Yang terikat

1117 Kata
Marina duduk melamun sambil menatap keluar jendela mobil yang tengah mengantarnya pulang. Ada perasaan sedih dihatinya saat dimarahi sang ayah saat mengantarkan makanan untuk Geno. Walau sering diperlakukan keras, tapi hatinya tak pernah terbiasa. Ia merasa menjadi seorang pengganggu di dalam kehidupan sang ayah. Jika sedang sedih seperti ini, biasanya Marina langsung menghubungi seseorang. Henry. Spontan ia segera mengirimkan pesan pendek pada kekasihnya. “Hen,” sapa Marina dan mengirimkan pesan pendeknya lalu ia teringat bahwa kini Henry bukan lah kekasihnya lagi. Dengan cepat Marina menghapus pesan itu dan tak lama muncul balasan dari Henry. “Aku disini Marina, kenapa pesannya dihapus? Kamu masih bisa mengirimkanku pesan dan mencurahkan isi hatimu seperti biasanya.” Marina hanya menatap balasan pesan itu dengan pandangan berkaca-kaca. Ia merasa sedih karena tak ada lagi orang yang bisa ia tumpahkan seluruh perasaannya walau hal sepele seperti itu seperti saat ia masih bersama Henry. Hanya Henry yang mengerti hatinya yang rapuh. Tak dibalas pesannya oleh Marina, Henry mencoba menghubunginya. Marina hanya diam dan membiarkan dering itu terus berbunyi tanpa berhenti. Ia tak sanggup mengangkatnya dan juga mematikannya. Di tempat lain, Linda tengah mencuri-curi pandang pada adik iparnya yang sepertinya tengah menunjukan perlawanan pada sang ayah. Geno tak makan apapun dalam acara lunch meeting ini, ia hanya memesan segera fruit punch agar bisa membantunya menyegarkan diri. Tentu saja hal itu menjadi perhatian para client dan membuat mereka heran karena Geno tak menyentuh makanan sama sekali. “Gak pesan apapun, mas Geno?” tanya Pak Wijaya yang tengah menikmati makanannya. “Saya sudah makan siang pak, tadi istri saya bawakan saya makanan.” Jawaban Geno membuat orang-orang itu terkejut. Karena selama ini tak ada yang tahu bahwa Geno sudah menikah. “Loh, mas Geno sudah menikah toh?” Geno hanya mengangguk dan tersenyum pada para clientnya. Lalu mereka pun menjadi membahas tentang istri-istri mereka sesaat sebagai intermezzo. “Istrimu baik, masih mau meluangkan waktu untuk membuat perutmu kenyang dengan hasil tangannya sendiri. Laki-laki itu hanya butuh perut yang kenyang dan s*x yang cukup lalu ia akan menjadi suami yang bahagia,” celetuk pak Wijaya dan membuat seisi ruangan yang didominasi pria itu tertawa mendengar kalimat terakhir pak Wijaya. Tapi meeting itu berlangsung lama akhirnya, mereka selesai 3 jam kemudian karena banyak hal yang dibahas. Linda tahu pasti perut Geno sudah sangat lapar, tetapi pria itu bersikap santai dengan fokus dengan meeting mereka. Saat kembali ke kantor, Geno langsung masuk ke ruangannya dan membuka bekal makanan yang dibawakan oleh Marina. Seluruh isinya sudah dingin. Tanpa ragu Geno langsung melahap makanan dingin itu sampai tandas. Baru saja ia menghabiskan makanannya, Linda masuk tanpa mengetuk pintu. “Masakan adikku memangnya seenak itu ya?” tanya Linda ketika melihat seluruh isi kotak makan itu kosong. Geno pun mengangguk. “Ia pintar memasak, kamu harus mencobanya.” “Kedepannya kamu jangan melawan papa seperti itu Gen, dia gak suka.” “Melawan apa? Kenapa kalian gak ada rasa kasihan pada Marina sedikit saja? Pak Herman tak perlu bicara seketus itu pada Marina. Sejak aku menikah dengannya, jarang sekali aku lihat pak Herman berbicara baik padanya,” “Gen…” “Aku tahu bahwa aku dinikahkan dengan Marina agar ia bisa mengikatku diperusahaan ini dan memberikan kontribusi, tapi pernikahanku dengan Marina itu nyata, bukan hanya formalitas.” Linda hanya diam. Ia melihat ada yang berubah dari Geno. Dulu pria itu terlihat hanya gila kerja dan sibuk bersenang-senang untuk melepaskan stressnya. Linda tak pernah menyangka, Geno bisa terlihat serius dengan pernikahannya. Linda menghampiri Geno lalu mengecup pipinya perlahan. Ia merasa rindu bermesraan lagi dengan Geno, tapi pria ini sudah berubah. Tak ada lagi pandangan liar yang menggoda saat melihatnya masuk. “Sudah ya, jangan marah lagi. Usahakan jangan terlalu sering membawa Marina ke kantor biar Marina gak terus menerus kena semprot papa. Kasian dia,” ucap Linda tulus lalu menatap Geno dalam. “Aku pamit. Sampai ketemu di rumah.” Linda pun beranjak pergi meninggalkan Geno sendirian di dalam ruang kerjanya. *** “Loh mas, kamu pulang cepat?” tanya Marina heran saat ia melihat Geno memasuki kamar tidur mereka saat waktu di dinding menunjukan pukul 7.30 malam. Ia jarang sekali melihat Geno bisa pulang jam segitu sejak mereka menikah. Geno hanya tersenyum dan memberikan tas bekal makan siangnya pada Marina. “Habis! Makananmu enak sekali,” puji Geno sembari mencium kening Marina. “Gombal! Itu kan cuma makanan rumahan!” gerutu Marina walau hatinya merasa senang karena Geno mau menghabiskan makanan yang ia buat. “Coba kamu datang kerumahku, mamaku tak pernah memasak untukku Marina. Kami selalu punya makanan apapun di atas meja. Tapi yang spesial dibuatkan hanya untukku tak pernah.” Marina terdiam, ini pertama kalinya Geno menceritakan tentang keluarganya. Geno menatap Marina dalam. Mereka berdua ternyata memiliki kesamaan. Sama-sama anak bungsu yang tak spesial di dalam keluarga. “Besok aku tak ingin mengirimkan makan siang lagi buat Mas Geno. Papa benar, kamu sibuk. Siang atau malam pasti ada pekerjaan atau acara yang dihadiri dan membuatmu lebih praktis jika makan di kantor atau bersama client.” “Pak Herman tak pernah setiap hari datang seperti itu, aku…” “Aku tahu mas Geno berusaha baik padaku. Tapi tolong mas Geno mengerti, aku takut sama papa. Ia tak suka siapapun menghalangi atau mengganggu pekerjaannya walau itu anaknya sendiri. Kalau mas Geno mau, aku akan buatkan makanan buat mas Geno saat weekend atau jika kita tengah punya banyak waktu luang,” potong Marina sembari mendekati suaminya dan memeluk suaminya perlahan. Geno menatap Marina dalam dan membalas pelukannya. Suami istri itu saling berpelukan tanpa kata, makin lama makin erat. Marina sampai merebahkan kepalanya ke bahu Geno dan membiarkan tubuh suaminya yang hangat menghangatkan hatinya. Ia tengah butuh dipeluk seperti itu. Geno menciumi rambut Marina lembut. Entah mengapa dengan Marina, Geno merasa ia memiliki hubungan yang nyata dengan seseorang. Dulu, ia selalu membayangkan hanya menghabiskan waktu bersenang-senang dengan istrinya jika ia menikah nanti. Kini, ia mendapatkan situasi yang berbeda, Walau ia memanfaatkan Marina, tapi Geno tak ingin perasaan istrinya terluka, apapun itu bentuknya. Ia merasa tak rela dan kasihan pada Marina. Seperti saat ini, ia ingin pulang cepat karena ingin bertemu Marina untuk menghibur perasaannya. Geno tak tahu, diruangan lain dirumah itu, pak Herman tengah menghubungi tim lawyernya untuk menyiapkan sesuatu. “Selesaikan dokumennya dalam satu minggu ini, aku ingin segera Geno menandatangani semuanya. Bikin persyaratan agar ia tak bisa memiliki celah untuk berbalik melawan. Masukan juga tentang perjanjian dan perlindungan tentang Marina. Jika ia merasa bisa bertanggung jawab akan istrinya, ia harus melakukannya sampai akhir.” Pak Herman memutuskan komunikasinya lalu menatap keluar jendela dengan pandangan tajam. Sikap Geno siang tadi membuatnya senang. Ia melihat Geno bisa menjadi suami yang baik untuk Marina sekaligus menjadi sapi perahnya untuk membuat perusahaannya semakin berkembang. Bersambung.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN