Geno Izaddin Zakaria

1349 Kata
Geno menghela nafasnya panjang sebelum pintu gerbang rumah besar itu terbuka. Tak lama gerbang besar itu terbuka otomatis dan Geno mulai mengendarai mobilnya untuk masuk dan segera memarkirkannya di dalam garasi yang luas. “Malam mas, apakabar? Sudah lama mas Geno gak pulang,” sapa pak Alif sang security dirumah mereka menyapa Geno ramah. Geno hanya mengangguk dan tersenyum pada pak Alif seraya menyapanya, “Apa kabar pak Alif? Saya masuk dulu ya, gak akan lama soalnya. Ada siapa dirumah?” “Ibu baru pulang sama Jelita, beberapa menit yang lalu. Tapi hari ini agak lengkap mas, ada Mas Raul dan Mas Barry. “ Geno pun mengangguk lalu memasuki rumahnya. Tak lama terdengar suara perdebatan dari dalam. Terlihat sang ibu tengah berdebat dengan anak keduanya Denny sedangkan sang anak sulung Raul hanya duduk dengan tenang sambil berpikir. “Gak bisa! Mama gak setuju!” pekik Nurina sang ibu sambil melemparkan beberapa berkas ke meja. “Halo,” sapa Geno santai menyela percakapan sengit diantara keluarganya. Melihat Geno datang sang ibu hanya mendengus kesal dan menghempaskan dirinya ke sofa. “Kemana saja kamu? Kaya anak ilang gak pernah pulang,” tegur sang ibu sambil mendelik kesal pada anak bungsunya. “Kerja ma, sibuk," jawab Geno acuh dan memberikan kecupan di pipi untuk sang ibu. “Kamu kenapa gak mau kerja di perusahaan keluarga sendiri sih?! Kenapa musti kerja sama orang?! Lihat ini, kita sedang butuh banyak bantuan agar perusahaan ini bisa bertahan!” ucap Denny sambil menatap tajam pada sang adik. Geno hanya diam. Situasi seperti sudah sering ia dengar jika ia berada dirumah. “Aku masuk dulu ya, ada beberapa barang yang harus aku bawa,” ucap Geno segera berpamitan pada kedua kakaknya dan sang ibu. Ia enggan untuk berlama-lama bersama mereka. Bergabung dalam perusahaan keluarga? Cih! Sejak ayah mereka meninggal, seluruh perusahaan itu diambil oleh ketiga kakak Geno yang berusia jauh dari dirinya. Ia selalu dianggap anak kecil dan tak pernah dilibatkan oleh apapun. Geno tahu, dari ketiga kakaknya , hanya Raul yang berjiwa pebisnis seperti sang ayah, hanya saja Raul lebih kasar dan keras. Sisanya Denny dan Kartika lebih cocok diberi gelar anak orang kaya saja. Jiwa bisnis mereka hanya seperti penjudi, berani berspekulasi dengan nafsu besar dan biasanya berakhir nol. Belum lagi sang ibu yang sangat boros dan manja. Melihat kondisi keluarganya seperti itu, Geno tahu, mereka hanya tinggal menunggu waktu untuk hancur dan ia tak ingin berada disana. Ia merasa nyaman di perusahaan pak Herman dan ingin berkarir dengan serius disana setelah beberapa kali berpindah perusahaan setelah ia lulus kuliah. Bagaimanapun Geno mengidolakan boss besarnya itu. Dari seseorang yang bukan siapa-siapa karena kesabaran, kegigihan dan keahliannya dalam strategi bisnis, perusahaan Pak Herman menjulang tinggi. Memang prosesnya terlihat lambat tapi pak Herman bisa membuat perusahaannya begitu kokoh karena dedikasi dan kedisiplinannya. Kini perusahaan pak Herman tampak seperti kuda hitam diantara para pesaing dan client besar mereka. Tentu saja banyak yang mengincar tapi pak Herman tak mudah tergiur dengan keuntungan yang besar dan memancing nafsu manusia untuk rakus. Ia benar-benar selektif dalam memilih rekan bisnisnya. Ada khawatir di hati Geno jika suatu hari nanti perusahaan keluarganya kolaps dan ia tak memiliki apa-apa selain pekerjaannya saat ini. Tawaran pak Herman untuk menikahi Marina semakin memenuhi pikirannya. Ia tahu bahwa pak Herman membutuhkannya untuk mengelola usahanya. Menikahi Marina untuk menjaga putrinya hanya alasan pak Herman saja untuk mengikat Geno agar tak lari ke perusahaan kompetitor. Geno segera merapikan barang-barangnya lalu kembali keluar dari kamar tidurnya. “Aku pergi ya,” pamitnya sambil kembali menciumi sang ibu dan melambaikan tangannya pada kedua kakaknya. Di dalam hati Geno ia telah memutuskan untuk menikahi Marina tanpa perlu keluarganya tahu. Ia tak ingin jika keluarga tahu apa yang ia dapat dari keluarga pak Herman akan membuatnya di rongrong dengan segala bentuk kerjasama ini ada itu agar mendapat dana segar supaya perusahaan yang sudah bobrok itu bisa bertahan. Geno akan mencari cara agar pak Herman bisa mengerti bahwa ia tak ingin pernikahan besar untuk pernikahannya dengan Marina. *** “Aku gak mau!” tolak Marina saat malam itu Geno datang menemuinya dan mengatakan bahwa ia akan menikahi Marina. Geno menghela nafas perlahan. Rumah besar pak Herman tampak sepi sehingga dengan bebasnya Geno bisa menarik Marina untuk masuk ke dalam kamarnya tanpa takut dipergoki. Ini pula yang membuatnya sering datang untuk b******u dengan Linda tanpa perlu takut ada yang melihat. Walau begitu ia merasa terkejut saat Marina tahu tentang hubungan terlarang mereka. “Mau ngapain kamu mas, keluar dari kamarku,” ucap Marina sambil mendorong Geno agar keluar dari kamarnya. Tubuh Geno yang tinggi dan atletis itu tak bergeming saat Marina yang kurus mencoba mendorongnya. Ia segera mengunci pintu kamar Marina dan membuat Marina merasa takut Geno akan melakukan sesuatu. “Aku mau memperlihatkan kamu sesuatu,” bisik Geno cepat sambil mengeluarkan handphonenya dan memperlihatkan sebuah rekaman cctv dari kamar Geno. Terlihat saat Marina yang mabuk asik b******u dengan Geno. Marina segera mencoba mengambil handphone itu dari tangan Geno tapi Geno berhasil menjauhkannya. Ia segera mendorong Marina ke tembok dan menutup mulut Marina yang kecil dengan tangannya. “Apa perlu video ini aku berikan pada pak Herman?” ancam Geno dengan suara perlahan. “Berikan saja! Kamu pikir aku takut diusir oleh papi?!Apa kamu gak takut Papa akan membuangmu dari perusahaannya?!” ucap Marina sambil melepaskan tangan Geno dari wajahnya. Ia terlihat sangat marah. “Papi kamu itu butuh aku, alasannya menyuruhku menikahi mu hanya agar ada penerus dalam keluarga yang mengelola perusahaan miliknya. Ia tak mungkin mengusirku, yang ada ia akan mempercepat untuk menyuruh kita menikah. Menikahlah denganku, kamu lihat video ini? Aku yakin kamu bisa sangat buas di ranjang,” ucap Geno percaya diri dan tersenyum menggoda Marina. Sebuah tamparan pun melayang dari tangan Marina di pipi Geno. Geno terdiam sesaat saat merasakan rasa sakit dan panas di pipinya. Marina menatapnya penuh kemarahan dan rasa kesal. Walau begitu Geno tahu gadis ini tak bisa melakukan apapun. Geno segera menarik kepala Marina dengan sebelah tangannya dan menyambar bibirnya, memaksanya menerima lumatan ciuman dari Geno. Melihat Marina marah dan tak berdaya membuat Geno gemas sehingga ingin menciumnya. Marina berusaha untuk melepaskan dirinya tapi tubuhnya terhempas keranjang, Geno pun kembali mencium Marina dan kini memberikan tanda kecil dileher Marina. Marina memukuli Geno, tapi pria itu tak bergeming dan menikmati suara Marina yang marah, mendesah sekaligus kesakitan saat Geno menggigit kulit lehernya. “Ayo kita menikah Marina,” desah Geno setelah puas melihat tanda di leher Marina. Perempuan itu segera menampar pipi Geno kembali. “Aku jijik sama kamu mas! Kalau kamu mau menikah denganku agar bebas berbuat m***m dengan mbak Linda…” “Tidak! Aku berjanji tak akan melakukannya lagi! Jika kita menikah aku berjanji tak akan melakukannya lagi Marina … aku tak memiliki perasaan apa-apa pada Linda, kami hanya bersenang-senang saja. Setelah menikah denganmu, aku tak akan pernah melakukannya lagi,” potong Geno cepat mencoba meyakinkan Marina. Mata Marina terlihat berkaca-kaca dan perlahan ia mulai duduk dipinggir ranjang. “Pernikahan bukan mainan Mas.” “Iya, aku tahu….” “Tak ada cinta diantara kita, apa kita bisa bertahan dengan itu?” “Kenapa kita tidak coba saja?” “Apapun tujuanmu, kamu melakukan hal yang salah mas, apa kamu tak bisa melihat betapa kacaunya keluargaku?” “Hahahahaha, kamu belum tahu keluargaku Marina! Mereka lebih kacau dibandingkan disini,” gelak Geno sambil duduk bersimpuh dihadapan Marina. “Aku masih mencintai Henry.” “Aku tahu dan aku tak peduli.” “Aku tak mau menikah denganmu! Hatimu terbuat dari batu! Yang ada hanya nafsu!” “Marinaa…” bujuk Geno tampak merajuk sambil meremas tangan kedua tangan Marina. Marina tampak membuang wajahnya. Hatinya terasa pilu melihat seseorang yang ingin menikahinya malah bukan seseorang yang memiliki rasa padanya. Marina masih menggelengkan kepalanya perlahan, tapi gelengan itu tak membuat Geno menyerah bahkan ia merasa bisa menaklukan hati Marina. Geno kembali memegang wajah tirus Marina dengan kedua tangannya yang besar lalu mencium bibirnya kembali dan memeluk gadis erat. “Percayalah padaku, percayalah… kita akan baik-baik saja,” gumam Geno berbisik di telinga Marina. Sedangkan Marina hanya bisa memejamkan matanya berharap bisa keluar dari lingkaran setan keluarganya. Bersambung.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN