Marina tak bisa menahan air matanya saat Geno mengucapkan ijab qabul bersama sang ayah. Ia menangis bukan karena bahagia tapi sebaliknya. Pesta pernikahan dilaksanakan sederhana atas permintaan Geno. Mereka menikah disebuah kota kecil di Wonosobo tempat ibu Marina dilahirkan dan dibesarkan. Kini hanya ada keluarga sang paman, kayak dari sang ibu yang masih tinggal disitu. Geno meminta pada pak Herman agar pernikahannya dengan Marina tertutup dan tak banyak orang yang tahu karena ia belum bisa memberitahu keluarganya tentang pernikahan ini.
“Kenapa? Kamu malu?” tanya pak Herman merasa heran.
“Bukan begitu pak … terus terang saya butuh waktu untuk memberitahu keluarga saya. Saat ini keluarga saya harus menjauh dari exposure wartawan dan lainnya karena ada beberapa issue perusahaan. Dengan menikahi Marina pastinya akan membuat keluarga saya terexpose dan biasanya itu akan merembet kemana-mana. Apalagi kita baru saja mendapatkan project besar, kita harus berhati-hati agar kompetitor mendapatkan celah dari sisi manapun. Karena project ini masih embrio.”
Mendengar penjelasan Geno, pak Herman mengangguk setuju dan kembali bertanya pada pria tampan di hadapannya.
“Lalu kenapa terburu-buru menikahi Marina?” Pertanyaan itu seolah silet tipis yang siap memutus nadi Geno.
“Karena saya menginginkan posisi direktur itu, saya yakin bisa mengerjakan project ini dari awal dan mengembangkannya. Tapi jika persyaratannya harus menikahi Marina kenapa tidak? Lagi pula Marina cantik dan gadis baik. Tak ada alasan untuk menolaknya.”
Pak Herman tertawa terkekeh sambil menepuk-nepuk bahu Geno dengan pandangan antusias dan bangga. Ia senang dengan kejujuran dan keambisiusan Geno. Untuk menjadi seorang pemimpin menurutnya harus memiliki hati dingin dan berani mengambil segala resiko.
“Walau begitu, bukan berarti kamu hanya menikahi anakku sebagai status saja. Kamu harus bisa membuatnya bahagia. Jika ada sesuatu terjadi pada Marina, aku akan menghilangkan semuanya darimu. Apapun itu,” ucap Pak Herman santai tapi dingin. Senyuman di bibirnya menandakan kedinginan hati dan pikirannya. Ia tak akan segan-segan melakukan apapun jika terjadi hal yang tak sesuai dan menyakiti dirinya.
Pernikahan itu pun akhirnya dilaksanakan di sebuah losmen kecil milik sang paman yang bernama Prabu. Setelah pernikahan selesai, rencananya mereka semua akan mengunjungi makam sang ibu yang bernama Mira yang juga berada dikota yang sama.
Istri sang paman, memberikan Marina sebuah tisu untuk menyeka air matanya. Tak pernah terbayangkan oleh Marina bahwa ia menikah dengan sangat sederhana. Hanya disaksikan 10 orang keluarga terdekat, mengenakan kebaya sederhana tanpa hiasan apapun hanya make up seadanya. Marina mencium punggung tangan Geno yang kini menjadi suaminya dan Geno membalasnya dengan mengecup kening Marina dan mengusap-usap punggung perempuan yang kini menjadi istrinya tanpa beban.
“Tolong jaga Marina ya, Gen. Mungkin dia sedikit rewel dan manja tapi hatinya baik dan lembut,” ucap Prabu sang paman yang tampaknya lebih terharu dibandingkan pak Herman saat melihat Marina menikah. Saat ini mereka tengah menikmati hidangan sekaligus merayakan pernikahan Marina dan Geno.
Geno hanya mengangguk kepalanya perlahan dan menatap Prabu dengan tatapan sedikit bingung. Pria setengah baya ini terlihat sangat tampan dan mirip dengan adiknya, Mira. Jika disandingkan Marina lebih cocok menjadi anak Prabu daripada pak Herman. Wajah mereka terlihat mirip.
“Marina sudah seperti anakku sendiri, sejak ia lahir, kami yang membesarkannya disini bersama ibu. Sampai akhirnya saat SMA, mas Herman mengambilnya kembali.”
Geno tertegun, kini ia mengerti mengapa pak Herman dan Linda bersikap berbeda pada Marina. Ternyata mereka tak sedekat itu. Kedekatan mereka sebagai keluarga baru mulai saat Marina dibawa untuk tinggal bersama. Tak lama Marina mendekati sang paman dan duduk di sisinya tanpa sungkan.
“Duh, anak kesayangannya pulang langsung minta nikah,” goda Nurul istri Prabu sambil memberikan sebuah piring berisi nasi dan lauk pauk untuk suaminya. Prabu hanya tersenyum dan mencubit pipi Marina perlahan. Gadis itu selalu mengingatkan dirinya pada Mira karena mereka sangat mirip. Apalagi Prabu dan Nurul tak punya keturunan, kehadiran melengkapi keluarga kecil mereka.
“Apakabar kakakmu Linda? Apa dia sudah tak ingin kemari melihat makan ibunya?” tanya Prabu pada Marina. Yang ditanya hanya diam dan memainkan ujung kebayanya. Kepala Marina sudah penuh dengan perasaan tak menentu karena mulai hari ini ia menjadi seorang istri.
“Sebentar lagi kami pamit,” ucap pak Herman tiba-tiba berada diantara mereka.
“Mau kemana tho mas? Acara pernikahan baru saja selesai?” tanya Prabu heran.
“Saya harus kembali ke Jakarta jadi yang tinggal untuk sementara ini hanya Marina dan Geno.”
Mendengar ucapan mertuanya, Geno yang awalnya senang karena tak perlu berlama-lama di kota kecil itu kembali murung. Kota ini terlalu tenang untuknya yang terbiasa hingar bingar dan hidup dalam kerasnya Jakarta.
“Besok mereka akan kembali setelah mengunjungi makam ibu mereka,” ucap Herman memberikan penjelasan.
“Kamu menginap disini kan Mar?” tanya Nurul dan mendapat anggukan cepat dari Marina. Sedangkan Geno tersenyum terpaksa. Ia tak bisa membayangkan menginap semalam di sebuah losmen tua .
Tak lama tempat itu terasa sepi karena pak Herman bersama supir dan asistennya telah pergi meninggalkan losmen. Geno tengah mengikuti Marina mengelilingi losmen sembari berjalan menuju kamar mereka.
Losmen keluarga Prabu ini berada di atas kota Wonosobo. Dari depan tampak seperti rumah joglo tetapi saat ke bagian belakang terdapat sebuah bangunan tua dua lantai yang terpisah oleh taman dari rumah joglo.
Bangunan tua itu terlihat sangat terawat dan indah. Saat memasuki tempat itu, Geno seolah kembali ke masa lalu. Bahkan kursinya pun masih mereka rawat dengan baik walau ada beberapa bagian yang sudah menjadi ruangan yang lebih modern.
Walau disebut losmen tapi mereka hanya menyewakan 8 buah kamar saja. Dan itu tak dibuka untuk umum, biasanya yang kesana adalah pelanggan tetap dan kebanyakan dari mancanegara yang hanya ramai 3 kali dalam setahun, saat akhir tahun , lebaran dan masa liburan.
Marina dan Geno memasuki sebuah kamar di lantai satu diantar oleh Prabu. Geno tampak takjub memandang kamar besar itu. Ranjangnya masih terbuat kayu jati dengan kelambu. Ada sebuah meja dan tiga buah kursi rotan untuk bersantai sambil menatap keluar jendela dengan pemandangan gunung sindoro dari jauh.
“Silahkan kalian istirahat dulu, setelah magrib nanti kita makan bersama di bawah.” Prabu pun berpamitan pada pengantin baru itu lalu keluar dari kamar mereka. Geno perlahan membaringkan tubuhnya diatas ranjang yang terasa keras. Ia meng usek - usek kakinya diatas ranjang merasakan sprei lembut yang begitu dingin.
“Aku mau membantu tante Nurul di dapur, mas Geno disini saja dulu,” pamit Marina seolah tak betah berduaan dengan suami barunya. Geno tampak tak peduli, ia tengah asik meluruskan punggungnya dengan berbaring di ranjang keras itu. Angin sepoi dingin yang masuk ke dalam kamar membuatnya mengantuk dan tertidur lelap.
Geno membuka matanya saat seseorang menepuk-nepuk bahunya keras membuatnya terbangun dari tidurnya yang lelap. Ia merasa sangat lelah dan sudah lama rasanya ia tak pernah tidur selelap itu.
“Mas, bangun! Sudah maghrib! Ayo sholat!” ajak Marina yang tampak sudah mengenakan mukena.
“Sholat?” jawab Geno linglung. Ia sudah lama tak bersujud dan mengerjakan kewajibannya. Marina hanya mengangguk dan memberikan sebuah sarung serta sajadah pada Geno.
“Disini kita harus sholat berjamaah mas, kalau bisa 5 kali sehari,” ucap Marina cepat dan menyuruh suaminya untuk berwudhu. Geno pun bangkit dari tidurnya dan berjalan menuju kamar mandi untuk mengambil wudhu. Sedangkan Marina bergerak menutup jendela lalu duduk melamun dipinggir ranjang. Ia begitu merindukan kehidupan kecilnya. Dulu setiap sore ia selalu sibuk ke mesjid untuk sholat magrib lalu lanjut mengaji sebelum ditutup dengan sholat isya. Selalu bangun sebelum subuh menjelang sehingga ia bisa menatap matahari terbit dengan indah. Pemandangan yang sudah tak pernah ia rasakan sejak ia pindah ke Jakarta 10 tahun yang lalu.
“Handuk mana?” tanya Geno yang keluar dari kamar mandi dengan wajah basah dan terlihat kedinginan. Marina pun segera memberikan handuk kecil lalu segera keluar kamar diikuti oleh Geno.
Mereka semua sholat berjamaah di pendopo termasuk para karyawan losmen. Setelah sholat magrib, semua masih duduk bersama sambil mendengarkan tausiah dari seorang ustad yang tinggal tak jauh dari tempat tinggal mereka dan selalu datang setiap hari untuk memberikan tausiah.
Geno tampak duduk menyimak karena hari itu hari pernikahannya dengan Marina, ceramah itu berisikan tentang pernikahan.
Setelahnya mereka makan malam bersama. Marina hanya merengut saat Geno bertanya apakah ia bisa memasak semur daging, fruit cake dan makanan rumahan yang tersaji diatas meja yang terasa lezat di mulut Geno.
“Nanti kalau sampai Jakarta kamu harus masak ya Mar, suamimu kayanya suka masakan rumahan,” suruh Nurul sambil mengambilkan tambahan nasi untuk Geno. Selesai makan malam semua orang kembali kerumahnya masing-masing.
Begitu pula dengan Geno dan Marina yang kembali ke kamar mereka. Geno tampak bingung harus melakukan apa. Kehidupan di kaki gunung itu seolah berhenti sampai pukul 8 malam. Tak ada pembicaraan diantara Marina dan Geno. Keduanya tampak asik sendiri dengan gadget mereka. Sampai akhirnya Geno merasa bosan dan melirik ke arah jam dan masih menunjukan pukul 9 malam.
“Kita gak mau jalan-jalan ke kota Wonosobo?” tanya Geno membuka pembicaraan dengan Marina yang asik berbaring sambil memeluk guling diatas ranjang. Ditanya seperti itu Marina hanya membalikan tubuhnya memunggungi Geno yang berpindah duduk disampingnya.
“Aku cape, sebentar lagi aku mau tidur,” jawab Marina singkat. Geno hanya menghela nafas dan membuka jendela sesaat untuk merokok. Saat hendak merokok, dari atas kamarnya terlihat Prabu dan dua orang karyawan losmen asik menonton tivi di pendopo. Setelah tidur siang dengan lelap kini matanya terasa sangat segar. Geno pun memutuskan untuk bergabung untuk nonton di pendopo.
“Loh, pengantin baru kok malah turun?” tanya Prabu saat Geno menyapa mereka.
“Marina sudah tidur, jadi biar dia tak terganggu saya disini saja,” jawab Geno sambil menerima secangkir teh panas untuk menghangatkan tubuhnya.
“Jangan lama-lama ditinggal, nanti kalau kembali ke kamar, istrinya harus dipeluk, disayang-sayang. Kalau malam pertama saja sudah dingin, besok-besok bisa beku,” goda Prabu dan diiringi tawa dari mereka semua. Geno hanya tersenyum sambil menyalakan rokoknya.
“Terimakasih loh Gen, sudah mau menikah dengan Marina. Semoga kamu bisa sabar ya, karena dia kemarin baru dapat musibah gagal nikah. Pasti tak mudah untuknya menjadi istri seseorang saat hatinya masih sakit,” bisik Prabu tampak khawatir pada keponakannya. Geno hanya mengangguk perlahan sambil melirik kearah jendela kamar mereka. Ternyata lampunya sudah gelap tandanya Marina sudah tidur.
Geno kembali satu jam kemudian dan berbaring perlahan disamping Marina. Malam itu udara terasa sangat dingin, walau sudah berselimut tapi Geno tak berani merubah posisi tidurnya agar ia tak merasakan sprei dingin yang langsung menusuk tulang. Marina pun tampak kedinginan, walau ia telah mengenakan baju hangat tapi tidurnya tampak meringkuk. Tak sengaja Geno menyentuh jari kaki Marina yang terasa dingin seperti es. Perlahan Geno mengambil kaus kakinya dari dalam koper dan memasangkannya di kaki Marina. Marina sempat terbangun tapi tak menolak saat Geno memakaikan kaus kaki. Ia bahkan menyelipkan kedua telapak tangannya dibawah ketiak Geno agar merasa hangat. Melihat sikap Marina, Geno hanya bisa diam dan menarik selimut agar membuat tubuh mereka berdua tetap hangat dan tertidur sampai pagi.
Bersambung.