Joyce menatap Geno yang baru saja kembali memasuki ruang kerjanya setelah beberapa waktu meninggalkannya tanpa pesan menyusuli Marina.
“Maafkan aku meninggalkan kamu sebentar,” ucap Geno sambil membuka sebuah laci paling bawah dari meja kerjanya yang berisi beberapa pakaian yang khusus ia sediakan untuk mengganti pakaiannya jika ia membutuhkan.
Joyce hanya diam berdiri sambil bersandar ke tembok dan melipat tangannya memperhatikan Geno yang tengah menukar pakaiannya yang terkena noda makanan.
“Siapa dia Gen?” tanya Joyce serius.
Geno hanya diam sesaat sembari membenahi pakaiannya lalu menoleh kearah Joyce yang sabar menunggu jawabannya.
“Dia kekasihku, namanya Marina.”
“Sejak kapan?”
“Sudah beberapa bulan,” jawab Geno berbohong.
“Aku selalu tahu semua perempuan yang dekat denganmu walau hubungan kita sedang jauh, tapi aku tak pernah mendengar nama perempuan ini disebut.”
“Marina anak pak Herman, pemilik perusahaan ini.”
Mendengar ucapan Geno, Joyce berjalan menghampiri Geno dan mulai merapikan kerah kemeja Geno perlahan.
“Apa kau mendekatinya untuk mendapatkan sesuatu? Aku rasa itu tak perlu Gen, kamu punya kemampuan untuk mendirikan perusahaan sendiri,” bisik Joyce pelan. Geno hanya diam dan membiarkan Joyce mengancingkan kemejanya yang masih terbuka. Perempuan dihadapannya ini benar-benar mengenalnya luar dalam.
Perlahan Geno menggelengkan kepalanya dan mengusap kedua lengan Joyce lembut.
“Tidak, kami memang jatuh cinta satu sama lain. Pak Herman memang yang mengenalkan kami, tapi kami memang jatuh cinta satu sama lain seiringnya waktu.”
Joyce menatap dalam ke arah mata Geno, seolah mencari kejujuran disana.
“Ohya? Tumben rasanya kamu menyukai wanita seperti itu. Wajahnya cantik tapi ia tampak polos dan biasa saja. Bukan seperti perempuan yang bisa membangkitkan gairah seorang Geno yang liar.”
“Oh, kamu belum mengenal Marina, ia memang tampak polos tapi gairahnya luar biasa tanpa ia sadari,” ucap Geno sembari tersenyum sendiri dan segera menyisir rambutnya dengan jari membayangkan beberapa malam yang ia habiskan bersama Marina dengan penuh gairah.
“Apa kamu serius dengannya?” tanya Joyce tanpa basa-basi.
Geno pun mengangguk pasti lalu menatap Joyce dengan pandangan pasti.
“Aku akan menikahi Marina, cepat atau lambat.”
“Menikah? Mendengar kalimat itu, rasanya seperti bukan berbicara dengan seorang Geno,” kikik Joyce tertawa kecil lalu melangkah kembali mendekati mantan kekasihnya lalu bergelayut manja.
“Apa tante tahu hal ini?” tanya Joyce lagi. Geno menggelengkan kepalanya.
“Aku minta tolong rahasiakan ini dari mama dan keluargaku yang lain,” pinta Geno serius.
“Akh, aku tahu! Kamu akan menikahinya demi semua ini bukan?” ucap Joyce sambil merentangkan tangannya menngelilingi ruangan kerja Geno.
“Tidak. Aku menikahinya karena mencintainya. Tapi aku tak mau jika suatu saat nanti pernikahan itu akan dimanfaatkan keluargaku untuk mengeruk harta pak Herman.”
Ada rasa sakit dihati Joyce saat mendengar ucapan Geno yang bersikukuh kalau ia mencintai Marina.
“Trus bagaimana denganku?” tanya Joyce sedih.
“Joyce…”
“Aku selalu menunggumu Gen… aku masih sangat mencintaimu. Kemanapun hatiku berlabuh akhirnya hati ini kembali padamu,” ucap Joyce lirih.
Geno memalingkan wajahnya, tiba-tiba saja ia tak berani menatap Joyce. Andai ia tidak menikahi Marina, hatinya pasti sangat senang mendengar ucapan Joyce.
“Aku tak bisa Joyce, aku harus bersama Marina,” jawab Geno segera kembali ketempat duduknya dan mencoba menyibukan diri.
“Baiklah! Kalau gitu aku terima pekerjaan ini!” ucap Joyce tiba-tiba. Geno segera menatap Joyce dengan pandangan terkejut.
“Kamu belum tahu angka yang akan kutawarkan untuk gajimu Joyce dan banyak hal yang harus aku jelaskan tentang pekerjaan ini.”
“Akh, aku tak peduli. Aku terima pekerjaan ini Gen.”
“Joyce…”
Entah mengapa perasaan Geno menjadi tak yakin karena Joyce menerimanya tanpa berpikir kembali.
“Selama aku bisa bersamamu, akan aku terima pekerjaan ini. Marina mungkin bisa menjadi istrimu, tapi hanya aku yang mengerti kamu Gen … hanya aku…”
Geno hanya diam dan menghela nafasnya panjang. Di satu sisi ia merasa lega karena kini ia mulai memiliki kekuatan untuk maju dalam pekerjaan, disisi lain ia sedikit merasa takut bahwa kehadiran Joyce akan mengganggu urusan pribadinya dengan Marina.
Sedangkan Joyce menatap Geno dengan pandangan berbinar. Ia tak peduli jika tak bisa memiliki status dari Geno, selama ia bisa bersama Geno, ia akan merasa bahagia. Buat Joyce, tak masalahnya jika harus berbagi. Ia memiliki caranya sendiri untuk menikmati hidup dan happy.
***
Ada perasaan senang dihati Marina saat Geno kembali pulang dan membawakannya buket bunga, es krim juga sepeda dengan keranjang di depannya.
“Ini untukku?” tanya Marina benar-benar terkejut dengan sikap sok romantis Geno.
“Bunga mawar ini untuk permintaan maafku padamu, es krim ini untuk menyogokmu agar tetap baik padaku dan sepeda ini untuk membuatmu bergerak agar tidak gemuk setelah menghabiskan seember es krim,” ucap Geno sambil meletakan bunga dan es krim dalam keranjang sepeda dan segera menaiki sepedanya.
“Ayo sini, duduk dibelakangku,” ajak Geno menyuruh Marina untuk duduk dibangku boncengan sepeda dibelakangnya.
“Kita mau kemana?” tanya Marina senang karena sudah lama tak bermain sepeda.
“Kita akan makan es krim ini di halaman belakang,” ucap Geno sambil mengendarai sepeda mengelilingi ruangan di rumah kediaman pak Herman yang besar sebelum ia memanggil bu Rusti untuk membukakan pintu belakang agar mereka bisa meluncur dan berputar-putar di halaman belakang dengan sepeda. Terdengar suara gelak tawa Marina dan teriakan takutnya sesekali karena Geno mengendarai sepeda dengan kencang sebelum akhirnya mereka berhenti dan duduk kursi taman untuk menikmati es krim.
Melihat Marina menikmati es krimnya tanpa ragu membuat Geno tersenyum sendiri. Hatinya tiba-tiba ikut merasa senang melihat reaksi bahagia Marina.
“Besok kamu mau buatkan aku makan siang apa?” tanya Geno sambil menerima suapan es krim dari Marina.
“Aku tak akan buat apa-apa karena aku tak akan mengirimkan makan siang untuk mas Geno lagi.”
“Loh kenapa?”
“Mas Geno bisa mendapatkan makan siang yang lebih enak dari pada buatanku. Lagi pula aku tahu mas Geno sebenarnya sangat sibuk. Mas, apapun tujuanmu, aku tak akan mengganggu. Lebih baik kita seperti ini saja. Aku tak ingin memaksakan orang untuk menyukaiku.”
Geno menatap Marina dalam. Ada perasaan tak enak dihati Geno, seolah Marina tahu bahwa ia memanfaatkan dirinya.
“Aku tahu papi butuh kamu mas dan dia menikahkan kita untuk mengikatmu. Mas Geno bekerja saja dengan baik, dapatkan apa yang mas Geno mau. Aku gak apa-apa kok, aku tak ingin merepotkan orang lain terus menerus,” ucap Marina tulus dan begitu tenang.
“Bicara apa sih kamu? Aku ini suami kamu sekarang, apapun yang terjadi aku yang harus merawat dan melindungimu. Andai aku menikahimu untuk tujuan tertentu, tetap saja aku harus bertanggung jawab padamu Marina,” ucap Geno sembari memalingkan wajahnya ketika ia merasa malu karena berbicara jujur.
“Aku gak mau mas Geno jadi repot karena merasa harus bertanggung jawab sama aku, aku gak apa-apa kok mas.”
“Tapi aku yang mau direpotin sama kamu! Aku ingin kamu meminta semua yang kamu inginkan padaku, Marina…”
“Mas…”
“Kenapa kita tidak seriuskan perasaan kita berdua?Biarkan hati kita jatuh cinta,” bisik Geno pelan.
Marina menundukkan pandangannya, tiba-tiba hatinya merasa tersipu mendengar ucapan Geno.
“Apalagi yang harus kita sembunyikan? Tubuh kita berdua saja sudah saling terbuka satu sama lain,” bisik Geno lagi ditelinga Marina sambil mengulumnya sesaat.
“Ihhhh mas Geno! Lagi ngobrol serius jugaa…” pekik Marina terkejut karena sikap Geno membuatnya mendesah perlahan. Melihat reaksi Marina, Geno tak sungkan lagi untuk kembali mencoba mencumbu istrinya.
“Mas, ah!” protes Marina segera berdiri dan menjauhi Geno.
“Sini!”
“Nggak ah!”
Geno segera berdiri dan menghampiri Marina lalu memeluknya dari belakang dengan sebelah tangannya.
“Besok, tolong antarkan aku makan siang ya sayang, tak perlu masak, beli pun boleh. Yang aku inginkan hanya kita memiliki waktu lebih banyak untuk bertemu.”
Marina hanya diam tapi tak lama ia menganggukan kepalanya perlahan dan mendapat ciuman dari Geno.
Akh, mengapa ia tak bisa melepaskan bibirnya untuk tak mencium bagian tubuh manapun dari Marina. Melihatnya saja Geno sering merasa gemas dan tak sabar untuk menyentuhnya. Perempuan ini bagaikan boneka hidup untuk Geno dan ia terhibur karenanya.
***
Pak Herman mendengus kesal saat waktu telah menunjukan pukul 11.15 siang tapi Geno belum juga muncul untuk ikut dengannya lunch meeting dengan beberapa client di sebuah restoran mewah tak jauh dari perkantoran mereka.
“Kenapa sih dia?! Kamu sudah kasih tahu Geno kan?” tanya Pak Herman pada sekretarisnya sambil berjalan menuju lift. Sang sekretaris pun mengangguk dan memberikan laporan bahwa Geno pun sudah konfirmasi untuk mengikuti meeting. Pak Herman tak suka dengan keterlambatan membuatnya gelisah jika harus berangkat dalam waktu mepet. Tak jauh dari lift, pak Herman melihat pintu ruangan Geno dan segera berjalan menuju ruangan itu.
“Ada Geno?” tanya pak Herman pada fitri dan mendapat anggukan.
“Gen! Sedang apa sih kamu?! Kita harus berangkat sekarang!” tegur pak Herman sambil membuka pintu tanpa mengetuk.
“Ngapain kamu disini?” tanya pak Herman saat ia melihat Geno tengah bersama Marina di dalam ruangan sambil memeluk istrinya.
“Aku anterin mas Geno makan siang pi,” jawab Marina cepat pada ayahnya yang terkenal galak.
“Halah, kamu ini sadar gak sih suami kamu itu orang sibuk, dia gak ada waktu untuk bersikap romantis! Sekarang papi sama Geno mau lunch meeting dan bisa-bisa terlambat gara-gara dia harus ngeladenin kamu!”
“Saya yang minta Marina datang pak!”
“Saya gak peduli! Saya mau berangkat sekarang! Kamu harus segera menyusul, jangan sampe client menunggu disana duluan!” ucap Pak Herman ketus lalu keluar ruangan kerja Geno dan berjalan dengan kesal menuju lift.
Geno mendengus kesal, ia tak menyangka pak Herman begitu kasar pada Marina.
“Kamu gak apa-apa?” tanya Geno cemas saat melihat Marina menunduk sedih.
“Ayo mas, cepat berangkat, susul papi. Nanti dia marah,” ucap Marina cepat sembari terburu-buru mengambilkan tas Geno.
“Tinggalkan makanan itu disini! Nanti aku pasti memakannya!” suruh Geno saat Marina kembali mengambil tas yang berisi kotak makan untuk Geno.
“Tapi kamu mau lunch meeting, biar ini aku bawa kembali…”
“Nggak! Tinggalkan makanan itu disini, setelah meeting akan aku habiskan! Kamu sudah bersusah payah untuk membuatnya, aku akan makan itu nanti,” ucap Geno menarik tas makanan dan meletakkannya di atas mejanya lalu menarik tangan Marina untuk mengikutinya keluar ruangan.
“Supir akan mengantarkan aku ke tempat meeting, setelah itu dia akan antar kamu pulang kerumah. Tunggu aku di rumah, “ ucap Geno sambil mengelus pipi Marina lembut. Ada rasa marah dihati Geno melihat mertuanya begitu keras pada Marina. Seharusnya pak Herman tak perlu menyalahkan Marina sampai berkata seketus itu.
Sesampainya di restoran, Geno segera bergabung dengan pak Herman yang juga baru sampai bersama Linda dan berjalan disisinya.
“Seharusnya kamu suruh Marina gak mengganggu kamu kalau sedang bekerja,” celetuk pak Herman dengan suara sedikit berbisik pada Geno.
“Saya yang memintanya datang pak, bagaimanapun Marina sekarang istri saya dan saya harus bertanggung jawab semuanya atas dia. Bapak sendiri tahu, betapa sibuknya kita sekarang dengan semua pekerjaan ini. Saya menyuruh Marina datang agar kami masih punya quality time berdua walau sebentar! Saya serius menikahinya dan menjadikannya istri!” Geno tak bisa menyembunyikan kekesalannya pada pak Herman walau ia berbicara dengan suara pelan saat berjalan disisi pak Herman. Ia tak peduli jika pak Herman akan bersikap marah padanya. Melihat Geno yang berbalik emosi Linda segera mendelik pada Geno agar bisa mengendalikan emosinya sedangkan pak Herman hanya berdecak sebal.
“Terserah kalian lah! Anak jaman sekarang hatinya terlalu lembek!” gerutu pak Herman cepat. Geno hanya terus berjalan mengikuti dan tak berbicara apa-apa lagi.
Bersambung.