Bab. 12 - Demo

1167 Kata
“Kusut amat itu muka, berapa hari belum disetrika?” Rudin yang sudah siap-siap mau ngapel ke rumah Lastri tetiba kaget melihat sohibnya berjalan lesu mendatangi rumahnya. “Semua gara-gara si Dayat ini, Din. Dia bener-bener laporin candaan saya kemarin soal mau ngawinin si Enjela,” sungut Juki, dia mulai duduk bersandar di dinding teras rumah Rudin. Rudin ikut prihatin, sudah pasti antara Juki dan istrinya baru saja perang pertamanya. “Trus?” Rudin penasaran, duduklah sebentar dia di dekat Juki, sebagai kawan baik, sudah sepatutnya dia jadi pendengar yang baik meskipun dia tak pandai kasih solusi perihal pertempuran rumah tangga. “Hesti minta cerai, katanya. Malam ini, dia mau pulang ke rumah orangtuanya,” lirih Juki, “mertua saya sudah gak ada, Din. Tapi saudara-saudaranya si Hesti itu pendekar semua.” “Jagoan gitu?” “Bukan. Pendekar, pendek dan kekar,” jawab Juki kesal. “Ooh, ngomong atuh. Kirain saya mah jagoan gitu. Ya jelas kamu kalah kalau sama pendekar, Kang. Kecil-kecil badannya kekar, berotot. Nah, si Akang? Tinggi kurus gini sekali tonjok langsung masuk UGD!” Rudin tertawa, Juki yang mendengar ejekan temannya itu hanya menarik sudut bibir sedikit. Juki tidak bertanya apapun lagi, dilihatnya Juki juga lagi butuh waktu untuk menenangkan pikiran. Jadi Rudin pikir, alangkah baiknya dia kasih waktu untuk lelaki malang itu untuk berpikir dan menenangkan diri. “Kang, sepertinya kamu butuh waktu buat nenangin diri. Saya pamit dulu, ya, mau ngapelin Neng Lastri,” bisik Rudin saat menyebut nama Lastri. Senyumnya lebar, terlihat sekali dia sedang senang malam ini. Malam Minggu, tak mungkin dia lewatkan begitu saja ‘tuk menemui pujaan hati. “Iya, Kang. Sebentar lagi saya pulang lagi sajalah, repot kalau Hesti bener-bener minggat malam ini.” Juki memijat keningnya, kepalanya mulai terasa senut-senut. “Iya, Kang. Saya doakan semoga Akang kawin lagi.” “Lho, kok kawin lagi, Din?” Juki melongo. “Kawin lagi sama istri, Kang. Kalo kawin lagi berarti udah baikan.” “Halah, kamu ini!” Rudin cengengesan, lalu melangkah meninggalkan Juki menuju motor bututnya yang terparkir di halamannya yang sempit. “Kang, pamit dulu, ya. Jangan bunuh diri!” teriak Rudin, “kasihan ntar Akang cepet masuk neraka.” *** Rudin mengendarai motornya menuju rumah Lastri, terbayang sudah dia duduk di samping sang pujaan hati. Rudin juga sempat membeli camilan martabak manis untuk Lastri, biar terkesan ‘manis’ saat ngapel malam ini. Jalan menuju rumah Lastri, Rudin harus melewati rumah Pak Sholihin lebih dulu, sebab jalan pintas lainnya sedang dalam perbaikan. Kadang, Rudin salut juga sama kepala desa satu itu, jalanan rusak dikit langsung diperbaiki, ada keluhan warga sedikit langsung kasih solusi, tak ada yang namanya korupsi, apalagi tidak peduli pada warga yang tengah dilanda kesulitan. Memanglah Pak RT Sholihin top markotop, batin Rudin. Saat melintas di depan rumah Pak Sholihin, Rudin mendadak menghentikan motornya. Dia terkejut melihat ibu-ibu ramai-ramai berkumpul di depan rumah sambil berteriak-teriak keras. “Usir dia, Pak. Dia sudah bikin resah ibu-ibu di desa kita!” “Setuju, usir perempuan gatal itu!” “Iya! Saya teh setuju pisan Pak RT. Suami saya sekarang jarang di rumah semenjak si Anjeli itu datang!” “Anjela, Bu, bukan Anjeli!” ingat Bu ibu yang lain. “Oh, iya, itu!” Rudin diam-diam masih memperhatikan demo ibu-ibu di hadapan Pak Sholihin. “Tenang Bu-ibu,” kata Pak Sholihin, berdiri di hadapan beberapa ibu-ibu yang merasa terganggu akan kehadiran Angela. “Saya mah sebagai ketua RT di desa kita, pasti akan mendengar keluh kesah kalian. Tetapi untuk masalah yang satu ini, saya tidak bisa memutuskan mengusir orang begitu saja. Karena ....” “Karena Pak RT juga suka kan sama b***k awewe itu!” suara seorang ibu terdengar lantang, membuat Pak Sholihin sedikit kaget mendengarnya. “Ah, itu fitnah,” pungkas Pak Sholihin. “Bohong itu dosa Pak RT. Orang saya tau kok kalau Pak RT mau ngawinin itu perempuan.” “Tau dari mana saya suka sama dia?” Pak Sholihin mengangkat alisnya, ingin tahu. Dia tahu betul ibu-ibu di desanya banyak yang senang bergosip, memberitakan pemberitaan yang tidak benar. Bu Irma terdiam. Diingatnya saat dia menguping ngobrolan antara Bu Wati dan Bu Ratna. Kebetulan Bu Irma memang tetangga dekat Bu Ratna. “Di desa ini banyak yang menggosipkan Pak RT mau ngawinin si Angela itu, saya hanya numpang dengar aja,” jelas Bu Irma. Pak Sholihin jadi geleng-geleng kepala. Bibirnya tersenyum simpul, jelas sekali itu berita bohong. “Nah, Bu-ibu sekalian. Perlu kalian catat sebagai pengingat diri, kalau belum jelas kebenarannya, jangan mudah percaya dengan issu atau gosip murahan seperti itu. Ingat ya Bu-ibu, fitnah itu lebih kejam daripada membunuh.” Semua ibu-ibu terdiam, kecuali Bu Ratna dan Bu Wati yang kebetulan juga berada di sana. Keduanya saling lirik, lalu bisik-bisik. “Ehemm, anu Pak RT. Bukannya memang begitu ya, saya juga dengar kalau Pak RT mau ngawinin si perempuan itu. Ya, kan Bu-ibu?” Kini Bu Ratna bersuara seperti kompor meleduk, dan kontan saja semua Bu ibu mengiyakan. “Betuuulll!” teriak mereka serempak. “Nah, kalau gosipnya saya yang mau menikahi perempuan itu, kenapa ibu-ibu meresahkannya?” tanya Pak RT sambil tersenyum tipis, lucu melihat kelakuan ibu-ibu di hadapannya. “Masalahnya, Pak RT belum sah ngawinin, jadi suami-suami kita masih berisik ngomngin itu perempuan Pak RT. Bahkan suami saya yang baru sembuh dari sakit saja sudah gatal dia kalau dengar nama perempuan itu!” sungut Bu Wati, kesal juga dia akhirnya. Dengan tenang Pak Sholihin meledeni warganya yang bawel. “Begini ibu-ibu, Angela itu ke desa kita karena ada urusan penting, yang belum sempat saya umumkan. Harap bersabar, ya. Kita tidak boleh main hakim sendiri, tidak boleh pula berlaku keji. Soal suami-suami ibu, itu pribadi urusan mereka sendiri, bukan salah Angela. Paham, nyak?” “Ya salah dong, Pak RT, masa henteu! Karena dia kan suami-suami jadi ribut sama istrinya. Tuh, Bu Hesti, ribut sama suaminya!” celetuk Bu Linda, yang memang dia bestie-nya Hesti. Pak Sholihin menarik napas dalam. Digarukknya kepalanya yang tidak gatal. “Ya sudah atuh ibu-ibu, sekarang kan sudah malam, sebaiknya ibu-ibu pulang dulu, besok akan saya musyawarahkan lagi dengan pengurus desa, ya. Nanti akan saya buat pertemuan bapak-bapak di balai desa. Dan satu lagi, tolong jangan menggosip lagi tentang saya yang mau ngawinin Angela. Paham?” Pak Sholihin mengakhiri ucapannya, “kalau paham, mangga atuh bubar, ya.” Ibu-ibu itu memasang tampang kurang puas, mereka akhirnya bubar sambil sedikit menggerutu. Mereka ingin, Pak RT memutuskan untuk mengusir Angela malam itu juga, namun ternyata keinginan mereka tidak terpenuhi. Bersamaan dengan bubarnya ibu-ibu, Rudin yang sejak tadi menyimak, diam-diam melakukan motornya kembali melakukan perjalanan menuju rumah Lastri. “Untung Neng Lastri gak ikut demo, ah, kenapa juga dia harus ikut ibu-ibu itu, calon suaminya ini kan teu genit kayak bapak-bapak yang lain, hihiii.” Rudin menancap gas, tiga menit, akhirnya dia sampai ke rumah Lastri. Tetapi sesampainya di sana, betapa terkejutnya dia saat melihat Asep duduk berdua dengan Lastri di teras rumah. “Asep?” Rudin membulatkan mata, “Ngapain kamu di sini?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN