak Sholihin. “Bahaya gimana, Sep? Duduk dulu atuh, sini jelaskeun gimana duduk perkaranya. Ada apa dengan Lastri?” ujar Pak Sholihin lagi. Sementara Danang dan Edi ikut menyimak dengan tatapan seperti biasa, agak sewot kalau melihat Asep. Asep menceritakan apa yang diceritakan Bu Wati tadi, lalu pikirannya soal hubungan Lastri dan Rudin. Tebakannya soal Rudin yang tidak beres itu benar, dia juga menceritakan bahwa saat ini Rudin yang ditemani Juki sedang ingin membeli golok. Semakin takut Asep akan keamanan Lastri, wanita yang dia cintai itu. Namun bukannya ikut prihatin, Danang dan Edi justru tertawa mendengar cerita Asep. Sinis Danang berkata sebelum Pak Sholihin bersuara, “Eh, bujang buluk, kamu itu lebay. Tau teu lebay? Mana ada si Rudin mau membahayakan si Lastri, wanita yang dia sayangi di dunia ini. hadeuhh, aya-aya wae. Mending kamu jualan sana, cari duit!” “Weee, nyambar wae kamu, Nang. Ini urusan aing, bukan kamu! Mending kamu yang cari kerja, daripada ngetek mertua terus!” Asep geram, ditunjuknya Danang penuh emosi. “Sudah, sudah. Tidak ada yang bertengkar, kalian mengerti? Saya tidak suka ada keributan-keributan yang tidak jelas. Jika ada masalah pribadi, silakan selesaikan dengan baik-baik.” Pak Sholihin menengahi, “Kita teh di desa ini adalah keluarga, lebih baik berkawan daripada cari lawan. Kita di sini orang-orang dewas, punya akal pikiran, punya hati, gunakan pikiran kalian untuk berpikir positif, dan yang penting mulut kalian harus dijaga dengan baik.” “Tuh, punya pikiran itu yang baik!” sela Danang, tertuju pada Asep. “Kamu yang mulutnya juga harus dijaga!” timpal Asep tak mau kalah. Pak Sholihin menarik napas dalam, menantunya dan Asep sejak dulu seperti anjing dan kucing, tidak pernah terlihat akur. Keduanya memang selalu ribut, entah ada masalah apa Pak Sholihin tak pernah tahu. “Sep,” kata Pak Sholihin, “soal laporan kamu barusan, saya akan tampung. Tappi, saran saya, kamu sebaiknya jangan berburuk sangka dulu sama Rudin, takutnya ada fitnah. Saya cukup kenal watak Rudin dengan baik, tidak mungkin dia seperti itu. lagipula, itu kan hanya pikiranmu saja.” Asep terdiam. Memang benar dia belum ada bukti apa pun, tapi rasa cemasnya terhadap Lastri sangat tinggi. “Soal cerita Bu Wati soal kedatangan polisi ke sini tadi, mereka memang benar melaporkan bahwa identitas mayat sudah ditemukan setelah memeriksa barang-barang bukti korban. Tapi saya belum mendapatkan informasi lebih detil, hanya dikabarkan sekilas kalau wanita itu mati akibat dibunuh oleh pacarna, begitu,” jelas Pak Sholihin, “bukan berarti dengar cerita itu dari Wati kamu jadi menyimpulkan sendiri soal hubungan Rudin dengan Lastri.” Asep tak tahu harus bicara apa, mulutnya terkunci rapat-rapat, lalu wajahnya tertunduk dalam. Dia mulai menyadari kesalahannya, meski masih tersisa rasa khawatir terhadap Lastri. “Sep,” panggil Pak Sholihin lagi, “memangnya kamu teh sejak kapan suka sama Lastri?” Ditanya begitu, Asep sontak mengangkat wajah. Dilihatnya tatapan Pak Sholihin yang menatapnya teduh. “Sudah lama, Pak. Semenjak Lastri menjanda,” jujur Asep, dengan suara pelan. Danang yang di samping Pak Sholihin mendesis kecil, lalu Edi yang masih menyimak dengan baik. “Tapi saya kecewa, Pak. Neng Lastri ternyata teu suka sama saya,” lirih Asep, sembari membuang muka ke arah gerobak sayurnya. Melihat Asep patah hati seperti itu, hati Pak Sholihin terenyuh. Dia merasakan betapa Asep mencintai Lastri, sewaktu lelaki itu sakit, beberapa kali Asep menyebut nama Lastri. Ketua RT itu pun sudah mendengar langsung dari Asep bagaimana malam itu yang akhirnya dia harus bertemu wanita seksi, bermula dari meratapi nasib karena patah hati. Cintanya tak terbalas. Harapannya kandas. “Sabar, Kasep. Itu namanya belum jodoh. Masih banyak perempuan-perempuan lain di desa ini, bahkan gadis-gadis cantik yang mungkin ada yang mau menerima kamu. Cinta itu teu bisa dipaksakan, kalau menjalin hubungan secara paksa, ujungnya tidak akan bisa bahagia. Saya dulu juga pernah punya pengalaman asmara yang menyedihkan, tetapi ....” Pak Sholihin ingin bercerita tentang masa mudanya kala sedang jatuh cinta, tetapi dia urungkan. “Tetapi apa, Pak?” serempak ketiga lelaki di dekat Pak Sholihin itu bertanya. Mereka penasaran ingin mendengar kisah selanjutnya. “Tetapi saya belum bisa cerita, maaf,” kata Pak RT. “Yaah, tanggung atuh, Pak. Lanjutkeun,” pinta Edi. “Maaf, mendadak perut saya sakit, sepertinya mau buang air. Punten nyak, saya permisi ke belakang dulu,” kata Pak Sholihin, sembari memegangi perutnya yang terasa mulas. Wajahnya pun terlihat menahan sakit. “Weeh, kayaknya Bapak mules kebanyakan makan sambel cabe semalam,” kata Danang, setelah Pak Sholihin ngacir masuk ke rumah menuju belakang. “Sambel naon?” sahut Edi. “Sambel demit!” jawab Danang sembil menekankan kata terakhir dan melirik Asep. “Euh euh, mau aneh tapi ini menantunya Pak RT. Mulutnya memang seneng membully.” Asep berdiri dari duduknya lalu beranjak pergi sembari mendorong gerobak sayur. *** “Yuuurrr!” teriak Asep, kembali menjajakan sayurannya keliling kampung. Lelaki itu mulai merasa bosan mendorong gerobak, terasa berat dan melelahkan sungutnya dalam hati, akhirnya Asep berpikir untuk mengganti gerobaknya dengan sepeda motor. Banyak pedagang sayur keliling menggunakan motor berkeliling kampung atau ke mana pun mereka mau, rasanya pekerjaan terasa lebih ringan. Hari ini Asep hanya berjualan hingga siang, dia merasa sangat lelah dan tak bertenaga. Akhirnya memilih pulang dan beristirahat saja di rumah. “Terserah dengan syuran ini, aing mau bobo aja,” katanya, seperti bocah ngambek. Memang dia sudah tak bersemangat lagi menjajakan sayurannya, pikirannya masih kacau. Di tengah jalan arah pulang, kebetulan Asep melihat Lastri tengah menggendong anaknya. Janda cantik itu terlihat mengusap peluh di pelipis, sinar matahari memang terasa menggigit. “Neng.” Panggil Asep, kembali bersemangat. Di dekatinya Lastri yang berjalan agak terburu-buru. “Neng, tunggu!” “Naon, Kang?” tanya Lastri, sesampainya Asep di dekatnya. Dilihatnya wajah Asep yang penuh, tampang kuyu, dan napas cepat yang menggebu. “Syukurlah Akang teh ketemu Neng Lastri di sini, Akang mau ada yang diomongkeun sama Neng.” d**a Asep berdebar hebat saat mengatakannya. “Ngomong apa, Kang?” “Tapi teu di sini atuh, Neng Geulis. Bisa kita ngomong di rumah Neng aja? Nanti Akang balikin gerobak sayur dulu di rumah, trus Akang ke rumah Neng. Kumaha?” Lastri terlihat keberatan, dia merasa lelah dan ... malas saja harus mengobrol dengan Asep. Tetapi sepertinya Asep ingin menyampaikan sesuatu yang penting. “Ya sudah atuh kalau begitu, Neng tunggu, tapi jangan lama-lama, ya, saya banyak urusan soalnya.” Pesan Lastri. “Ah, siap, Neng, siap! Akang segera pulang dan datang ke hati Neng, eh ke rumah Neng kamsudnya, hihihi.” Halah, jijay sekali Lastri mendnegarnya, tanpa basa-basi lagi, Lastri segera meninggalkan Asep menuju pulang ke rumah. Sementara Asep, masih tersenyum-senyum di tempatnya membayangkan pertemuannya dengan Lastri di rumahnya. ‘sudah saatnya’ bisik Asep, di tengah gemuruh di d**a.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN