Bab. 17 - Bikin Gagal Fokus

1435 Kata
“Lontooong!” Sopian berteriak sekuat tenaga, lari terbirit-b***t menuju pos kamling, senter yang dia pegang entah terjatuh ke mana. Napasnya tesenga-sengal seperti orang mau putus nyawa. Rasa takut menjalari tubuhnya hingga pucat wajah lelaki tampan di mata istrinya itu. “Kang Sopian?” Juki dan Rudin mendadak terbangun dari tidurnya, dan langsung mengambil posisi duduk. Ditatapnya Sopian dengan tatapan heran, lalu diikuti beberapa warga yang juga terkejut saat mendengar teriakan minta tolong Sopian. “A-anu, Kang ... A-a-ada KETAN!” Sopian gugup, dia ingin berkata tetapi masih shock. “Ketan? Enak tuh!” seloroh Juki, dan langsung kena sikut Rudin. “Setan maksudnya, Kang?” Rudin membenarkan. Sopian mengangguk. lalu beberapa warga yang mengikutinya tadi saling pandang. “Di mana, Kang?” Sopian menatap satu per satu orang-orang di hapannya. “Di-di sana, Kang. Di rumpun pisang dekat kebunnya Pak RT!” Telunjuk Sopian mengarah ke sana. Semua yang mendengarkan sudah tak heran lagi dengan adanya cerita seram di dekat-dekat sana, memang sudah langganan banyak warga diteror dedemit, warga menamainya setan cantik di kebun Pak RT. Belum lama, Arman datang. Dia heran melihat teman merondanya itu pucat, lalu beberapa warga yang berkumpul di pos. “Kunaon pada kumpul di sini?” “Kang Sopian habis ngeliat demit katanya, Kang,” lapor Rudin, sebelum Sopian menjelaskan sendiri. Seketika bibir Arman mencebik ke bawah mengejek Sopian. “Heleh, katanya gak takut begituan, katanya mau ditangkep kalau ketemu, tuh, kamu sekalian pacarin tuh dedemit. Hahaha!”Arman tertawa senang sudah membuat Sopian malu termakan omongan sendiri sekaligus kesal. “Sudah, sudah. Sini Kang Sopian, minum dulu, tenangkan diri,” Rudin menagajak Sopian duduk, diambilkannya minum air putih segelas dari galon. Sopian duduk di dekat Rudin, meneguk habis segelas air putih, lalu mengatur napas dengan baik dan teratur. “Sebaiknya kita lapor ke RT, Kang. Desa kita jadi gak aman,” kata salah satu warga. “Setuju, kalau perlu kita minta bantuan orang pinter buat usir itu dedemit. Bikin horor saja!” timpal yang lain. Sepertinya mereka sudah gerah dengan cerita-cerita mengerikan dari warga desa. “Sabar, tenang, Kang. Besok malam bukannya kata Pak RT kita akan mengadakan pengajian di rumah Kiayi? Kita bisa yasinan, ya semoga aja desa kita jadi tenang, teu diganggu demit lagi.” Juki menjelaskan. Lalu ditambahi oleh Arman, “Ya, kalau pakai jasa orang pintar mah, kok saya ragu. Banyak orang di luaran sana ngaku ‘orang pinter’ tapi aslinya mah minterin. Dukun begituan jangan terlalu dipercaya.” “Ya jangan cari yang abal-abal atuh, Kang.” “Lha, cari yang asli pinter bisa ngusir dedemit itu seperti apa? Susah!” “Banyak, Kang, Akang aja yang belum nemu,” timpal warga. “Ya, terserah lah, kalau saya teu percaya. Titik!” Lama-lama mereka berdebat antara percaya ‘orang pintar’ dan tidak. Beberapa warga di Desa Ramah Tamah memang sebagian masih banyak memercayai ‘orang pintar’ alias dukun, yang mengaku bisa mengusir roh jahat, bisa berkomunikasi dengan alam ghaib, bisa mencari keberadaan orang hilang, bisa menyembuhkan penyakit dalam karena diguna-guna, bisa apa saja yang menyangkut mistis. Namun sebagian yang lain, sudah tidak memercayai hal seperti itu lagi karena menurut mereka zaman sudah berubah, lebih modern, dan canggih. Tetapi desa Ramah Tamah yang masih kental menganut kepercayaan orang-orang terdahulu dan adat istiadat kebiasaan lama, belum sepenuhnya menyamakan kepercayaan mereka. “Sekarang begini saja, yang percaya silakeun, yang teu percaya silakeun. Yang penting jangan ribut, kan begitu kata Pak RT. Saling menghargai saja, nanti akan ada solusi terbaik, untuk saat ini, kita jalankan dulu saja program desa kita untuk rutin mengadakan pengajian. Nah, setelah itu baru nanti kita pikirkan langkah selanjutnya bagaimana.” Rudin mencoba menengahi. “Wah, tumben kamu pinter ngomongnya, Din.” Juki nyengir lebar menatap Rudin, antara kagum dan terkejut. “Pinter mah dari orok saya, Kang. Akang sendiri kapan pinternya?” timpal Rudin. “Nanti, Din, kalau kamu sudah gak pinter, saya yang gantiin.” Juki semakin lebar saja cengirannya. *** Sehabis Magrib. Pak Sholihin sudah berada di rumah Kiayi Safi’i, dia datang lebih awal untuk membantu persiapan pengajian. Dibantu Danang, Edi, Asep, Juki dan Rudin. Ibu-ibu juga ada yang datang lebih awal seperti Kartika, Bu Wati, dan Bu Hesti. Mereka sibuk mempersiapkan tempat, konsumsi, mikropon, karpet-karpet dan sebagainya. Juki juga mempersiapkan mesin diesel ancang-ancang kalau mati lampu. Mereka tampak bersemangat sekali, khususnya para lelaki itu, sebab mereka bekerja sambil terus melirik ke arah Angela. Meski mereka sudah tahu Angela kini milik Kiayi, tetap saja mereka suka lirik-lirik kecantikan wanita itu. selain cantik, bodinya pun aduhai. Bikin gagal fokus, bisik Juki pada Rudin. Satu persatu warga desa yang muslim mulai berdatangan, ibi-ibu dan bapak-bapak berpakaian sopan, mengenakan gamis dan stelan koko dan sarung. Mereka siap untuk mengikuti pengajian. Bu Ratna dan geng dasternya datang berkelompok, sepertinya mereka sudah janjian sejak awal untuk datang berbarengan, pakaian pun hampir mengenakan warna senada. Lalu para suami-suami mereka. beberapa pemuda desa seperti Dayat, Fahmi, dan kawan-kawan termasuk Asep juga memilih duduk berbarengan. “Ibu-ibu, silakan di bagian sini, ya,” kata Angela, mempersilakan ibu-ibu untuk duduk di tempat yang sudah disediakan. Ibu-ibu itu mengikuti ucapan Angela sambil bisik-bisik. “Pantes saja Kiayi cepet sekali ngawinin ini perempuan, cantiknya kebangetan.” “Iya, ya, Bu. Dibanding istri tuanya, jauh ke mana-mana.” “Eh, tapi sayang, pelakor. Gak mikir perasaan istri Kiayi.” “Mana ada pelakor mikir perasaan istri sah, Bu. Hihihi.” Bisikan-bisikan itu cukup keras sebenarnya, Angela meski terlihat cuek, namun dia mendengar ucapan-ucapan buruk tentang. Namun begitu, dia tetap tersenyum cantik seakan semuanya baik-baik saja. Angela terus menyambut kedatangan para tamu, ditemani Kartika. Malam itu, Angela benar-benar jadi sorotan warga desa, dia jadi bahan obrolan hangat, ada yang memuji banyak juga yang menjelekkan karena iri atau memang terbiasa punya penyakit hati tak senang melihat orang lain senang. Kebanyakan para ibu-ibu, berbeda dengan bapak-bapak yang banyak gagal fokus. “Neng, dipanggil Ibu,” kata Kiayi Safi’i kepada Angela, setelah didekatinya istri mudanya itu. Angela mengerti, maksud Kiayi ‘ibu’, itu adalah istri pertamanya. “Iya, A’. Saya segera temui ibu,” jawab Angela mengangguk hormat. Lalu dia permisi sebentar menuju ruang belakang, ke kamar kakak madunya. *** Pengajian dimulai, dipimpin oleh Kiayi Safi’i langsung. Pengajian malam ini warga membaca surah Yaasin, lalu dzikir-dzikir, ceramah agama dan diakhiri doa. Acara berlangsung khidmat, sudah lama warga tidak mengadakan pengajian desa seperti ini, biasanya, hanya pengajian ibu-ibu saja setiap pekan di Masjid. Kiayi Safi’i di akhir ceramah singkatnya sebelum membaca doa, dia menyampaikan bahwa salah satu tujuan diadakannya pengajian yaitu agar warga desa terus menjalin silaturahmi dengan baik. Lalu menjadikan Desa Ramah Tamah menjadi desa yang tenang dan menyenangkan. “Karena ada dedemit yang neror warga kita juga, kan, Kiayi?” Seseorang yang mulutnya rada lemes menyahut di antara barisan. Tentu saja dia kini jadi tatapan banyak warga. “Ya, betul. Dedemit itu gak hanya ditujukan kepada makhluk ghaib saja alias makhluk halus, Asep, tetapi juga bisa ditujukan kepada orang hidup. Kamu bisa jadi demit kalau kamu suka bikin takut warga, neror orang misalnya. Apa pun yang bersifat menakuti orang lain, itu berarti mengerikan. Mengerikan sifatnya, akhlaknya.” Mendengar jawaban Kiayi, warga pada cekikikan, sepertinya Asep merasa tersindir dengan ucapan Kiayi. “Saya mah paling neror Neng Lastri aja,” timpal Asep. “Nah, itu. Kalau wanita yang kamu teror itu merasa takut, merasa gak nyaman dan aman, apa bedanya kamu sama dedemit? Sama-sama menakutkan bagi orang lain, kan?” Asep menutup mulut rapat-rapat, diresapinya ucapan Kiayi, barulah dia berpikir Kiayi ada benarnya juga, batinnya. Kemudian dia melirik barisan ibu-ibu di ujung sana, tak dia temukan wajah cantik Lastri di antara mereka. “Sekarang sudah paham, kan? Pak, Bu? Semua makhluk di bumi ini inginnya hidup damai, tenang, dan tentram. Jadi jangan pernah membuat kerusuhan, saling membenci, saling meneror. Bahkan hantu sekalipun, mereka sebenarnya ingin mati dalam keadaan tenang, tidak gentayangan. Mari kita berdoa supaya arwah-arwah itu kembali di sisi Allah, dan kita yang hidup diberi hidayah untuk terus mendekatkan diri kepada-Nya.” Kiayi memulai membaca doa, sebagai penutup pengajian malam ini. semua tampak khusyu’ kecuali beberapa orang yang masih menatap ke arah Angela, wanita itu duduk barisan depan para ibu-ibu, Angela terlihat menangis dalam doanya. “Nangis aja masih keliatan geulis euy,” bisik Dayat, dia menyenggol lengan temannya. Tak jauh dari tempat duduk Dayat, ternyata banyak juga lelaki yang gagal fokus melihat Angela menangis, wanita itu menyusut hidungnya dengan tisu. Angela merasa sedih sebab kehilangan saudari yang terkasih. “Mari kita membaca Al-fatiha untuk saudari Dewi Anggraini, semoga arwahnya tenang di alam sana, amal kebaikannya diterima di sisi Allah. Dilapangkan kuburnya dan ditempatkan dia si Surga. Al-fatihah!” ucap Kiayi kembali mengangkat kedua tangan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN