Sebuah ketukan pintu membuat Marina terbangun perlahan. Tubuhnya masih sangat terasa lelah dan masih ingin meneruskan tidur tapi suara sang paman membuatnya terpaksa untuk sadar.
“Ayo bangun … sholat subuh…,” ucap Prabu sambil terus mengetuk pintu sampai ada jawaban dari dalam.
“Iya Om, udah bangun…,” ucap Marina dengan suara serak dan berusaha menggerakan badannya saat ia merasa susah untuk bergerak.
Marina baru menyadari bahwa Geno tengah tertidur lelap sambil menjadikan tubuhnya sebagai guling dan terdengar suara dengkuran halus suami barunya itu.
“Mas ah!” dorong Marina kesal karena tubuhnya baru terasa pegal dan kebas menahan tubuh Geno yang besar. Geno pun terbangun dengan kaget dan langsung terduduk dan kembali terkejut saat ia melihat ada Marina disisinya.
“Ngapain kamu disini?!” tanya Geno masih linglung.
“Trus aku harus dimana?” Marina balik bertanya dan berguling melewati Geno turun dari ranjang besar itu.
“Ayo bangun, sholat subuh dulu,” ucap Marina sambil menggulung rambutnya.
“Kamu duluan deh, aku masih ngantuk, dingin banget,” tolak Geno sambil kembali membaringkan tubuhnya. Ia baru ingat bahwa kini ia telah menjadi suami Marina.
“Omm… mas Geno gak mau sholat subuh!” ucap Marina hampir berteriak dan membuat Geno kembali terduduk dan segera turun menutup mulut istrinya.
“Apaan sih kamu?! Kaya anak kecil!”
“Ayo kita sholat!” ajak Marina sembari berjalan menuju kamar mandi.
“Tapi sholatnya di kamar aja ya, dingin banget!” ucap Geno sambil mendudukan tubuhnya mencoba menyadarkan diri.
“Hmm,” jawab Marina lalu memasuki kamar mandi.
Selesai sholat, Geno tampak duduk termenung diatas sajadah sembari memeluk lututnya. Setelah sekian lama, kini ia kembali bersujud. Ada perasaan kosong dihati Geno. Ia baru menyadari bahwa rasanya telah lama sekali ia tak pernah berdoa dan tenggelam dalam kesibukan dunia dan segala kenikmatannya. Perlahan ia menatap Marina yang baru saja membuka mukenanya dan tengah melipatnya dengan rapi. Wajah perempuan itu tampak pucat tanpa riasan wajah. Tapi hidungnya yang mancung, bentuk mata kucingnya yang natural dengan bulu mata panjang dan halus dengan wajah tirus terlihat cantik. Walau begitu tak ada cahaya bahagia yang terpancar dari wajah Marina. Wajah cantik itu selalu sendu.
“Nanti siang kita kembali ke Jakarta ya Mar,” ucap Geno mencoba membuka pembicaraan dengan Marina. Masih ada rasa canggung di hati Geno saat melihat perempuan yang usianya terpaut jauh 9 tahun itu kini telah menjadi istri sahnya.
“Setelah mampir ke makam mama, kita mampir makan mie ongklok yuk mas, trus beli carica, cenil, opak singkong sama kacang dieng,” ajak Marina sembari membuatkan Geno secangkir teh panas untuk menghangatkan badan mereka.
“Apaan sih itu? Nggak deh, perjalanan kita masih jauh. Kita gak bisa lama- lama karena aku harus nyetir sampai 10 jam. Tak ada waktu,” jawab Geno spontan. Mendengar jawaban Geno, Marina hanya diam lalu kembali naik keatas ranjang dan berbaring memunggungi Geno.
“Kita sarapan ke bawah yuk,” ajak Geno tiba-tiba saat melihat reaksi Marina yang berubah dingin.
“Mas aja, aku masih ingin berbaring,” jawab Marina cepat.
“Ayo kita turun, gak enak sama om Prabu dan tante Nurul,” bujuk Geno lagi. Tapi Marina tak bergeming bahkan ia menutup kedua matanya seolah mencoba untuk tidur.
Geno pun berganti pakaian dengan pakaian yang lebih hangat dan memutuskan untuk keluar kamar dan menikmati suasana pagi yang indah dan dingin.
“Mana Marina?” tanya Nurul sambil menyediakan teh hangat ketika melihat Geno memasuki pendopo.
“Tidur lagi,” jawab Geno santai dan menyapa beberapa pegawai losmen.
“Eh! Gak boleh tidur pagi-pagi! Rezeki hilang nanti,” ucap Nurul sambil memberikan beberapa potong boterkoek dan memberikannya pada Geno sebagai teman minum tehnya.
“Ohya tante, beli oleh-oleh khas wonosobo dimana ya? Bisa pesan online gak ya?”
“Buat oleh-oleh?”
“Bukan, buat Marina,”
“Sudah, nanti biar tante suruh pak Pur belikan di kota, kalau pesan online jam segini belum buka. Sebentar lagi pak Pur berangkat ke kota untuk belanja, sekalian nanti tante suruh dia beli jajanan pasar untuk Marina.”
Geno segera mengeluarkan dompetnya dan menyerahkan uang beberapa ratus ribu untuk membeli makanan.
“Gak usah, anggap saja ini oleh-oleh dari tante dan Om untuk kalian,” tolak Nurul sambil mengembalikan uang itu ketangan Geno.
“Jangan tante, kami nanti jadi merepotkan,”
“Sudah tak apa, Marina anak kami. Wajar saja jika kami memberikannya buah tangan, ayo dinikmati dulu sarapannya.”
Geno pun mengucapkan terimakasih dan segera menghabiskan makanan yang disajikan untuknya. Setelah itu ia memutuskan untuk berjalan-jalan sesaat agar paru-parunya yang terbiasa menghirup udara kotor Jakarta, kembali terisi dengan udara bersih.
Matahari mulai tinggi padahal waktu masih menunjukan pukul 9 pagi saat Geno kembali ke kamar setelah beberapa jam pergi berjalan kaki. Melihat Marina tak ada dikamar, Geno segera mencarinya ke seluruh penjuru losmen dan menemukannya tengah ngobrol dengan Tante Nurul di dapur besar.
“Marina,” panggil Geno merasa lega saat melihat perempuan itu asik memetik daun singkong dari tangkainya.
“Tuh, suaminya udah datang, ayo temani dulu,” suruh Nurul pada Marina. Tapi Marina tampak tak bergeming dan membiarkan Geno yang datang menghampiri dan duduk disamping dirinya. Ia baru saja akan duduk menjauh tapi Geno menahannya dengan merangkul pinggangnya. Tampaknya ia masih marah karena tak bisa berjalan-jalan melihat kota dimana ia dibesarkan.
“Ayo kita siap-siap, jam 10 nanti kita berangkat, katanya mau ke makam mami?” ucap Geno sedikit berbisik pada Marina. Tapi Marina masih diam, ia merasa malas untuk ikut pulang. Hatinya masih rindu untuk berada di losmen itu. Selain itu Marina juga masih enggan berduaan dengan Geno walau statusnya kini adalah suaminya. Marina merasa bahwa Geno akan menjadi suami yang tak akan mendengarkan keinginan dirinya. Belum apa-apa Marina sudah merasa tak nyaman dengan Geno dan tak ingin bersama.
“Ayo siap-siap dulu, biar gak terlalu malam saat sampai Jakarta,” ucap Nurul seolah mengerti situasi canggung antara Marina dan Geno. Marina menurut, tanpa berkata apa-apa Marina berdiri dan berjalan terlebih dahulu meninggalkan Geno dan Nurul. Geno pun segera berpamitan pada Nurul dan mengikuti langkah istrinya.
“Kamu kenapa sih? Dari tadi diam terus?” tanya Geno bingung dan mulai gusar dengan sikap Marina.
“Aku gak apa-apa,” jawab Marina cepat tapi raut wajahnya berubah murung dan tampak kesal. Geno hanya bisa mendenguskan nafasnya keras-keras. Ia sudah tak ingin melawan jika seorang perempuan sudah bersikap tidak sesuai dengan apa yang ia ucapkan.
Selesai mandi dan membereskan koper, Marina dan Geno segera turun ke pendopo untuk berpamitan pada Prabu dan Nurul.
“Mbak, ini loh pesenannya,” ucap Pak Pur tiba-tiba datang dari dalam pendopo sambil membawa sebuah kardus berisi aneka makanan yang diinginkan Marina.
“Tapi pak pur gak bisa bawain mie ongklok, gak enak kalau dibungkus,” ucap pak Pur lagi sambil memamerkan isi kardus pada Marina.
“Loh, kapan beli pak?” tanya Marina takjub dan merasa senang.
“Tadi pagi disuruh bu Nurul.”
“Iya, tadi pagi Geno bilang kamu lagi pengen jajanan pasar, jadi tante titip pak Pur untuk cariin,” timpal Nurul menjelaskan dan menyuruh pak Pur membawanya ke dalam mobil Geno. Marina terdiam sesaat lalu menatap suaminya gusar. Iya, kali ini ia gusar karena merasa salah menuduh Geno tampak seperti pria yang tak perhatian. Ia merasa tak suka saat karena jadi harus berbaik hati pada Geno. Sedangkan Geno hanya bisa memundurkan tubuhnya sedikit karena melihat Marina malah makin galak padanya. Tak lama mereka pun berpamitan. Geno merasa ikut terharu saat melihat Marina memeluk Prabu dan Nurul dengan erat dan tampak sedih karena harus berpisah.
“Titip Marina ya Gen… titip Marina,” ucap Prabu dengan suara tercekat harus berpisah dengan keponakan sekaligus anak angkatnya itu. Geno pun hanya mengangguk dan menggenggam tangan Marina mengajaknya masuk ke dalam mobil.
“Kamu sudah siap?” tanya Geno sambil membantu memakaikan safety belt untuk Marina. Marina hanya bisa mengangguk sedih dan melambaikan tangannya selama mungkin sampai losmen itu tak terlihat lagi.
Bersambung.